Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mic Check Syndrome: Penyakit Lama dalam Public Speaking Pejabat Kita

4 September 2025   18:11 Diperbarui: 4 September 2025   18:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mic check syndrome, penyakit public speaking pejabat (Foto: Freepik)

Intinya, bicara itu harus jelas. Audiens tidak datang untuk main tebak-tebakan. Satu kalimat idealnya mengandung satu pesan. Misalnya, ketika pejabat bicara soal subsidi pupuk, jangan sampai kalimatnya muter-muter penuh istilah birokrasi. 

Lebih baik to the point aja, "Tahun ini, pemerintah memastikan pupuk bersubsidi tersedia untuk petani kecil dengan harga terjangkau." Beres. Audiens langsung paham. Sayangnya, yang sering terjadi adalah kebalikannya. Kalimat pejabat beranak-pinak sampai audiens lupa inti pesannya.

2. Brevity (Keringkasan)

Pendengar punya batas sabar. Kalau inti pesannya bisa disampaikan dalam lima menit, kenapa harus lima belas menit? Keringkas bukan berarti dangkal. Justru di sinilah kelihaian seorang komunikator diuji, yaitu bagaimana dia bisa merangkum gagasan kompleks menjadi singkat tapi mudah dipahami. 

Coba ingat slogan-slogan politik atau kampanye besar dunia, kalimatnya pendek-pendek kan? Tapi pesannya kuat. Pejabat kita sering lupa hal ini, sehingga pidatonya lebih mirip laporan statistik tahunan daripada komunikasi publik.

Pejabat-pejabat ini, kalau mereka mau belajar sedikit saja soal brevity, bisa kok pidato itu dipadatkan jadi beberapa kalimat utama yang kuat.

Banyak pemimpin dunia justru sederhana dalam berkomunikasi. Barack Obama terkenal dengan kalimat-kalimat singkat tapi penuh makna. "Yes, we can." Tiga kata, tapi meledak jadi slogan mendunia.

Jacinda Ardern, mantan PM Selandia Baru, selalu bicara dengan empati. Saat tragedi penembakan Christchurch, dia bilang, "They are us." Kalimat pendek, tapi langsung membius semangat kebersamaan rakyat Selandia Baru.

Lee Kuan Yew, pendiri Singapura, tidak bertele-tele. Pidatonya selalu langsung to the poin, tanpa jargon berlebihan.

3. Empathy (Empati)

Nah, ini yang paling sering absen dari pidato pejabat kita, yaitu empati. Komunikasi bukan hanya soal apa yang ingin kita sampaikan, tapi apa yang ingin didengar audiens. 

Empati mengubah pidato dari sekadar transfer informasi menjadi jembatan emosional. Teori sederhana ini sebenarnya bisa menyelamatkan banyak pejabat dari blunder mic check, bicara panjang tanpa isi. 

Tapi yang sering saya lihat di lapangan, pejabat lebih fokus menunjukkan "saya tahu banyak" daripada "saya ingin Anda mengerti." Padahal, ukuran keberhasilan komunikasi bukan seberapa banyak kata yang keluar, tapi seberapa banyak pesan yang sampai dan melekat di kepala audiens.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun