Mohon tunggu...
Ganda M Sihite
Ganda M Sihite Mohon Tunggu... Lainnya - Ingat lah pencipta mu dimasa mudamu

Research Human Right, Peace and Conflict Resolution, National Security

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tepatkah Konsep Wisata Halal di Kawasan Danau Toba?

8 September 2019   19:48 Diperbarui: 8 September 2019   19:52 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Danau Toba merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari letusan gunung merapi yang kemudian hasil letusannya membentuk sebuah kawah yang kemudian dipenuhi oleh debit air yang sangat besar. Dengan keberadaannya pada ketinggian 900m diatas permukaan laut, Danau Toba dianggap sebagai pemersatu areal tanah yang didiami oleh individu-individu maupun kelompok masyarakat etnis batak.  Keberadaan Danau Toba adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat yang didominasi oleh etnis batak tersebut, karena danau toba sangat memberikan manfaat yang besar untuk sumber kehidupan dari hasil yang ada di danau, seperti sumber air bersih, ikan-ikan dan sebagai aset pariwisata yang kini menjadi perhatian untuk dijadikan destinasi wisata terbesar kedua selain bali. Sehingga ada wacana Danau toba sebagai Bali baru.

Tak dapat dipungkiri, danau toba memang ciptaan Tuhan yang paling eksotis karena memberikan pemandangan dan kesejukan bagi para pengunjung nya. Disamping itu kondisi masyarakat yang berada dikawasan danau toba yang kental dengan kultur dan budaya yang masih dirawat dengan baik oleh karena diwarisi secara turun temurun oleh para leluhur masyarakat batak. Juga tidak dapat napikkan bahwa dominasi masyarakat batak yang mendiami kawasan danau toba memiliki  rasa sosial dan persaudaraan yang tinggi serta berjiwa toleran.  

Hal tersebut karena masyarakat batak yang masih memegang teguh prinsip prinsip luhur  dan adat istiadat yang ditanamkan sejak dini. Tak salah jika Danau toba dikatakan sebagai surga dunia oleh  karena faktor faktor tersebut.
Budaya yang melekat oleh masyarakat batak yang berada dikawasan danau toba dijaga dengan baik dan terus dilestarikan sebagai simbol etnis suku batak yang sudah mulai mendunia. 

Namun dalam realitas nya saat ini, guna melakukan pengembangan terhadap danau toba agar menjadi destinasi wisata dunia yang lebih menarik selain bali, muncul polemik dan kontroversi yang hadir diberbagai kalangan. Dengan semangat untuk mengembangkan potensi wisata terbesar tanpa memperhatikan dampak yang akan terjadi di generasi yang akan datang. 

Salah satunya wacana yang timbul adalah dengan menerapkan konsep wisata halal yang digagas oleh Gubernur Sumatera Utara dengan dalil agar semakin meningkatkan jumlah wisatawan dari mancanegara maupun dunia. Bahasa yang dikemas sedemikian indah dalam konsep wisata halal tersebut mencuat penolakan dari berbagai kalangan termasuk masyarakat yang berada dikawasan danau toba itu sendiri. 

Konsep wisata halal yang dimaksudkan oleh Gubsu tersebut lebih mengarah kepada makanan atau ternak khas masyarakat dikawasan danau toba, yaitu "babi".  Padahal sebelum adanya kebijakan akan pengembangan potensi wisata danau toba, kondisi kawasan danau toba adem adem saja, dan wisatawan pun berdatangan dari berbagai penjuru negeri tanpa mempermasalahkan iklim dan kondisi dikawasan danau toba

Jika dicermati, dengan adanya kebijakan akan konsep wisata halal yang diamanatkan dikawasan danau toba dapat menghilangkan kultur dan adat istiadat yang sudah lama melekat dikawasan danau toba. Konsep halal bukan saja hanya diamanatkan kepada makanan, namun karena dalam msayarakat dikawasan danau toba "babi" termasuk dalam bagian adat istiadat. 

Babi adalah hewan yang memiliki fungsi sentral dalam kehidupan orang batak yang dominan mendiami kawasan danau toba, seperti ekonomi, sosial dan kuliner. Fungsi sentral ternak babi yang paling mencolok adalah dalam budaya dan adat istiadatnya. Dimana mana dalam setiap tradisi orang batak, baik upacara kelahiran, pesta perkawinan, upacara adat kematian dan acara acara adat lainnya tak pernah dipisahkan dari hewan babi.

Tidak dapat dipisahkannya babi dalam setiap acara adat istiadat batak dikarenakan babi itu memiliki bagian bagian  serta makna kepada pihak pihak Dalihan Natolu, seperti Kepala (ulu) diberikan kepada raja, Leher diberikan kepada boru sebagai penghubung baik dalam perselisihan maupun mempersatukan(meminang), lalu Paha dan kaki diberikan kepada dongan sabutuha yang artinya sebagai penopang dalam melaksanakan adat istiadat dan ekor (ihur-ihur) diberikan kepada suhut  (tuan rumah) dengan artian suhutlah yang bertanggungjawab terhadap seluruh pelaksanaan upacara adat. 

Dalam adat istiadat batak namanya disebut dengan "Parjambaran" Lantas jika diterapkan wisata halal, tentunya akan berdampak pada kegiatan spritual adat istiadat yang tidak memberikan citra atau makna khas dalam adat batak. Tradisi yang masih berlaku tersebut sebenarnya dapat dijadikan sebagai wisata budaya yang dipastikan membuat wisatawan menarik perhatian dan membuat penasaran. 

Hal itu dengan menerapkan sistem "parjambaran" yang dilakukan oleh wisatawan dengan dipandu oleh masyarakat setempat. Sehingga wisatawan yang berkunjung selain menikmati eksotisnya danau toba juga menikmati wisata budaya "parjambaran" dan dapat memaknai bagian bagian daging babi terhadap Dalihan Natolu di adat istiadat batak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun