Pernah juga, saya sengaja pindah kafe demi mencari mood musik yang sesuai. Dan tiap kali naskah mulai mandek, solusi saya bukan membaca ulang teori penulisan... tapi mengganti suasana dan musik di sekitar saya.
Tentu saja, ada juga pengalaman di mana musik bikin saya pengen pulang lebih cepat. Beberapa tipe playlist pembunuh mood:
- Volume kelewat kencang sampai saya gak bisa dengar pikiran sendiri.
- Genre campur aduk dalam satu jam, dari jazz ke dangdut koplo ke death metal.
Lagu yang sama diputar berulang-ulang (sampai hafal padahal gak mau hafalin).
Pernah sekali saya duduk di kafe yang muter "Shape of You" Ed Sheeran lima kali dalam dua jam. Saking seringnya, saya sampai ketik kalimat "Shape of You" di tengah adegan serius novel saya tanpa sadar.
Polemik Royalti Musik di Kafe
Akhir-akhir, suasana ngopi sambil nulis di Jakarta mungkin agak berubah ya. Ya gak cuma karena menu seasonal yang kadang bikin kantong kaget, tapi karena polemik royalti musik yang lagi panas.
Buat yang belum tahu, di Indonesia, kafe, restoran, dan tempat usaha lain yang memutar musik komersial kemungkinan bakal wajib membayar royalti sesuai aturan Undang-Undang Hak Cipta.Â
Artinya, kalau kafe langganan kamu muter lagu-lagu Noah, ST12, Wali, Sheila on 7, Dewa, Raisa, Vidi Aldiano, Afghan, dan lainnya, secara hukum mereka harus setor biaya ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Masalahnya, biaya ini gak selalu kecil, tergantung ukuran tempat, jam operasi, dan jenis musik yang diputar.Â
Beberapa pemilik kafe di Jakarta mungkin mengeluh, "Lah, ini kan buat bikin suasana lebih enak, masa kena biaya segini?" Akhirnya, sebagian memilih mematikan musik total biar aman dari urusan hukum.
Buat saya yang terbiasa menulis di kafe dengan musik latar, ini lumayan berasa. Saya sendiri gak kebayang, kafe-kafe di Jakarta jadi hening total.
Memang, ada yang tetap kreatif. Ada kafe yang bikin playlist orisinal buatan barista atau temannya yang musisi indie lokal (yang jelas kasih izin gratis).Â