Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bekal untuk Petani Mencapai Jam Terbang Tinggi

27 Oktober 2022   13:48 Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:04 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca artikel Pak Inosensius yang notifikasinya muncul di layar ternyata sangat berguna. Sesuai sarannya agar konsep abstrak dan butuh "imajinasi" tinggi yang disampaikan Pak Jokowi,  yang kemudian dinisbatkan oleh Pak Inosensius pada petani itu kemudian bisa diimplementasikan di lapangan, sebaiknya dijabarkan dengan lebih sederhana sehingga bisa dipraktekkan langsung. Karena jelas sudah bahwa (kalau benar akan resesi, tapi semoga tidak) di depan mata. 

Meskipun bukan petani, tetapi setidaknya kita pernah, atau kalau belum ya mulai sekarang belajar mencermati cara bertani (dalam arti segala aspek pertanian). Karena untuk bisa terbang kita butuh bekal, dari yang paling mendasar sampai yang canggih.

Karena masih banyak petani kita yang jam terbangnya sudah tinggi, tetapi ketinggian terbangnya yang masih sekedarnya, sehingga sudut pandangnya masih seperti antena VHF yang masih analog. 

Saya bisa mengatakan demikian karena lingkungan hidup saya masih dikelilingi petani. Pengetahuan pertanian para petani di sekeliling saya sebagian besar masih bersumber dari nenek moyang, yang dituturkan secara lisan dan secara turun temurun. Itu bukan hanya terjadi dan dialami oleh para petani nan mulia yang sudah sepuh, juga para petani mudanya. 

Mengapa bisa demikian? 

Kalau tidak salah, berdasarkan pengamatan dan pengalaman sebagai petani dan menantu Pak Tani, petani muda yang mau turun ke sawah adalah mereka yang rela tidak berpusing-pusing memikirkan ilmu (khususnya pertanian), apalagi jika harus duduk di dalam gedung dan menghapalkan nama latin berbagai tanaman dan hamanya.

Saya punya beberapa kenalan yang begitu, sawah ladangnya luas, orangnya juga berwawasan luas, tetapi yang mengerjakan (termasuk managemennya) orang lain. Sementara si "Petani" malah bisnis lain. 

Itu hanya sedikit gambaran dari petani muda yang tak bermasalah dengan modal utama seorang petani, yakni sawah dan ladang serta biaya bertani. Bagaimana dengan mereka yang hanya petani gurem dan sudah lanjut usia?

Ini salah satu permasalahan yang mungkin secara sederhana bisa dipahami. Lalu, solusi yang mungkin bisa diambil adalah dengan menanamkan benih-benih aneka ilmu pertanian dan memupuk rasa cinta  serta membangun lingkungan yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan bibit itu. 

Pendidikan (dalam arti luas) menjadi jawaban yang paling "mudah" dan masuk akal. Untuk jangka panjang, pendidikan formal sudah lumayan tersedia, hanya fokusnya yang mungkin perlu dipersempit di berbagai jenjang. Ini yang kadang-kadang menjadi konflik/benturan kepentingan dengan idealisme dunia pendidikan ( bahkan juga dengan bidang lain). Di bagian inilah kerumitan paling sering terjadi, sampai muncul kontroversi.

Jadi, yang paling memungkinkan adalah dengan mendidik orang-orang yang "sudah jadi petani" bukan orang yang ingin bertani dan juga bukan calon petani. Jika bukan petani, minimal adalah "Pangeran Tani." Karena sawah dan ladang itu hanya akan terus terjamin fungsinya sebagai lahan pertanian di tangan mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun