Mohon tunggu...
Muhammad Adhien
Muhammad Adhien Mohon Tunggu... Lainnya - Amann

Anak desa yang dituntut untuk mengirim pesan rakyat lapisan bawah kepada yang berkuasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati untuk Koruptor di Masa Pandemi? Efektifkah?

8 Desember 2020   20:01 Diperbarui: 8 Desember 2020   20:17 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Sosial ( Mensos) Kabinet Indonesia Maju Jilid 2, Juliari Peter Batubara (JPB) resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) yang saat ini masih dipertanyakan kekuatannya oleh aktivis antikorupsi. J.P Batubara yang menjadi mensos sekaligus politikus PDIP ini harus berurusan dengan hukum dalam kasus dugaan suap pengelolaan dana bantuan sosial penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020.

Dalam OTT yang digelar hari sabtu(5 desember 2020) menjadi bencana bagi Politikus PDIP Karena menurut sumber yang ada KPK menemukan uang dengan sejumlah pecahan mata uang asing.  yakni sekitar Rp 11,9 miliar, sekitar 171.085 dollar AS, dan sekitar 23.000 dollar Singapura. Sebelum Juliari Batubara, setidaknya ada dua Mensos di periode berbeda yang juga harus berurusan dengan KPK.

Namun. bukan jumlah yang menjadi sorotan publik kali ini, tapi keadaan dan situasi yang dilakukan JPB dalam melakukan korupsi karna perlu diketahu bahwa Indonesia sedang berada di masa resesi, ekonomi kita mencapai angka  minus 3,49 di kwartal III 2020. apakah ini dikarenakan JPB ? tentu tidak!

karna yang dilakukan JPB hanya memangkas dana bantuan yang diterima masyarakat lewat paket sembako yang jelas-jelas memanfaatkan keadaan ekonomi saat ini untuk berprilaku layaknya tikus.

masyarakat bertanya-tanya, apa hukuman yang setimpal bagi koruptor yang buas ketika rakyat tertindas ?

hukuman matikah? dengan dalih menggunakan asas "salus populi suprema lex esto" bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi? 

kalau kita berkaca pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum di awal undang-undang. Di Pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Dalam narasi penjelasan pasal per pasal di undang-undang ini, dijelaskan bahwa yang dikatakan dengan "keadaan tertentu" dalam pedoman ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi ketika tindak pidana tersebut dilakukan pada keadaan tertentu.

apakah masa pandemi dengan kondisi ekonomi indonesia yang masuk dalam resesi di kwartal III 2020 masuk kedalam keadaan tertentu? ternyata penjelasan keadaan tertentu dalam uu tersebut telah dijabarkan demikian

"Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter"

Dijelaskan pula dalam undang-undang itu, bahwa ketentuan pidana tersebut dibuat dalam rangka memperoleh tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 Tahun 1999 ini kemudian direvisi oleh UU nomor 20 tahun 2001. Lampiran penjelasan mengenai Ayat 2 Pasal 2 pun berubah. Namun substansinya masih tetap sama dan jelas.

"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi."

Lalu? Bagaimana dalam sudut pandang Al Quran? Hal ini di sampaikan oleh Bapak Dr. Anis Masduqi, Lc. M.si dalam suatu seminar pada Kamis, (05/3/2020) di Gedung Graha IAIN Surakarta , Al-Quran telah menerangkan di dalamnya secara eksplisit tentang macam hukuman, yaitu 

1) Hudud, jenis pelanggaran yang ada dalam Al-Quran serta hukuman sudah pasti bagi yang melakukannya;

 2) Ghoiru Hudud, misalnya takzir yaitu hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam Al-Quran dan Hadits;

 3) Qishosh, yaitu hukuman yang dikenakan kepada seseorang yang seimbang sesuai dengan perbuatan kejahatan yang ia lakukan. Seperti firman Allah swt:

Artinya: "Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya." (al- Maidah: 45)

Adapun korupsi termasuk dalam ghoiru hudud yang berupa takzir, karena tidak dijelaskan secara detail terkait korupsi dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau Hadits. Sehingga hukuman mati terhadap koruptor disesuaikan keadaan masyarakat dan kebijakan diserahkan kepada hakim.

Dalam sisi hukum, Bapak Dr. H. Budijono, S.H., M.H menyebutkan secara undang-undang di Indonesia bahwa hukuman bagi koruptor maksimal yaitu dipenjara seumur hidup, dipenjara 20 tahun dan paling ringan penjara 1 tahun. Adapun korupsi atau hukuman selainnya disesuaikan dengan tingkat besaran korupsi yang seseorang lakukan baik lamanya dipenjara maupun besaran denda yang harus dibayarkan.

Di sisi lain, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyerukan untuk mengatakan kontra dengan wacana hukuman mati sebagai pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka menegaskan penggunaan pidana mati tidak pernah menjadi solusi akar masalah korupsi karna tidak dapat dibuktikan dalam berbagai macam hukuman koruptor di dunia layaknya di China.

"ICJR sangat menentang keras wacana KPK ataupun aktor pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi, terlebih pada masa pandemi ini," ujar Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus AT Napitupulu, dalam keterangan tertulis, Senin, 7 Desember 2020.

Erasmus memberi saran kepada pemerintah lebih baik fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan. Khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

lalu bagaimana hukum dapat bertindak adil pada masyarakat ?

ternyata peran pihak penegak keadilan harus diperbaiki dan diberi pondasi yang kuat sangat menentukan. melihat landasan hukum yang ada di Indonesia dan juga didukung dengan alasan sebagian besar teori hukuman mati yang ada. para penegak hukum harus independen dan terbebas dari intervensi manapun. hal ini dapat dinilai dari asas hakim bersifat aktif dalam perkara pidana dengan mencari dan menemukan pelanggaran-pelanggaran yang ada dalam kasus korupsi oleh JPB. Karena hal ini inisiatif beracara yang dilakukan oleh penguasa. bukan pada pihak yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun