Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Teana (Part 6 - Lanjutan 2)

12 April 2017   12:38 Diperbarui: 12 April 2017   12:50 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nyonya…. Darimana saja? Hamba khawatir sekali. Apakah terjadi sesuatu pada Nyonya?” tanya Hamra penuh kecemasan sambil memegangi tangan majikannya itu.

“Aku baik – baik saja Hamra. Kau tenanglah. Tidak terjadi apapun kepadaku.” jawab Aairah tersenyum sambil memegangi tangan pelayannya itu.

“Syukurlah kalau begitu Nyonya. Sudah hampir satu jam kami menunggumu disini. Hampir saja aku menyuruh Kishwar untuk mencarimu.”

“Terimakasih Hamra, kau sangat perhatian sekali kepadaku. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ini sebelum hari gelap.” ucap Aairah.

“Iya Nyonya. Mari.”

Rombongan Aairah kembali melanjutkan perjalanan mereka. Setelah semuanya siap, kereta unta mereka bergerak menuju Hegra. Tempat tinggal Aairah.

Sepanjang perjalanan, Aairah hanya bisa melamun didalam keretanya. Memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Sebuah kejadian yang tidak masuk akal saat ia kembali lagi ke sumber air Mehnaz untuk yang kedua kali. Sebuah kejadian yang membuat pikirannya resah.

“Ternyata benar ucapan Mehnaz.” gumam Aairah saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sumber air Mehnaz kini telah berubah menjadi padang gersang.

Di depannya kini hanya nampak sebuah padang gersang yang kering tak berair. Panas dan banyak debu beterbangan tertiup angin.

Padahal beberapa jam yang lalu padang itu penuh dengan air dan nampak hijau menyegarkan mata.

Ucapan Mehnaz adalah sebuah kebenaran. Sebuah kebenaran yang sulit sekali diterima oleh akal Aairah. Kebenaran bahwa anak yang akan ia lahirkan adalah seorang pemimpin dan penyelamat Bangsa Nabataea.

Tiba – tiba Aairah terbangun dari lamunannya. Suara seorang wanita tua menggema memenuhi kepalanya.

“Minumlah air yang kau bawa itu. Satu kantung untukmu, satu kantung lagi untuk suamimu. Air itu akan membantumu memiliki seorang keturunan. Keturunan penyelamat Bangsa Nabataea.”

Aairah hanya bisa diam mendengarkan. Karena ia mengenal betul suara itu. Dan ia tidak mungkin menceritakannya kepada orang lain. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam dan menuruti suara tadi. Suara ratu jin Mehnaz.

“Semoga saja ucapan ratu jin itu benar demikian. Dewa bantulah aku.” gumam Aairah dalam hati.

Kereta unta rombongan Aairah perlahan meninggalkan Wadi Rumm. Udara mulai dingin. Matahari mulai meredup. Pertanda hari mulai sore.

“Hamra, kita sudah sampai dimana?” tanya Aairah dari dalam keretanya.

“Sebentar lagi kita akan memasuki gerbang Kota Hegra Nyonya.” jawab si pelayan.

Mendengar kata Hegra, Aairah merasa sangat senang. Ia tersenyum. Ia ingin segera menemui suaminya dan memberitahu kabar baik untuknya.

“Aku sudah tidak sabar bertemu suamiku. Aku yakin suamiku pasti akan merasa senang mendengar berita ini.” ucap Aairah pelan. Ia tersenyum bahagia.

Sejenak kemudian Aairah mengerutkan dahinya, ia berubah pikiran…

“Tapi apakah suamiku akan mempercayai ceritaku? Kalau ia tidak mau meminum air yang kubawa ini, harapanku untuk mendapat seorang keturunan akan sirna. Lebih baik aku diam.” ucap Aairah dalam hati kecilnya.

Mendadak kereta untanya berhenti. Aairah tersentak kaget dari tempat duduknya. Ia membuka tirai jendela keretanya. Mengeluarkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang terjadi.

“Hamra, ada apa ini?” tanya Aairah.

“Maaf Nyonya, hamba kurang tahu. Sebentar hamba lihat ke depan.” jawab Hamra singkat.

Sesaat kemudian Hamra turun dari untanya, lalu berjalan menuju pemimpin rombongan di depan. Setelah sampai disana, ia melihat seorang nenek tua berpakaian lusuh sedang bersimpuh di kaki Kishwar.

“Ada apa ini Kishwar.” tanya Hamra.

“Wanita tua ini meminta air. Aku sudah bilang kepadanya bahwa ia harus menyingkir dari jalan ini. Karena ia mengganggu rombongan kita.” jawab Kishwar singkat. Ia nampak sedikit emosi.

“Siapa dia Kishwar?” tanya Hamra penasaran.

“Aku sendiri tidak mengenalnya. Saat itu angin cukup kencang. Sehingga menghalangi pandanganku ke depan. Dan tiba – tiba saja sudah muncul wanita tua ini ditengah jalan.” ujar Kishwar sambil bersungut – sungut sedikit emosi.

Seketika itu juga wanita tua itu merangkak ke kaki Hamra. Pelayan Aairah.

“Nyonya, berilah aku sedikit air yang kau punya. Aku sangat haus Nyonya…” rintih wanita tua itu setelah membuka kerudung penutup kepalanya.

Hamra merasa iba melihat nenek tua itu. Wajahnya nampak keriput, terlihat sangat lelah seperti telah melakukan perjalanan seharian. Rambutnya yang memutih terlihat acak – acakan.

“Bangunlah Nek, mari ikut denganku.” ajak Hamra sambil membimbingnya untuk bangun.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju kereta unta milik Aairah. Dengan sedikit susah payah, nenek tua itu berjalan menyeret kakinya. Sepertinya ia tidak memiliki tenaga lagi. Sehingga Hamra memapahnya untuk berjalan menuju kereta unta Aairah.

“Nyonya, maafkan hamba. Apakah Nyonya memiliki sedikit air? Air saya telah habis Nyonya,” tanya Hamra.

“Ada apa Hamra? Kau membutuhkan air?” tanya Aairah dari balik tirai jendela kereta untanya.

“Bukan hamba Nyonya, namun nenek tua ini. Hamba merasa kasihan melihat keadaannya.” ucap Hamra.

Mendengar perkataan pelayannya itu, Aairah membuka sedikit tirai jendela keretanya. Mengintipnya dari balik tirai.

“Siapa dia Hamra? Kau mengenalnya?” tanya Aairah sambil menutup kembali tirai jendela keretanya.

“Hamba tidak mengenalnya Nyonya, nenek inilah yang menyebabkan rombongan kita berhenti. Tiba – tiba saja ia bersimpuh ditengah jalan meminta air kepada Kishwar. Ia meminta sedikit air milik kita. Sudah seharian ini ia tidak minum. Ia merasa sangat haus.” ucap Hamra panjang lebar.

Aairah menyibakkan sedikit tirai jendela kereta untanya. Ia menatap wanita tua itu baik – baik. Ada sedikit rasa iba terhadapnya.

“Kasihan sekali wanita tua itu, ia kelihatannya sangat membutuhkan air. Tapi jika aku berikan satu kantung air ini untuknya, maka….” gumam Aairah dalam hati sambil matanya terus menatap si wanita tua.

Kini hati Aairah dipenuhi rasa kebimbangan antara menolong orang lain atau menolong dirinya sendiri. Cukup lama ia memikirkan hal ini.

Aairah menutup kembali tirai jendela keretanya.

Tiba – tiba…

“Nyonya…. Nyonya…. Tolong….” teriak Hamra dari luar.

“Ada apa Hamra?” ucap Aairah terkejut sambil membuka tirai jendela keretanya.

Wanita tua itu ambruk ke tanah. Merintih – rintih meminta air. Aairah bergegas keluar dari kereta untanya. Membantu Hamra untuk mengangkat tubuh wanita tua itu yang hampir terjatuh di tanah.

“Hamra, cepat kau ambil satu kantung air milikku. Kantung air itu ada didalam kereta. Cepatlah.” perintah Aairah.

“Baik Nyonya.” jawab Hamra.

Melihat wanita tua itu ambruk, hati Aairah tersentuh. Ia merasa harus menolongnya. Menyingkirkan keinginannya untuk menolong orang lain. Menolong si wanita tua.

Sang pelayan bergegas menuju kereta unta. Mencari kantung air didalamnya. Lalu kembali lagi menemui majikannya dan menyerahkan kantung air itu kepadanya.

“Ini Nyonya, hamba menemukan ini diatas tempat duduk Nyonya.”

“Berikan padaku Hamra,”

Setelah Aairah memangku kepala wanita tua itu, perlahan – lahan ia meneteskan air kedalam mulutnya. Wanita tua itu meminumnya dengan penuh dahaga.

“Terimakasih Nyonya, kau telah menolongku,” ucap wanita tua itu kepada Aairah dengan suara terbata – bata.

Tangan wanita tua itu menggenggam tangan Aairah. Seketika itu juga terjadi sesuatu dalam diri Aairah. Pikiran Aairah dipenuhi peristiwa yang telah ia alami. Saat ia memberikan sedekah, saat ia membersihkan diri di sumber air Mehnaz hingga saat ia bertemu ratu jin Mehnaz di wilayah Al Djinn. Semuanya tergambar dengan jelas dan segera menghilang. Hanya Aairah lah yang mengalaminya.

“Nyonya….” ucap si wanita tua.

Aairah mendadak kaget. Ia tersadar dari lamunannya. Disampingnya kini telah duduk seorang wanita. Wanita tua yang baru saja ia beri minum.

“Ini Nyonya, aku kembalikan kantung air milikmu. Terimakasih atas pemberianmu. Aku sekarang merasa segar kembali. Semoga dewa memberkati wanita sebaik dirimu Nyonya.”

“Iii…Iya. Sama – sama. Aku juga senang bisa menolongmu Nek, semoga nenek baik – baik saja.” jawab Aairah dengan suara terbata – bata dan wajah tercengang. Seperti melihat hantu.

“Pergilah Nyonya, lanjutkanlah perjalananmu. Tak perlu Nyonya mencemaskanku.” jawab wanita tua itu sambil tersenyum kepada Aairah dan membetulkan letak kerudungnya.

Setelah Aairah memastikan wanita tua itu baik – baik saja, ia dan pelayannya bergegas berdiri dan beranjak dari tempatnya untuk menuju kedalam kereta unta.

“Ayo Hamra, kita lanjutkan perjalanan ini. Beritahukan kepada Kishwar untuk segera berangkat.” perintah Aairah.

“Baik Nyonya,” ucap Hamra.

Hamra pun bergegas menemui Kishwar setelah mengantar majikannya naik kedalam kereta unta. Sementara si wanita tua itu berdiri disamping kereta unta Aairah.

Aairah masih tidak percaya dengan kejadian yang membingungkan ini. Didalam kereta unta, ia berpikir keras tentang hubungan kejadian ini dengan calon bayi yang kelak akan ia lahirkan. Calon bayi yang dijanjikan oleh Mehnaz.

“Aku tidak mengerti apa maksud semua ini, baru saja aku bertemu Mehnaz, sekarang aku bertemu wanita tua yang kehausan. Apa hubungan mereka berdua?” gumam Aairah dalam hati.

Dalam kekalutan pikirannya, ia membuka tirai jendela keretanya agar angin bisa berhembus kedalam dan ia bisa bernafas dengan lega. Ia melihat wanita tua itu tersenyum kepadanya. Dan ia membalas balik senyumannya.

Perlahan – lahan kereta unta Aairah berjalan meninggalkan padang pasir yang sepi. Hamra dan pengikut yang lainnya telah berada diatas untanya masing – masing. Aairah menengok keluar jendela. Ia ingin memastikan sekali lagi bahwa wanita tua tadi baik – baik saja. Ternyata wanita tua itu masih berdiri di belakang iring – iringan rombongan Aairah. Tidak begitu jauh.

“Syukurlah, ia baik – baik saja. Semoga dewa menolongnya.” ucap Aairah lirih.

Ia kembali memasukkan kepalanya dan duduk senyaman mungkin didalam kereta untanya. Menyandarkan kepalanya untuk menenangkan pikirannya. Iapun memejamkan mata. Menghirup nafas dalam – dalam.

Tiba – tiba terdengar suara menggema didalam kereta unta Aairah…

“Terimakasih Aairah, aku tidak salah memilihmu. Aku kembalikan air yang telah kau berikan kepadaku. Pergunakan air itu sebaik – baiknya. Semoga kau cepat mendapatkan keturunan. Aku pamit dulu.”

Aairah terhenyak, ia terbangun. Membuka matanya dan melihat sekeliling.

“Tidak ada orang ternyata. Suara siapa tadi?” gumam Aairah dalam hati.

Segera ia menyibak tirai jendela kereta untanya, ia melihat keluar dan mencari si wanita tua yang tadi ditolongnya. Namun wanita itu sudah tidak nampak di belakang iring – iringan rombongan Aairah. Hanya padang pasir luas yang terlihat. Wanita tua itu telah menghilang.

“Kemana perginya wanita tua itu?” gumam Aairah.

***

Hari mulai beranjak petang, Haydar sibuk membantu Manaf untuk menyelesaikan pahatan saluran air di sepanjang dinding Al Siq.

“Haydar, Manaf… Berhentilah sebentar. Lebih baik kita makan dahulu. Aku sudah mempersiapkan bekal untuk kita.” ucap Ghalib sambil mengeluarkan bekal dari dalam bungkusan kain yang ia bawa.

“Sebentar Tuan, tinggal sedikit lagi. Tinggal dua sampai tiga meter lagi. Setelah itu semuanya akan selesai.” jawab Manaf.

“Iya Tuan, biarkan kami menyelesaikannya terlebih dahulu. Karena hari sebentar lagi gelap.” jawab Haydar bersemangat.

“Kalian berdua memang pekerja keras. Aku bangga memiliki teman seperti kalian. Rela bekerja untuk kepentingan rakyat.” ucap Ghalib.

“Terimakasih banyak Tuan, Raja Aretas IV pasti senang dengan hasil kerja kita.” ucap Haydar.

“Iya kau benar Haydar, bukan hanya raja saja yang senang, namun seluruh rakyat Petra pasti senang.” jawab Ghalib.

“Semoga demikian Tuan. Semoga saluran air ini bermanfaat untuk orang banyak.” ucap Manaf sambil terus memahat dinding Al Siq yang tinggal sedikit lagi selesai.

“Sudah – sudah, cepatlah kalian selesaikan pekerjaan kalian. Setelah itu kita makan bersama. Aku sudah mulai lapar.” ucap Ghalib sambil mempersiapkan bekal yang ia bawa.

Mendengar kata lapar, Haydar dan Manaf semakin bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena mereka berdua sudah tidak sabar untuk menikmati makanan yang disiapkan oleh Ghalib.

Sementara itu suasana di sekitar lorong Al Siq mulai sedikit lengang karena hari beranjak petang. Matahari mulai condong ke Barat. Beberapa orang masih sibuk berlalu lalang membawa barang dagangan mereka diatas kereta unta.

Obor – obor yang tertempel di dinding Al Siq mulai menyala satu persatu. Ada dua – tiga orang yang bertugas menyalakan obor – obor itu. Lorong Al Siq mulai sedikit terang dan hangat. Dindingnya memantulkan cahaya kemerah – merahan semerah matahari senja. Sangat indah.

Malam merangkak turun. Dari kejauhan terdengar suara musik gambus mengalun merdu. Alunan musik itu berasal dari kedai minuman yang cukup ramai di Kota Petra.

“Hei… Haydar, Manaf… Bagaimana kalau sehabis ini kita minum – minum dulu di kedai. Sepertinya kedai itu telah buka.

“Ide bagus Tuan. Sudah lama kita tidak minum – minum semenjak kita meninggalkan Hegra.” jawab Haydar.

“Dasar anak muda. Mendengar kata minum langsung semangat. Bantu aku membereskan peralatanku dulu.” perintah Manaf setelah ia menyelesaikan pahatan terakhirnya.

“Iya Tuan Manaf….” jawab Haydar sambil membungkuk hormat kepada Manaf seperti menghormat kepada raja.

“Kurang ajar kau Haydar….” ucap Manaf tersenyum sinis. Lalu ia tertawa kecil melihat kekonyolan temannya itu.

Pekerjaan pemahatan saluran air di sepanjang Al Siq akhirnya selesai juga. Setelah Haydar dan Manaf mengemasi peralatan mereka dan membasuh tangan mereka dengan air, mereka bertiga makan dengan lahapnya diatas kain yang digelar di atas pasir. Suasananya menjadi sangat akrab. Menghilangkan perbedaan diantara mereka bertiga.

Setengah jam berlalu, kini mereka bertiga telah berada di penginapan mereka. Masing – masing membersihkan badannya. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bagus. Malam ini mereka ingin tampil lebih bersahaja layaknya para pembesar kerajaan.

“Bagus sekali pakaianmu Haydar,” ucap Ghalib memuji sahabatnya itu.

“Tentu saja. Malam ini aku tak mau kalah denganmu. Aku ingin menjadi pusat perhatian di kedai…. Mmm… kedai apa namanya?” ucap Haydar sambil berpikir keras.

“Kedai Zubi.” jawab Manaf singkat.

“Oh yaa…. Zubi. Nama yang menarik.” jawab Haydar dengan ekspresi wajah yang senang.

Ghalib yang menyaksikan percakapan kedua temannya hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalanya. Dalamhatinya ia merasa senang dikelilingi oleh teman yang hebat seperti mereka. Teman yang selalu mendukung satu sama lain. Dalam keadaan apapun.

“Baiklah, ayo kita segera berangkat. Kedai Zubi telah menunggu kedatangan kita.” ucap Ghalib setelah beranjak dari tempat duduknya.

Malam itu Ghalib memakai jubah kebanggaannya. Jubah warna biru gelap. Tak lupa ia memakai turban di kepalanya. Turban hitam berhiaskan sebuah permata merah ditengahnya serta sebuah bulu merak tertancap kokoh diatas permata itu. Menambah kesan menawan.

“Indah sekali turban yang kau miliki. Aku belum pernah melihat kau memakai turban ini.” ucap Haydar.

“Kau terlalu memujiku. Turban ini sering aku pakai saat menghadiri pertemuan dengan Raja Aretas IV. Atau saat acara tertentu yang diadakan oleh kerajaan. Mungkin kau saja yang belum sempat melihatku memakai turban ini.” jawab Ghalib merendah.

“Mungkin kau benar. Hahaha…,” Haydar tertawa kecil.

“Sudah – sudah. Kalian ini masih saja meributkan turban. Apa kalian tidak ingin segera menikmati minuman di kedai Zubi?” tanya Manaf.

“Manaf benar. Ayo kita segera berangkat.” ajak Haydar kepada kedua temannya itu.

***

Malam itu udara cukup dingin. Rombongan Aairah telah memasuki Kota Hegra. Beberapa pengawal Aairah sibuk menggiring unta – unta mereka memasuki kandangnya. Hamra yang selalu siaga, membantu Aairah yang nampak lelah untuk turun dari kereta untanya.

“Mari Nyonya, hati – hati,” ucap Hamra sambil memegangi tangan Aairah untuk turun dari keretanya.

“Terimakasih Hamra, malam ini aku ingin makan sup kambing.” ucap Aairah.

“Baik Nyonya, akan saya buatkan.” jawab Hamra singkat.

Didalam rumah telah menunggu suami Aairah. Ia sedang sibuk mencatat pajak kerajaan. Berlembar – lembar kertas menumpuk di meja. Dengan ditemani secangkir sari kurma hangat dengan sedikit madu, suami Aairah menulis laporan pajak kerajaan.

“Suamiku….” sapa Aairah.

Karena terlalu serius menulis laporan pajak, kehadiran Aairah tidak dihiraukan suaminya. Aairahpun melangkah mendekat. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga suaminya.

Rashad, aku sudah pulang,” bisik Aairah ke telinga suaminya.sambil memeluknya dengan hangat dari belakang.

“Oh Dewa… Kau mengagetkanku Aairah.” ucap Rashad dengan napas satu – satu.

“Maaf suamiku. Maaf jika mengagetkanmu. Salahmu juga tak menghiraukan sapaanku barusan.” jawab Aairah ketus. Lalu ia melepaskan pelukannya dan duduk disamping Rashad.

“Bagaimana perjalanannmu hari ini? Lancar kan?” tanya suaminya sambil menatap mata istrinya.

“Aku membawakan sesuatu untukmu. Coba kau tebak.”

“Hmm… Apa itu Aairah? Jubah? Turban? Baju bulu Meerkat?” tanya Rashad penasaran.

“Bukan…” jawab Aairah singkat.

“Lalu?”

“Sabar dulu suamiku. Nanti akan aku beritahu. Sebaiknya kita makan dulu. Tentu kau sudah lapar.” jawab Aairah.

“Kau memang istri yang perhatian. Aku makin menyayangimu Aairah.” ucap Rashad sambil memeluk dan mencium kening istrinya yang cantik itu.

“Baiklah, tunggu disini ya. aku segera kembali.” ucap Aairah sambil melepas pelukan suaminya dan berdiri meninggalkan Rashad.

Tak berapa lama, muncullah Aairah sambil membawa sebuah mangkuk besar berisi sup kambing panas. Hamra mengikutinya dari belakang sambil membawa nampan berisi cangkir dan kendi. Ia membawakan minuman kesukaan majikannya. Air lemon dengan sedikit madu.

“Mari kita makan sup kambing ini suamiku.” ajak Aairah.

“Hmm… Harum sekali baunya. Membuat nafsu makanku bertambah.” ucap Rashad.

“Masakan Hamra memang terkenal sangat lezat, kaya akan rempah – rempahnya.” puji Aairah.

“Sekali – kali kau cobalah belajar memasak darinya.” ucap Rashad sambil mengunyak daging kambing didalam mulutnya.

“Iya suamiku. Aku akan belajar memasak. Demi dirimu.” jawab Aairah sambil tersenyum.

“Maaf Tuan, Nyonya. Apakah ada yang Tuan dan Nyonya butuhkan?” tanya Hamra sambil menunduk dan memegang nampan ditangannya.

“Tidak perlu Hamra, kau bisa kembali ke dapur. Makanlah dulu. Kau tentu juga lapar.” jawab Aairah.

“Baiklah Tuan, Nyonya. Saya permisi dulu.” ucap Hamra. Lalu ia menuju ke dapur meninggalkan Aairah dan Rashad yang sedang asyik menikmati sup kambing panas.

“Ini, minumlah suamiku. Agar badanmu hangat.” ucap Aairah sambil menyodorkan secangkir air lemon madu kepada suaminya Rashad.

Saat itu juga Rashad meneguk sedikit air lemon itu.

“Aairah, air lemon ini terlalu panas. Bisakah kau tambahkan sedikit air dingin?” pinta Rashad.

“Baiklah suamiku,” jawab Aairah sambil membawa kendi air lemon menuju ke dapur.

Saat Aairah melangkah menuju ke dapur, mendadak dalam pikirannya teringat sesuatu. Yakni air pemberian ratu jin Mehnaz. Segera ia meletakkan kendi itu diatas meja dapur. Lalu ia mencari bungkusan tasnya. Mengambil kantung air dari kulit kambing. Lalu ia menuangkannya sedikit kedalam kendi yang berisi air lemon. Ia mengaduknya perlahan hingga air lemon itu terasa hangat.

Tak lama kemudian ia telah kembali dihadapan suaminya.

“Ini suamiku, aku sudah menghangatkan air lemon ini. Minumlah selagi hangat.” ucap Aairah sambil menuangkan air lemon kedalam cangkir kosong dan memberikannya kepada Rashad.

Rashadpun meminum air lemon hangat itu. Aairah tersenyum.

Setelah selesai makan malam, mereka berdua memasuki kamar mereka. Saat itulah Aairah memberikan sesuatu seperti yang dijanjikannya. Yakni sebuah malam yang sangat indah. Malam panjang milik mereka berdua.

“Malam ini kau nampak cantik sekali Aairah.” bisik Rashad di telinga Aairah.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun