Awal Cerita: Dari WhatsApp Menuju Website
Tahun 2019, ketika pandemi Covid mulai melanda, sekolah saya, SMP Katolik Santa Maria Tulungagung menghadapi tantangan besar. Saat itu, menjelang ujian sumatif, media yang digunakan guru hanyalah WhatsApp. Jelas ini tidak efektif untuk mengatur jadwal, menyampaikan soal, maupun mengelola hasil ujian.
Akhirnya para guru duduk bersama untuk berdiskusi mencari solusi. Dalam rapat kecil, saya yang kebetulan mengajar TIK (Informatika), mengusulkan sebuah langkah baru yaitu membuat website sekolah sekaligus menyiapkan sistem ujian daring berbasis web.
Awal Digitalisasi: Patungan Guru
Usulan saya disepakati. Lalu muncul pertanyaan klasik: Bagaimana dengan biayanya?
Kami sepakat untuk memulai dengan cara sederhana, yaitu patungan guru-guru. Tidak ada paksaan, semua sukarela. ALhamdulillah, dana awal Rp1,2 juta berhasil terkumpul.
Uang itu saya gunakan untuk menyewa hosting di Niagahoster. Saat itu ada kebijakan promo: biaya normal Rp4.800.000 untuk tiga tahun, tapi jika berlangganan langsung 36 bulan, tahun pertama hanya mebayar 1,2 juta. Paket itu sudah termasuk domain sch.id gratis di tahun pertama.
Bagi yang belum tahu, domain sch.id adalah domain resmi untuk lembaga pendidikan di Indonesia. Biaya sewanya relatif murah, hanya Rp55.000 per tahun setelah tahun pertama.
Belajar Mengelola Hosting
Punya hosting berarti punya "rumah" digital tempat menyimpan data website sekolah. Namun, saya pribadi saat itu masih sangat awam dalam mengelola server online. Mau tidak tidak mau, saya harus belajar.
Berbekal tutorial dari YouTube, saya mencoba memasang CandyCBT, sebuah aplikasi ujian berbasis web yang source code-nya dibagikan secara gratis. Rasanya seperti belajar dari nol, tetapi perlahan-lahan mulai bisa saya pahami.
Akhirnya, alhamdulillah, SMP Katolik Santa Maria Tulungagung berhasil melaksanakan ujian sumatif daring pertama menggunakan CandyCBT. Rasanya lega sekaligus bangga, karena kerja keras tidak sia-sia. Para siswa bisa mengikuti ujian dari rumah, dan guru bisa langsung melihat hasilnya secara otomatis.
Biaya yang Tenyata Bisa Dijangkau
Dari pengalaman itu, saya menyadari bahwa digitalisasi sekolah melalui website tidak selalu mahal. Justru bisa diatur sesuai kemampuan sekolah. Dengan patungan guru Rp1,2 juta saja, kami sudah bisa memulai langkah besar menuju digitalisasi.