Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Melihat Kematian

10 Desember 2022   07:00 Diperbarui: 10 Desember 2022   06:59 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Epicurus atau Epikouros (341-270 SM), seorang filsuf Yunani kuno yang oleh para penentangnya dianggap sebagai filsuf beraliran 'sinisisme' menyebut bahwa: kematian bukanlah sesuatu yang penting, karena saat kita masih hidup, kematian tidak ada. Dan ketika kematian datang, kita sudah tidak ada.

Sepintas pandangan Epicurus itu seperti hanya permainan kata-kata belaka. Mbulet, meminjam istilah dr. Ryu Hasan. Ya, memang kalimat itu mbulet. Terutama pada frasa: karena saat kita hidup, kematian tidak ada. Dan ketika kematian datang, kita sudah tidak ada.

Yang justru menarik adalah penyikapannya dalam melihat kematian itu sendiri sebagai bukan hal yang penting. Sebab kematian sejatinya adalah hal yang alamiah bagi semua makhluk. Mulai dari makhluk ber-sel satu hingga yang ber-sel banyak seperti kita manusia. Sebuah siklus alam biasa. Takdir dalam kosakata agama.

Pemahaman dan cara pandang akan kematian bagi setiap orang tentu saja akan berbeda. Tergantung di posisi mana dia berdiri. Apakah dari sudut keyakinan (agama), sudut filsafat, sudut ilmu pengetahuan (sains), bahkan mungkin pula dari sudut pseudosains.

Konsep Kematian

Peradaban kehidupan yang terus berkembang lewat berbagai interaksi sosial terutama dalam arus kultur informasi yang begitu masif sekarang ini, pengetahuan akan informasi tentang apa itu 'kematian' tentunya bukan lagi monopoli ranah keyakinan agama semata sebagai satu-satunya acuan. Ada ranah filsafat dan juga sains yang secara konsisten semakin melaju.

Kompleksitas pemahaman dari berbagai sumber ini pada akhirnya yang memberi makna, nilai terhadap sebuah kematian itu sendiri. Yang menjadi semacam visi pribadi ketika seseorang mengambil sikap atau berani untuk merangkai sendiri segala informasi tersebut.

Kita tentu faham, di hampir seluruh keyakinan agama, konsepsi tentang kematian lebih menitikberatkan pada pasca kematian itu sendiri. Dengan doktrin kefanaan dan keabadian yang menjadi tema sentral ajaran. Bahwa ada reward and punishment sebagai bentuk pertanggungjawaban selama hidup di dunia.

Klaim kehidupan kembali atau keabadian pasca kematian ini menjadi daya tarik setiap orang yang secara naluriah ingin hidup selamanya. Meskipun secara laten tetap saja ada ketakutan pada kematian. Apalagi yang merasa hidupnya penuh dosa.

Di masa lalu -sekarang pun masih kita saksikan- penyikapan terhadap kematian telah menjadi semacam 'perayaan sosial'. Dengan serangkaian upacara, seremoni, berikut hewan-hewan yang dikurbankan, yang melibatkan seluruh anggota komunitasnya. Sebagai pengantar bagi sang mayit menuju alam baru. Alam keabadian.

Sementara dalam perspektif filsafat, tak ada konsep yang jelas tentang apa itu kematian, tetapi bertolak pada bagaimana sikap menghadapi kematian. Fokus filsafat adalah pada kehidupan itu sendiri sebagai lawan dari kematian. 

Menurut Socrates (470-399 SM), manusia yang baik tidak perlu mempertimbangkan peluang untuk hidup atau mati. Dia hanya harus mempertimbangkan apakah ketika melakukan sesuatu itu benar atau salah. Karena kematian itu sendiri adalah rahmat terbesar.

Jean Paul Sartre (1905-1980), kematian harus masuk ke dalam kehidupan hanya untuk mendefinisikan kehidupan itu. Hidup adalah proyek kebebasanku, pilihanku pribadi. Akulah inti realitasku. Pada hakikatnya hidup adalah konflik abadi, tak ada arti.

Dalam filsafat, perbuatan dengan segenap kebebasan dan pilihan itu tak bermuara pada reward and punishment sebagaimana kredo agama. Tapi itu adalah cara kita memaknai hidup.

Sebab inti hidup adalah keberanian melakukan resistensi terhadap segala yang mendikte kita, ujar Michel Foucault (1926-1984).

Namun berbeda dengan keyakinan agama yang melihat kematian sebagai pintu menuju alam keabadian atau filsafat yang emoh membahas kematian, sains justru  memperlakukan kematian sebagai obyek eksperimentasi ilmiah.

Kematian dilihat sebagai akibat tidak berfungsinya perangkat mekanis dari organ tubuh manusia, terutama otak. Kemajuan iptek dalam biologi dan neurosains misalnya seolah membuka tabir gelap kematian (dan kehidupan) yang selama ini diyakini umat manusia. Terlepas dari pro-kontra pada penemuan tersebut.

Meskipun belum berhasil membuat manusia hidup abadi, namun kemajuan rekayasa genetik setidaknya sudah bisa 'menciptakan kehidupan' dengan cara kloning atau pun metode bayi tabung. Termasuk kemajuan medis dalam menunda kematian secara biologis.

Kemajuan sains ini, baik yang dikembangkan pada manusia, hewan, dan tanaman, hingga teknologi di bidang mitigasi harus diakui telah berhasil memperpanjang usia harapan hidup manusia. Karena tiga hal besar yang mengancam kehidupan umat manusia yakni wabah penyakit, bencana alam , dan peperangan secara umum sudah bisa diantisipasi.

Di era postmodern dengan segala arus informasi yang mudah diakses tersebut, penyikapan atau melihat kematian selain dengan sikap spiritual dan sikap ilmiah, tragisnya adalah kematian juga dilihat sebagai horor yang menakutkan. Ancaman teror yang menjadi bahaya laten akibat kepicikan sebagian manusia yang terjebak pada kebenaran intersubyektif. Apakah itu atas nama religius, politik, kekuasaan, bahkan 'geng kampungan' seperti yang terjadi di beberapa kota akhir-akhir ini.

Bogor, 10 Desember 2022            

      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun