Permintaan tak hanya datang dari wisatawan domestik, tetapi juga importir asing yang membawa contoh desain dari negara asalnya, seperti patung tentara Cina, guci bergaya Timur Tengah, atau ornamen khas Thailand, semua bisa dikerjakan oleh perajin Kasongan.
Desa yang dulunya sepi kini menjelma menjadi destinasi wisata budaya. Wisatawan datang tak hanya untuk membeli keramik, tapi juga untuk menyaksikan proses pembuatannya.Â
Sanggar-sanggar tumbuh subur, lapangan pekerjaan tercipta, dan kehidupan masyarakat pun meningkat. Anak-anak Kasongan kini banyak yang bersekolah tinggi, bahkan ke luar negeri, membawa kebanggaan akan akar budaya mereka.
Meski begitu, keberhasilan ini bukan tanpa tantangan. Globalisasi mendatangkan produk impor serupa dari Tiongkok dengan harga murah. Akan tetapi, produk Kasongan tetap bertahan karena satu hal, yaitu karakter.
Kerajinan Kasongan bukan produk massal. Ia lahir dari tangan-tangan telaten, dengan sentuhan artistik yang tak bisa ditiru mesin.
Perubahan selera pasar pun direspons cepat oleh para perajin. Dari desain tradisional ke bentuk-bentuk modern. Dari fungsional ke dekoratif. Bahkan, Kasongan kini dikenal memproduksi seni keramik berorientasi ekspor dan gaya hidup, bukan sekadar alat rumah tangga.
Di tengah perubahan zaman yang serba cepat, seni gerabah Kasongan justru menjadi simbol kebangkitan nilai lokal. Ketika dunia jenuh akan produk seragam, Kasongan menawarkan sesuatu yang otentik, produk budaya yang hidup, punya cerita, dan bisa disentuh.
Sosiolog seni Arnold Hauser menyebut karya seperti ini sebagai folk art, seni rakyat yang lahir dari keseharian, bukan dari istana atau galeri. Justru karena itulah, ia memiliki daya tahan luar biasa. Ditopang oleh komunitas, dijiwai oleh tradisi, dan terus hidup karena terus dibutuhkan.
Kini, Kasongan bukan hanya nama desa. Ia adalah identitas budaya, penanda peradaban, dan bukti bahwa tanah liat pun bisa menjelma emas. Asal digenggam dengan cinta, kreativitas, dan semangat belajar dari masa lalu.