Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film 'A Business Proposal' Versi Indonesia: Sebuah Usaha yang Layak Dihargai

27 Juni 2025   17:06 Diperbarui: 27 Juni 2025   17:08 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Review film 'A Business Proposal' versi Indonesia (Foto: Falcon)

'A Business Proposal' versi Indonesia tidak hanya berkisah soal cinta. Ia juga menyisipkan kritik sosial yang relevan. Salah satunya adalah tentang sandwich generation, fenomena ketika anak muda harus menanggung beban finansial orang tua dan adik-adiknya.

Sari digambarkan sebagai anak sulung yang bekerja keras untuk membantu membayar cicilan KPR rumah orang tuanya selama 20 tahun. Dan ketika akhirnya rumah itu lunas, adiknya malah terjerat judi online dan menumpuk utang Rp100 juta.

Kita semua tahu, ini bukan sekadar cerita fiksi. Ini terjadi di sekitar kita, dan film ini berani menunjukkannya dengan jujur, tanpa menggurui. Saya sangat menghargai bagaimana isu sosial ini dibawa masuk tanpa terasa berat.

Sayang, Tidak Diberi Kesempatan

Yang bikin sedih, film sebagus ini tidak mendapatkan tempat yang layak di bioskop. Hanya sekitar 6.900 penonton pada hari pertama, angka yang menyedihkan untuk film dengan 1.270 jadwal tayang. Semua ini tak lepas dari efek boikot yang digaungkan oleh sebagian penggemar drama korea di Indonesia.

Saya memahami bahwa pernyataan Abidzar bisa dianggap kurang bijak. Tapi, yang harus kita bedakan adalah karya dengan kesalahan personal. Film 'A Business Proposal' versi Indonesia ini dikerjakan oleh puluhan, bahkan ratusan orang. Dari penulis naskah, sutradara, editor, aktor pendukung, hingga kru di balik layar. Menjatuhkan sebuah film hanya karena kecewa pada satu aktor adalah bentuk ketidakadilan pada seluruh tim produksi.

Abidzar sendiri telah menyampaikan permintaan maaf, begitu pula rumah produksinya, Falcon Pictures. Ia menjelaskan bahwa pendekatan aktingnya memang berbeda, dan bukan berarti ia meremehkan karya asli. Apakah itu layak jadi bahan boikot besar-besaran? Menurut saya, tidak.

Catatan untuk Kita Semua

Saya juga ingin mengangkat satu isu yang cukup mengganggu selama polemik ini, yaitu budaya membandingkan aktor lokal dengan aktor Korea secara fisik. Saya membaca banyak sekali komentar di X, Threads, hingga Instagram yang menyandingkan Abidzar dengan Ahn Hyo Seop atau Ariel Tatum dengan Kim Sejeong secara sinis. Banyak yang mengomentari wajah, kulit, dan gaya tubuh, bahkan hingga ke arah yang sangat personal dan menjurus ke bullying verbal.

Padahal, banyak dari mereka yang berkomentar bahkan belum menonton film ini. Kenapa kita tidak bisa menilai dari kualitas akting, alur cerita, atau penyutradaraan dulu? Menghargai karya bangsa sendiri tidak harus berarti menolak karya luar, tapi jangan sampai kita malah jadi terlalu keras pada milik kita sendiri.

Sebagai penonton yang juga penggemar drama korea, saya tahu betul betapa tingginya standar yang ditetapkan oleh penggemar. Tapi justru karena itu, kita harus bijak, mampu menilai dengan mata dan hati terbuka, memberi ruang untuk adaptasi, bahkan ketika tidak sempurna.

Sebuah Proposal untuk Penonton Indonesia

'A Business Proposal' versi Indonesia adalah contoh adaptasi yang berhasil, bukan karena meniru secara persis, tapi karena mampu menghadirkan kisah yang relevan bagi penonton lokal. Dari menu makanan yang akrab di lidah, dinamika keluarga yang menghangatkan hati, hingga isu sosial yang nyata, film ini punya semua bahan untuk disebut sebagai karya yang layak ditonton.

Saya berharap ke depan, penonton Indonesia bisa lebih dewasa dan terbuka. Kalau memang mau mengkritik, tonton dulu filmnya. Karena siapa tahu, setelah keluar dari bioskop atau selesai menonton di Netflix, kamu juga akan berkata seperti saya:
“Aku nggak nyangka bakal suka sama film ini.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun