Mohon tunggu...
M Miftahul Firdaus
M Miftahul Firdaus Mohon Tunggu... Insinyur - Pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Pembelajar, Engineer, pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lele-lele Kolam Lumpur

3 Maret 2016   13:14 Diperbarui: 3 Maret 2016   13:31 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa di pedalaman, kawan, yang tanahnya menguapkan bau sampah busuk, liur anjing buduk, dan dijejali oleh gubuk-gubuk para pemabuk, terdapat seorang pemuda kurus berwajah tirus yang senantiasa berdoa serampangan, berharap Tuhan mengiriminya seorang malaikat tanpa sayap yang menjelma ke dalam wujud vedyadari bermata safir, yang tubuhnya bening seperti kaca sihir istana-istana dongeng. 

Seorang pemuda berambut acakadut yang selalu duduk nyekukruk di dalam growongan makam berbau anyir, menanti akan kedatangan seorang malaikat tanpa sayap yang datang menyembul dari balik lumpur makam seperti bunga wangi tujuh langit yang tumbuh di rawa yang tanahnya menguapkan bau sulfur. Seorang pemuda yang mengharapkan kedatangan malaikat tanpa sayap yang bisa membubungi tanah asalnya dengan wangi kesturi dan legit kurma najwa, menggantikan bau tinja-tinja cokelat tua yang dilemparkan sekenanya ke dalam sana.


Suatu waktu pemuda kurus itu pergi ke kota. Di sana, di antara jalan-jalan bertahta emas dan lemari-lemari kaca penuh buku-buku berhuruf liliput yang bagi penduduk desa sepertinya serupa bahasa tujuh dunia serupa kitab segala mantra, pemuda kurus berwajah tirus itu malu-malu dan sembunyi-sembunyi memandangi seorang malaikat tanpa sayap yang menjelma ke dalam wujud vedyadari bermata safir.

 Tapi dari segala doa serampangan yang ia panjatkan dan ayat-ayat kisah panjang yang ia lantunkan dengan suara serak meruncing bambu dalam solat-solat tujuh waktu, tak ada satupun yang mampu ia ucapkan di depan malaikat tanpa sayap itu. Lidahnya kelu, bahkan matanya tak sanggup memandang wajah malaikat tanpa sayap yang berpendar cahaya perak. Wajahnya selalu terikat ke tanah atau memandang ke arah lain seperti ia punya mata juling.


###


Di desa tanah asal itu juga, kawan, terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna hitam karena bercampur lumpur. Di dalamnya, hidup beratus-ratus lele yang berenang-renang ria di antara tinja-tinja berwarna cokelat tua yang dilemparkan sekenanya ke dalam sana. Lele-lele itu melahapnya dengan rakus karena perut mereka buncit dan sirip-sirip mereka kurus. Tapi anehnya, dari berton-ton tinja yang mereka lahap setiap harinya, tak ada yang mampu mengubah perut buncit dan sirip-sirip kurus mereka menjadi normal seperti kakap-kakap merah di laut sana.


“Tapi tak mengapa”, kata salah seekor lele yang ditanya oleh pemuda kurus berwajah tirus itu tentang mengapa mereka rela melahap tinja-tinja itu setiap harinya, tentang mengapa mereka makan dari sisa-sisa yang membusuk dan tidak higienis itu.


“Yang penting, kan, perut kami tiada lagi meronta-ronta. Toh, kami tak punya makanan lain selain ini. Bahkan, kami bisa hidup berpuluh-puluh tahun dengan melahap tinja-tinja itu.”


Pemuda kurus berwajah tirus itu tak puas dengan jawaban si lele. Ia pergi ke kota, mencari perpustakaan dengan kitab-kitab penuh mantra. Ia mencari mantra paling ampuh untuk mengubah tinja-tinja itu, satu-satunya makanan yang dimiliki lele-lele desa, menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi bergizi tinggi agar lele-lele itu bisa gemuk juga.


Ia menemukan mantra pertama. Ia ambil bahan-bahan yang tertulis dalam kitab mantra itu. Ada daun pepaya, bawang segala rupa, cabai keriting merah tua, dan garam beriodium berbungkus gambar lumba-lumba. Ia gerus semua bahan dan ia bacakan mantra-mantra seperti tertulis dalam kitab.

     
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning sadyakalaning karejan golang-galing!”
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning kamelarataning lele-lele weling!”
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning kasengsaraning lele-lele weling!”
Tapi tetap tak ada perubahan. Tinja-tinja berbau busuk yang dilemparkan sekenanya ke dalam sana tiada berubah menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi. Lele-lele kolam lumpur itu tetap saja berperut buncit dan bersirip kurus.
Pemuda kurus berwajah tirus itu tiada menyerah juga. Ia coba bahan-bahan yang berlainan rupa dan ia bacakan lagi mantra dari Begawan masa lama.
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning sadyakalaning karejan golang-galing!”
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning kamelarataning lele-lele weling!”
“Sumingkir! Sumingkir sedayaning kasengsaraning lele-lele weling!”
Beratus-ratus kali ia coba, beribu-ribu jenis bahan ia haluskan, dan bermonyong-monyong bibirnya membaca mantra, tiada berubah sedikitpun tinja-tinja cokelat tua yang dilemparkan sekenanya ke dalam sana menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi seperti diharapkannya.
“Sudahlah, menyerah saja!” teriak seekor lele dari dalam kolam lumpur.
“Tak akan dapat kau ubah nasib yang sudah dituliskan dalam lontar-lontar segala masa.”
Tapi pemuda kurus berwajah tirus tiada menyerah juga. Ia pergi lagi ke kota. Ia jumpai seorang pintar yang babad menyebutnya sebagai pria tua berjenggot lebat bersorban ketat yang tersesat dan selalu salah menunjuk arah kiblat. Ia bertanya tentang nasib lele-lele di desanya.
“Kudus … Kudus! Lontar nasib adalah lontar nasib. Dan tiada berhak menulisinya kecuali Ia Yang Menciptakan Tanah Asal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun