Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kalkulasi Ekonomi dari "Menunda Pernikahan" ala Gen Z

5 September 2025   20:06 Diperbarui: 9 September 2025   13:16 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tunda nikah muda demi kemapanan finansial (Foto ilustrasi: Freepik)

Generasi orang tua dulu bisa beli rumah setelah kerja 5--7 tahun kerja. Sekarang? Dengan UMR kurang dari enam juta rupiah, Gen Z perlu 15--20 tahun menabung untuk bisa punya rumah sendiri di kota besar, dengan asumsi mereka disiplin nabung 30% dari gaji.

Contohnya begini, dengan UMP Jakarta sekitar Rp5,39 juta per bulan, harga rumah yang realistis bisa dijangkau hanya di kisaran Rp200--250 juta, itu pun tergantung berapa besar uang muka yang dibayar.

Hitungannya pakai asumsi standar, yaitu maksimal 30% gaji buat cicilan, tenor 20 tahun, dan bunga KPR 8% per tahun. Masalahnya, dengan harga segitu hampir gak mungkin Gen Z dapat rumah di area Jabodetabek-Banten. Pilihannya ya geser jauh ke pinggiran atau daerah yang bukan pusat komersial.

Nah, ketimpangan seperti ini bikin Gen Z harus memilih, mau buru-buru nikah tapi tercekik cicilan, atau tunda nikah sambil bangun fondasi finansial dulu? Banyak yang memilih opsi kedua.

Data juga mendukung. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, 2024), angka pernikahan dini (di bawah 20 tahun) menurun signifikan dalam satu dekade tahun terakhir. Di sisi lain, rata-rata usia menikah berada di kisaran 21-22 tahun.

Biaya Nikah Mahalnya Bukan Main

Mari kita main hitung-hitungan sederhana. Resepsi standar di kota besar minimal Rp150 juta kalau konsepnya hemat. Di sini maksudnya hemat versi wedding organizer ya, bukan versi "nasi kucing plus es teh manis." Kalau mau lebih oke dikit, bisa tembus Rp300 juta. Itu baru pesta sehari.

Lanjut, DP rumah sederhana. Minimal Rp100--150 juta. Itu pun kalau rumahnya gak nongol di komplek elite, tapi di ujung komplek yang kalau order ojek online suka dicancel driver karena "kejauhan, Kak."

Sekarang masuk ke bab yang sering di-skip calon pasangan, yaitu biaya anak tahun pertama. Jangan salah, bayi itu memang lucu, wangi, dan bikin hati meleleh, tapi juga boros. Popok, susu, imunisasi, kebutuhan dasar, dari pengalaman pribadiku dulu bisa menghabiskan Rp30--50 juta setahun.

Totalnya? Ya, Rp300--500 juta hanya untuk "memulai" sebuah rumah tangga. Uang segini bisa dibilang setara modal usaha kecil-menengah, atau tabungan 10 tahun kerja kalau gajinya standar UMR. Jadi wajar kalau banyak Gen Z mikir, "Mending buka coffee shop dulu, daripada menikah."

Dan itu baru biaya yang kelihatan ya say. Ada juga biaya tersembunyi yang jarang masuk hitungan. Misalnya, risiko perceraian. Tahun 2024, Mahkamah Agung mencatat ada 394 ribu kasus perceraian. Perceraian ini biasanya diikuti drama finansial, mulai dari pembagian harta, biaya pengacara, bahkan mungkin cicilan rumah yang masih 15 tahun lagi.

Belum lagi soal kehilangan peluang karier. Banyak yang menikah muda akhirnya harus mengorbankan kesempatan sekolah lagi, pindah kota untuk kerja lebih baik, atau bahkan gak bisa ikut naik jabatan karena alasan "keluarga dulu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun