Ada pepatah lama di dunia pendidikan: "Guru bukan sekadar pengajar, tapi penyulut kesadaran."
Di tengah dunia yang makin haus energi, kalimat itu terasa makin relevan. Energi, dalam konteks bangsa, bukan cuma soal listrik yang menyala atau pabrik yang berputar tapi juga tentang bagaimana kesadaran generasi muda dibentuk agar tahu dari mana daya kehidupan itu berasal dan bagaimana ia dijaga.
Di MI Al Ihsan Terpadu, Tarik, Sidoarjo, percakapan tentang energi bukan lagi urusan buku IPA semata. Di ruang kelas, anak-anak mulai belajar bahwa bumi yang mereka pijak ternyata "hidup". Bahwa di perut bumi, ada panas yang diam-diam menyimpan kekuatan luar biasa energi panas bumi, atau yang dalam bahasa keren disebut geothermal energy. Dan dari sanalah narasi ini dimulai: dari madrasah kecil, dengan semangat besar untuk menjaga bumi tanpa kehilangan kepala dingin.
Indonesia bagaikan raksasa yang berdiri di atas tungku api. Letaknya di cincin api Pasifik membuat negeri ini dianugerahi lebih dari 23.000 megawatt potensi panas bumi. Tapi, anugerah itu masih lebih banyak tidur daripada bekerja. Ironis, bukan? Di bawah kaki kita, tersimpan sumber energi bersih yang bisa menerangi negeri tapi belum sepenuhnya dimanfaatkan. Sebagian besar anak-anak tahu listrik berasal dari PLN, tapi sedikit yang tahu listrik itu punya "cerita panjang" dari alam. Di sinilah pendidikan berperan: bukan sekadar mentransfer pengetahuan teknis, tapi membentuk kesadaran ekologis dan moral. Karena sejatinya, kesadaran energi bukan hanya urusan ilmiah ia adalah persoalan etika.
Ketika seorang guru MI menjelaskan bahwa energi panas bumi tidak menghasilkan emisi karbon, ia sesungguhnya sedang menanamkan nilai tanggung jawab. Bahwa bumi tidak untuk dihisap tanpa batas, melainkan dijaga agar tetap hidup bagi generasi berikutnya. Energi bersih bukan sekadar isu global; ia adalah laku lokal yang harus ditanam sejak dini.
Dari MI Al Ihsan Terpadu: Menyalakan Kesadaran, Bukan Sekadar Lampu
MI Al Ihsan Terpadu punya cara unik menyalakan semangat belajar energi di kalangan siswanya. Suatu hari, di pelajaran tematik, seorang guru membuka kelas dengan pertanyaan:
"Kalau air bisa jadi listrik, kenapa panas bumi tidak?"
Anak-anak terdiam, sebagian mengernyit, sebagian lain menjawab polos,
"Karena bumi nggak punya colokan, Bu."
Jawaban itu disambut tawa tapi di situlah awal kesadaran dibentuk. Guru lalu menjelaskan bahwa bumi sesungguhnya punya 'daya' yang bisa dikelola dengan ilmu dan akal sehat. Anak-anak mulai belajar tentang bagaimana panas bumi diolah menjadi energi listrik. Bukan dengan colokan, tapi dengan turbin, uap, dan teknologi.
Lebih dari sekadar teori, MI Al Ihsan mengajak siswa membuat mini project: maket gunung api mini yang bisa "menghasilkan uap" dari lilin di bawah tabung air. Mereka belajar bahwa energi itu tak pernah hilang, hanya berubah bentuk.
Dari kegiatan sederhana itu, satu hal yang tumbuh: rasa ingin tahu dan rasa tanggung jawab terhadap bumi.
Mengubah Paradigma: Dari Konsumen Energi ke Penjaga Energi
Selama ini, pelajar sering diajarkan bagaimana energi digunakan, bukan bagaimana ia dijaga.
MI Al Ihsan Terpadu mencoba membalik logika itu. Di madrasah ini, istilah hemat energi bukan sekadar slogan di dinding, tapi jadi kebiasaan kecil yang hidup. Lampu dimatikan ketika tak digunakan, kipas dinyalakan hanya saat perlu, dan air wudu dipakai secukupnya.
"Kalau kamu bisa hemat air dan listrik, berarti kamu bisa menjaga panas bumi," kata seorang guru dengan nada lembut namun tegas.
Kalimat itu sederhana tapi mengandung pesan filosofis: pengelolaan energi dimulai dari pengelolaan diri.
Dalam konteks pendidikan nasional, pola semacam ini bisa jadi model green education. Anak-anak bukan hanya tahu tentang energi, tapi punya kepekaan sosial dan moral terhadap lingkungan. Itulah yang disebut pendidikan holistik pendidikan yang tidak berhenti di kepala, tapi meresap ke hati.
Kepala Dingin di Tengah Kawah Panas: Filosofi dari Alam
Judul tulisan ini bukan tanpa makna. "Kawah panas" melambangkan potensi luar biasa dari alam Indonesia kekuatan yang bisa mendidih, menyala, bahkan meledak bila tidak dikelola.
Sementara "kepala dingin" adalah sikap yang harus dimiliki manusia, terutama generasi muda, dalam menghadapinya. Karena mengelola energi, apalagi energi sebesar panas bumi, butuh rasionalitas, kesabaran, dan keseimbangan antara akal dan moral.
Pendidikan di madrasah seperti MI Al Ihsan Terpadu justru menanamkan nilai ini lewat cara sederhana: dialog, eksperimen kecil, dan pembiasaan karakter. Mereka tidak sekadar belajar sains, tapi belajar bagaimana menjadi manusia yang "dingin kepala" dalam berpikir tidak terburu-buru mengeksploitasi, tapi menimbang dan menjaga. Dari sinilah makna pendidikan sejati tumbuh: bukan melahirkan ahli energi yang rakus, tapi generasi yang bijak membaca panas bumi sebagai amanah, bukan sekadar sumber daya.
Kementerian Keuangan memiliki peran besar dalam mengatur arah kebijakan investasi energi nasional. Namun, kebijakan sebaik apa pun tak akan efektif tanpa dukungan kesadaran publik terutama dari generasi muda yang kelak menjadi pengambil Keputusan. MI Al Ihsan Terpadu sadar bahwa tugas mereka bukan menghasilkan ilmuwan, tapi menyiapkan manusia yang bisa berpikir jernih tentang masa depan energi bangsa. Mereka menanamkan konsep energy literacy literasi energi sebagai bagian dari pendidikan karakter. Karena literasi tak lagi cukup hanya membaca dan menulis; sekarang, literasi harus mampu memaknai kehidupan dan kebijakan.
Dari madrasah kecil di Sidoarjo, muncul harapan bahwa anak-anak bisa melihat energi panas bumi bukan sekadar sumber listrik, melainkan simbol kemandirian bangsa. Mereka belajar bahwa negeri yang bisa mengelola panas buminya sendiri, adalah negeri yang tak lagi bergantung pada impor bahan bakar fosil. Dan di situlah letak mimpi Indonesia: menjadi bangsa yang mandiri, berdaulat, dan berkelanjutan Kemenkeu Mengajar selalu membawa semangat "wujudkan mimpi kita untuk Indonesia."
Dan mimpi itu hanya bisa terwujud jika pendidikan mampu menyalakan kesadaran energi sejak dini.
MI Al Ihsan Terpadu mungkin hanya satu titik kecil di peta negeri, tapi dari titik kecil itulah muncul sinar yang menyebar: kesadaran bahwa bumi ini bukan warisan, melainkan titipan. Ketika anak-anak diajak melihat gunung sebagai sahabat, bukan sekadar pemandangan; ketika mereka memahami bahwa uap panas yang keluar dari bumi bisa menjadi cahaya lampu; ketika mereka mengerti bahwa menjaga energi sama dengan menjaga kehidupan di situlah mimpi Indonesia sedang diwujudkan, satu kelas demi satu kelas.
Energi panas bumi bukan hanya soal turbin dan teknologi; ia adalah kisah spiritual antara manusia dan bumi. Dan pendidikan adalah jembatan yang membuat kisah itu abadi.
Kawah panas akan terus mendidih di perut bumi, tapi masa depan hanya akan cerah jika kepala-kepala muda dijaga tetap dingin. Mendidik kesadaran energi bukan sekadar mengajarkan fakta ilmiah, tapi menghidupkan tanggung jawab moral terhadap bumi yang memberi kehidupan. Madrasah seperti MI Al Ihsan Terpadu telah membuktikan, bahwa pendidikan bisa menjadi bentuk ibadah yang paling ekologis menyinari negeri tanpa membakar masa depan.
Mungkin anak-anak itu belum tahu rumus termodinamika, tapi mereka paham bahwa bumi punya batas, dan manusia harus belajar bersyukur. Dari tangan-tangan kecil yang menyalakan lilin percobaan di kelas, lahir generasi baru yang siap menyalakan mimpi Indonesia: negeri yang hangat oleh semangat, tapi tetap teduh oleh kebijaksanaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI