Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Regulasi Hak Atas Tanah dan Keberpihakan Negara

19 November 2020   09:58 Diperbarui: 19 November 2020   10:25 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) sangat jelas bahwa negara menjamin hak penghidupan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Sebagaimana termaktub pula dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang salah satunya adalah kesejahteraan.

Namun apa lacur, keberpihakan dari sebuah regulasi sebagai implementasi dari pelaksanaan amanat konstitusi kerap tidak menguntungkan masyarakat. Tak menyentuh hak masyarakat sebagaimana yang tertulis di pasal-pasal konstitusi.

Negara, Pemodal, dan Masyarakat

Tak dipungkiri, untuk mencapai kesejahteraan tentunya tidak bisa dilepaskan dengan pertumbuhan ekonomi. Dan itu menyangkut investasi, modal untuk menggerakkannya. Agar ada kesinambungan, keberlanjutan dalam pembangunan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Investasi bagi banyak negara adalah faktor penting di dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Dan dampak dari era globalisasi terutama perdagangan menyebabkan semakin terbuka lebarnya pintu bagi investor (pemodal) dalam hal pengelolaan atau 'penguasaan' atas tanah di luar negaranya.

Ada tiga unsur atau pihak yang tak bisa dipisahkan dalam kegiatan ekonomi, yakni: negara, pemodal (swasta lokal maupun asing), dan masyarakat. Ketiganya merupakan para pelaku ekonomi yang memiliki akses politik dan modal yang berbeda-beda.

Negara atau pemerintah memiliki kewenangan dalam hal kebijakan regulasi, yang tentunya tak luput dari orientasi kepentingan politiknya. Pemodal atau investor adalah pemilik sumber daya modal. Dan masyarakat sebagai sumber daya sekaligus konsumen.

Dengan posisi ini, kedudukan masyarakat sering kali tidak diuntungkan. Apalagi ketika ada kebijakan pemerintah yang bersifat bias terhadap masyarakat. Dimana pihak pemodal (swasta) akan mudah memperoleh lahan dibandingkan dengan masyarakat, terutama masyarakat adat untuk memperoleh persetujuan mengerjakan tanah-tanah bekas perkebunan atau kehutanan yang ditelantarkan untuk mendapatkan pengakuan secara de jure.

Di sisi lain, sebagai negara yang memiliki sumber daya yang besar baik alam maupun manusianya, Indonesia adalah tempat yang menarik dan menjanjikan bagi para pemodal -terutama asing- untuk berinvestasi. Namun regulasi terkait perizinan selalu menjadi sumber masalah yang menciptakan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). 

Akibatnya terjadilah praktik-praktik 'penyelundupan hukum', dimana pihak asing 'meminjam' nama warga lokal untuk membeli tanah, rumah, atau pun menanamkan modal yang statusnya tidak lagi sebagai modal asing.

Upaya penyelundupan hukum itu kadang dilakukan dengan menikahi warga negara Indonesia, meski tidak semua pernikahan tersebut bertujuan untuk itu.

Mungkinkah lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang berupa Omnibus Law akan menjadi solusi bagi permasalahan tersebut?

Regulasi dan Implementasi 

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (the living law). Sebagai pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. 

Konsepsi ini sering dianggap sebagai legitimasi atas hukum adat yang merupakan bagian dari hukum yang diakui secara sah di Indonesia. Dan hukum juga sekaligus merupakan pencerminan dari asas nasionalitas yang dianut di dalamnya.

Upaya menarik pemodal untuk menanamkan investasinya adalah langkah yang positif. Terutama dengan memangkas aturan-aturan yang berdampak terhadap ekonomi biaya tinggi. 

Penyederhanaan prosedur perizinan ini menjadi salah satu semangat yang menjiwai Omnibus Law sebagai regulasi yang diharapkan dapat menjadi stimulus untuk menarik calon investor.

Namun ada beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai regulasi baru ini yang menjadi sorotan publik. Terutama yang menyangkut hak penguasaan lahan oleh pemodal serta kepemilikan rumah oleh warga negara asing.

Dalam undang-undang terbaru ini terkait dengan hak penguasaan atas lahan adalah selama 90 tahun (Pasal 127). Sementara dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) serta PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah adalah 25 tahun hingga 35 tahun untuk perusahaan.

Mungkin bagi sebagian masyarakat, regulasi UU Cipta Kerja ini dianggap 'cukup liberal'. Padahal dalam sejarah regulasi, aturan ini bukanlah sesuatu yang baru.

Pada tahun 2007 pernah terbit UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dalam Pasal 21 dan Pasal 22 mengatur tentang hak atas tanah yang lebih progresif. Dimana HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. HGB dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dan dapat diperbaharui selama 30 tahun. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dan dapat diperbaharui selama 25 tahun.

Undang-undang ini akhirnya dibatalkan oleh putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Akankah pasal ini kembali kandas begitu uji materi (judicial review) diajukan?

Begitu juga dengan ketentuan hak kepemilikan atas satuan rumah susun oleh warga negara asing (Pasal 144) dan badan hukum asing (Pasal 137) sama sekali bukanlah hal yang tabu. Dalam UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun disebutkan bahwa kepemilikan atas rumah susun oleh warga negara asing harus berada di atas hak pakai atas tanah negara.

Hal ini menjadi mungkin karena dalam UU Pokok Agraria seperti halnya hukum adat, mengakui adanya asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding) yakni memisahkan   antara kepemilikan atas bangunan dan kepemilikan atas tanah. 

Sementara dalam KUH Perdata Pasal 471 BW menganut asas pelekatan vertikal (accesie) sebagai kebalikan dari asas pemisahan horizontal. Yakni tidak berlakunya pemisahan antara kepemilikan atas tanah dan kepemilikan yang melekat di atasnya, apakah itu berupa bangunan atau pun tanaman.

Kontradiksi dari kedua aturan itu melahirkan polarisasi antara yang pro pemisahan horizontal dengan yang pro pelekatan vertikal dalam hal kepemilikan.

Regulasi lainnya dari UU Cipta Kerja ini adalah adanya lembaga baru yaitu: Bank Tanah (Pasal 128) yang mempunyai kewenangan penuh baik dalam penguasaan maupun pengelolaan atas tanah. Keberadaan lembaga ini diharapkan dapat menutup para spekulan tanah yang selama ini menjadi biang keladi ekonomi biaya tinggi.

Terlepas dari kontroversi yang mengiringi kelahirannya, produk hukum Omnibus Law  ini akhirnya tetap saja akan melahirkan aturan turunannya yang berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan seterusnya. 

Sebagai implementasi dari regulasi, peraturan-peraturan  turunan tersebut sudah sepatutnya lebih memperhatikan dan mencerminkan  asas kerakyatan dan asas nasionalitas. Bukan semata-mata untuk menarik modal dan memihak kepada pemodal seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Bogor, 19 November 2020  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun