Mohon tunggu...
M Rizky Ganda
M Rizky Ganda Mohon Tunggu... Animator - Dosen

Seseorang yang mengisi waktu dengan mengajar dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Sudah Berkali-kali Tapi Capresnya Itu-itu Saja

15 Oktober 2022   15:54 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:00 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Koalisi ini menjadi tidak alamiah atau tidak berdasarakan kesamaan ideologi seperti yang seharusnya. Sebetulnya aturan presidential threshold ini sudah berulangkali digugat di Mahkamah Konsitusi namun belum ada satupun gugatan yang dikabulkan. Akan tetapi hal ini cukup untuk dipahami bahwa aturan presidential threshold yang digunakan di Indonesia ini bermasalah.

Gagal Regenerasi 

Selain permasalahan sistemik seperti threshold yang tinggi, kegagalan partai politik dalam melakukan regenerasi juga menjadi salah satu faktor yang menghambat munculnya tokoh-tokoh baru yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai Presiden berikutnya. Regenerasi dalam partai politik merupakan mekanisme internal partai politik yang harus dilakukan agar partai politik tetap dapat kompetitif dan merespon dengan baik dinamika politik, sosial, ekonomi yang terus berubah dengan cepat. 

Regenerasi dalam partai politik berkaitan dengan bagaimana partai politik melakukan rekrutmen terhadap anggota, karena kaderisasi yang baik di dalam partai politik akan mendorong proses regenerasi kepemimpinan bangsa. Regenerasi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai membutuhkan kader-kader yang berkualitas dan ini hanya bisa didapatkan jika partai mendukung dan memberikan kesempatan penuh kepada kader-kadernya untuk mengembangkan diri. 

Misalnya dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan memberikan posisi yang strategis bagi mereka yang mana biasanya hanya menjadi milik elit-elit partai saja. Jika proses regenerasi ini ini berjalan dengan baik, partai-partai akan mendapatkan kader-kader yang berkualitas sehingga partai tidak akan lagi kesulitan untuk menentukan dan meneruskan kepemimpinannya kedepan dan memiliki peluang besar untuk mengajukan calonnya sendiri dalam bursa pencalonan kepala daerah atau bahkan Presiden.

Akan tetapi hal ini menajadi sulit dilakukan karena partai-partai politik sudah terlalu nyaman dengan tokoh sentral yang mereka miliki. Hal ini diakibatkan karena partai-partai politik di Indonesia masih terjebak dengan karakter personalistik dimana partai lebih banyak membebankan citra partai pada pola patronase yang kuat dengan sosok pemimpin yang kharismatik (Gunther and Diamond 2001). Model kepemimpinan politik yang masih mempertahankan pola hierarkis sentralistik seperti itu jika terus dibiarkan kedepannya akan menjadi pekerjaan rumah utama bagi partai politik yang harus segera dibenahi. Karena selain menghalangi proses pelembagaan partai secara demokratis, hal tersebut juga menghambat proses regenerasi partai politik.


Kegagalan regenerasi dalam partai politik seolah-olah menjadi fenomena yang wajar. Dari kongres ke kongres pemilu ke pemilu, tokoh-tokoh politik saat ini masih diisi oleh tokoh-tokoh lama yang mungkin sudah tidak relevan lagi dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa hasrat para politisi senior telah menghalangi terbukanya katup-katup kepemimpinan berikutnya. Partai politik telah gagal menciptakan sirkulasi regenerasi yang sehat yang dapat memunculkan tokoh-tokoh baru yang lebih relevan bagi kebutuhan umum. Hal ini tentu saja berpengaruh pada proses seleksi kepemimpinan nasional. Partai-partai tidak memiliki keberanian untuk mencalonkan tokoh-tokoh baru, mereka hanya akan terfokus pada tokoh lama yang sudah ada. Program regenerasi kader harus menjadi perhatian penting setiap partai politik dan harus segera dilakukan agar terjadi penyegaran kepemimpinan politik dan untuk menghindari penilaian publik bahwa tokoh-tokoh senior partai politik hanya mempertahankan status quonya.

Kita sudah melihat nama dan wajah Parbowo Subianto dalam surat suara pemilu sebanyak tiga kali. Dan jika tetap sesuai rencana, pemilu 2024 nanti akan menjadi kali keempat kita melihat nama dan wajah Prabowo Subianto dalam surat suara. Padahal dari data terbaru yang disajikan Kementerian Dalam Negeri, Indonesia memiliki 20,69 juta penduduk yang berusia diatas 40 tahun. Setidaknya, usia tersebut telah mencukupi salah satu syarat untuk menjadi calon Presiden di Indonesia. Apakah dari 20,69 juta penduduk tidak ada lagi yang pantas untuk dicalonkan sebagai Presiden? Dengan jumlah tersebut, seharusnya partai politik mampu mencari dan menjaring calon-calon Presiden baru yang berasal dari akar rumput dan tentunya dikehendaki oleh rakyat.

Untuk itu, sebaiknya, aturan presidential threshold 20% segera dihapuskan atau kembali pada konteks dan ketentuan sebenarnya yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6A ayat 3 dan 4. Karena dalam sistem presidensial, lembaga Presiden dan Parlemen merupakan dua institusi yang terpisah yang memiliki basis legitimasi yang berbeda. Oleh karena itu, aturan ketentuan presidential threshold menjadi tidak relevan lagi untuk diterapkan di Indonesia. Terlebih lagi pemilu saat ini dilakukan secara serentak baik pemilihan Presiden maupun pemilihan Legislatif.

Jika memang partai mengalami kesulitan dalam proses regenerasi kader yang mana kemudian berbuntut panjang pada proses seleksi dan penentuan calon Presiden. sebaiknya praktik demokrasi dilakukan lebih awal melalui sarana konvensi calon Presiden. Setiap partai politik membuka ruang seluas-luasnya bagi yang ingin mencalonkan diri menjadi Presiden baik itu elit partai, pengurus ataupun masyarakat umum dipersilahkan mengajukan diri dalam konvensi calon Presiden yang telah disediakan oleh masing-masing partai. Meskipun akan membutuhkan cost yang besar, hasil yang didapat dari sistem konvensi ini akan sepadan dengan yang diharapkan. Setidaknya, selain baik untuk proses regenerasi kepemimpinan nasional, adanya konvensi menjadikan kompetisi bakal calon Presiden menjadi lebih terbuka dan fair. Sehingga pembicaraan dan pengambilan keputusan terkait siapa yang akan dicalonkan menjadi Presiden yang biasanya hanya menjadi pembicaraan elit-elit partai dan terkesan sentralistis menjadi lebih demokratis. Karena selain dipilih langsung oleh rakyat, Presiden juga seharusnya mendapat mandat langsung dari rakyat.

Artikel ini dibuat bukan untuk mengajak masyarakat menolak sesorang menjadi calon presiden karena itu merupakan hak dari setiap warga negara. Artikel ini dibuat justru untuk mempertanyakan kenapa hanya orang-orang itu saja yang bisa menjadi calon Presiden seolah-olah hanya mereka yang berhak menjadi presiden di Indonesia. Demokrasi telah mebuka ruang luas bagi siapapun untuk memimpin negara. Untuk itu sebaiknya syarat pencalonan Presiden harus dibuat lebih sederhana dan tidak terkesan membatasi seseorang untuk menjadi calon Presiden. Semakin banyak alternatif calon Presiden, maka peluang Presiden untuk dikendalikan oligarki akan semakin menipis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun