Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Teana (Part 6 - lanjutan 1)

6 April 2017   07:33 Diperbarui: 21 April 2017   18:00 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Wanita muda itu berdo’a dengan khusyuknya. Memberikan persembahan terbaiknya tahun ini. Berupa gandum, kurma dan buah – buahan yang ia panen dari kebunnya. Tahun ini hasil kebun miliknya begitu melimpah. Sehingga ia membawa tiga gerobak untuk mengangkutnya.

“Pendeta, terimalah hasil kebunku ini. Bagikanlah kepada mereka yang membutuhkan.” ucap Aairah dengan senyumnya yang mengembang indah diwajahnya. Begitu anggun.

Rambutnya tersibak oleh tiupan angin siang itu. Kerudungnya terbuka. Nampak matanya yang kebiruan dan kulitnya yang putih seputih pualam. Sempurna sekali untuk seorang wanita.

“Aku akan terima dengan senang hati Nyonya. Pemberianmu ini sangat bermanfaat bagi kami. Kebetulan akhir – akhir ini banyak sekali orang berdatangan kemari meminta sedekah.” jawab sang pendeta.

“Sedekah…?”

“Iya Nyonya, kebanyakan mereka adalah penduduk sekitar sini. Terutama kaum buruh. Mereka kekurangan pangan. Karena hasil kebun tahun ini sedikit menurun dari tahun lalu. Sumber air banyak yang mulai berkurang airnya. Mereka tidak mendapatkan bagian hasil kebun dari majikan mereka.” ucap sang pendeta.

“Kasihan sekali mereka. Baiklah kalau begitu. Pergunakanlah hasil kebunku ini sebaik mungkin. Berikanlah kepada yang membutuhkan. Semoga persembahanku ini bisa membantu mereka.” jawab Aairah singkat. Lalu ia pun berpamitan kepada sang pendeta. Karena hari hampir siang. Ia harus segera kembali ke Kota Hegra sebelum sore tiba.

“Baik Nyonya, Terimakasih. Semoga Dewi Uzza mengabulkan permohonanmu.” jawab sang pendeta sambil menunduk memberi hormat kepada Aairah.

Sebagai seorang yang terpandang, tidaklah sulit bagi Aairah untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Harta berlimpah, suami yang memiliki jabatan hingga puluhan pembantu dan pengawal. Semuanya dengan mudah ia miliki.

Berkat kecantikan alami anugerah dari dewa yang dipadukan dengan kepandaian otaknya, ia berhasil merebut perhatian banyak orang. Kedudukan dan harga diri.

Namun sayangnya, dalam hati kecil Aairah masih terasa sepi. Seperti ada lubang menganga yang kosong dan hampa.

“Seandainya….” gumam Aairah dengan mata memandang jauh keluar jendela kereta unta miliknya. Tatapan matanya kosong, tak berarti dan sangat hampa.

***

“Ambillah ini, mungkin kau membutuhkannya.” ucap Ghalib sambil mengeluarkan pahat kecil dan palu pemukul dari dalam bungkusan kain. Lalu diberikannya kepada Manaf.

“Haydar, bisakah kau menolongku?” tanya Manaf kepada Haydar.

“Apa yang bisa aku kerjakan untukmu?”

“Peganglah tali ini, bawa tongkat kecil ini juga. Lalu berjalanlah menuju pintu masuk Al Siq disana.” Perintah Manaf.

“Lalu….?”

“Tancapkan tongkat ini di tanah, dengan posisi tegak menempel di dinding Al Siq. Lalu ikatkan tali ini tepat diatas tongkat yang sudah aku beri tanda hitam. Dan jangan lupa, pastikan tongkat ini berdiri kokoh tidak goyah. Agar pengukurannya menghasilkan ukuran yang tepat.” ucap Manaf sambil menyerahkan sebuah tongkat dan tali kepada Haydar.

“Aku mengerti.” jawab Haydar.

Setelah memutar unta tunggangannya, Haydar berlalu meninggalkan Manaf dan Ghalib yang sedang sibuk mempersiapkan peralatan. Ia berjalan pelan – pelan menuju pintu masuk Al Siq sambil memperhatikan orang – orang yang berlalu – lalang dihadapannya.

Sepanjang lorong Al Siq Haydar memacu untanya pelan – pelan. Sesampainya di ujung, ia berhenti dan turun dari untanya. Berjalan menuju salah satu dinding Al Siq, menancapkan tongkat dan tali. Haydar menarik tali itu, memberi isyarat kepada Manaf bahwa ia telah melakukan pekerjaan sesuai petunjuknya.

Setelah tali tertempel di sepanjang dinding Al Siq, Manaf memulai memahat dinding. Ghalib bertugas mengawasi pekerjaan Manaf agar sesuai dengan peta yang mereka buat.

“Apakah kau mengalami kesulitan Manaf, sepertinya dinding Al Siq ini lebih keras daripada batu gunung yang ada di Kota Hegra.” ucap Ghalib.

“Sepertinya begitu,” jawab Manaf.

“Butuh berapa lama kau akan menyelesaikan pahatan ini,” tanya Ghalib.

“Sebelum petang tiba,” jawab Manaf singkat sambil terus memahat.

***

Aairah dan rombongannya perlahan – lahan meninggalkan Kota Petra. Mereka telah sampai di Wadi Musa. Lembah yang sangat luas di Kota Petra.

Udara di Wadi Musa terasa sedikit hangat karena hari hampir menjelang sore. Pasir gurun tertiup angin. Membentuk sebuah gumpalan bundar di udara. Burung – burung terbang melintas berkelompok. Bersiap – siap kembali ke sarang mereka setelah lelah seharian mencari makan.

Rombongan unta Aairah berjalan pelan melintasi Wadi Musa. Udara mulai sedikit panas. Aairah memerintahkan salah satu pengawal wanitanya untuk mencari air. Karena persediaan air mereka hampir habis.

“Hamra,” teriak Aairah dari dalam kereta untanya.

“Iya Nyonya, ada apa?” jawab Hamra dari samping pintu kereta unta Aairah.

“Cepatlah kau pergi menemui pengawal didepan. Bilang kepada mereka untuk mencari mata air yang ada di dekat sini.”perintah Aairah.

“Baiklah Nyonya, hamba akan laksanakan.” jawab Hamra, wanita paruh baya pelayan Aairah.

Dengan sedikit berlari ia menemui salah seorang pengawal Aairah di depan. Setelah beberapa menit, pelayan wanita itu segera kembali lagi.

“Maaf Nyonya, telah membuat Nyonya menunggu lama.”

“Iya Hamra, bagaimana? Apakah mereka mendapatkan sesuatu?”

“Iya Nyonya, kata Kishwar kita sudah mendekati sumber air. Setelah melewati jalan didepan, kita akan sampai di wilayah Al Djinn.” jawab Hamra.

“Baguslah kalau begitu.”

Matahari mulai mengarah ke Barat. Cahaya kemerahan mulai nampak meredup di langit. Sebentar lagi hari akan sore.

Rombongan Aairah berhenti.

“Hamra…. Mengapa kita berhenti?” tanya Aairah.

“Kita telah sampai di wilayah Al Djinn Nyonya.”

“Oh, kalau begitu aku mau turun sebentar untuk mencuci mukaku. Hamra… Siapkan keperluanku.” perintah Aairah.

Dengan gerak cepat, pembawa kereta unta Aairah menarik tali kekang untanya. Empat ekor unta pun segera menghentikan langkahnya. Aairah pun keluar.

“Tolong kau urus unta – untaku ini. Beri mereka minum.” perintah Aairah.

“Baik Nyonya !” ucap pengawal Aairah.

Unta – unta rombongan Aairah segera diikatkan ke batu besar yang banyak terdapat di wilayah Al Djinn. Wilayah itu terkenal dengan gugusan batuan besarnya. Bukan batuan biasa, namun batu itu telah berada disana ribuan tahun lalu.

Batuan besar itu membentuk pahatan dewa – dewi Bangsa Nabataea. Yakni dewa dewi penjaga mata air. Bangsa Nabataea percaya, bahwa mata air itu akan selalu ada selama dijaga oleh mereka. Sehingga setiap tahun selalu diadakan pemujaan kepada dewa dewi itu.

Setelah keluar dari kereta untanya. Aairah berjalan sendiri. Tanpa dikawal oleh pelayannya. Karena ia ingin membersihkan badan dan menikmati sumber air disitu. ia tak ingin diganggu oleh siapapun.

Kemudian ia berjalan menuju salah satu sumber air di wilayah Al Djinn. Sambil membetulkan letak kerudung dan membersihkan debu yang menempel di jubahnya, Aairah berjalan pelan meninggalkan rombongannya.

Hingga sampailah ia di sebuah sumber air yang sangat jernih dan bersih. Dikelilingi oleh rimbunnya perdu gurun yang hijau. Lalu ia jongkok dan membasuh mukanya yang lusuh dan nampak lelah.

Ia membasuh muka dan lehernya. Kemudian kedua tangannya. Tubuhnya merasa segar kembali.

“Segar sekali air ini.” gumam Aairah dalam hati.

Aairah memandangi sekeliling. Hamparan perdu hijau tumbuh subur di wilayah Al Djinn. Angin berhembus semilir menerpa wajahnya. Membuat suasana menjadi segar ditengah – tengah padang yang gersang.

Kemudian ia mengisi beberapa kantung air yang terbuat dari kulit kambing. Setelah itu ia segera kembali ke rombongannya.

Aairah berjalan perlahan menyusuri jalan setapak berbatuan. Sepanjang jalan itu terlihat sepi. Dikanan kiri hanya nampak bebatuan besar berbentuk pahatan dewa dewi. Aairah terus melangkahkan kakinya tanpa merasa takut sedikitpun.

Tiba – tiba angin berhembus cukup kencang disertai debu pasir. Aairah menutupi wajahnya dengan kerudung. Mendekap erat kantung air kedalam dadanya. Lalu ia kembali meneruskan perjalanannya.

Setelah beberapa langkah meninggalkan sumber air tadi, Aairah merasakan sesuatu mengikuti dari belakang. Angin yang semula berhembus biasa saja mendadak berhembus cukup kencang. Disertai dengan suara menggema memanggil namanya. Suara seorang wanita tua.

“Aairaaaahhh...”

“Siapa kau…”

Aairah menghentikan langkahnya. Matanya menyusuri tiap – tiap sudut bebatuan yang ada dihadapannya. Mencari – cari sosok suara yang memanggil namanya.

“Siapa kau… Keluarlah tunjukkan wajahmu…” ucap Aairah sambil menutupi wajahnya dengan kerudung. Menghindari debu yang beterbangan.

Tak berapa lama, hembusan angin kencang perlahan – lahan berhenti. Aairah menyingkapkan kerudungnya.

“Aairah…..” terdengar suara dari belakang Aairah.

Saat itu juga Aairah membalikkan badannya dan melangkah mundur. Betapa terkejutnya Aairah akan kehadiran seorang wanita tua berjubah coklat dan berkerudung yang ada dihadapannya.

“Siapa kau?” tanya Aairah penasaran.

“Tenanglah Aairah. Kau tak perlu takut. Sejak kedatanganmu di sumber air Al Djinn tadi, aku telah mengamatimu. Namun kau tak mengetahui kehadiranku saat itu.”

“Lalu, apa yang kau inginkan dariku? Siapa kau sebenarnya?” Aairah bertanya balik.

“Aku Mehnaz, jin penjaga sumber air Mehnaz. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Aku harap kau mendengarkannya baik – baik Aairah.”

“Apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Aairah.

“Jagalah bayimu baik – baik. Rawatlah ia. Ajarilah ia ilmu perang. Kelak jika dewasa nanti anakmu akan menjadi seorang pemimpin yang akan menyelamatkan Bangsa Nabataea.”

“Apakah aku harus mempercayai semua ucapanmu tadi?”

“Terserah kau mau percaya padaku atau tidak. Aku Mehnaz. Pemimpin bangsa jin di wilayah ini. Aku mengetahui semua hal yang tidak kau ketahui. Karena aku memiliki kekuatan itu.”

“Berikan aku satu bukti bahwa ucapanmu memang harus aku percayai.” tantang Aairah.

“Hahaha… Kau sangat cerdas Aairah. Aku sangat menyukai itu. kau seorang manusia yang tidak sombong. Kau memiliki hati yang baik. Kau menggunakan kecerdasanmu untuk menolong rakyatmu. Memberikan sumbangan hasil kebunmu. Dan aku menerimanya dengan senang hati.” ucap Mehnaz panjang lebar.

Aairah mendengarkan ucapannya. Kebingungan makin memenuhi kepalanya.

“Aku tak mengerti maksudmu.” ucap Aairah.

“Lalu kau merasa kehausan sepanjang perjalananmu dari Al Khazneh. Kau memerintahkan anak buahmu untuk mencari sumber air. Disitulah aku seakan mengerti kebutuhanmu. Lalu aku menyiapkan sebuah sumber air yang bersih untuk kau minum dan kau pergunakan membersihkan badanmu. Hingga akhirnya kau bisa membawa pulang dua kantung air yang ada di tanganmu sekarang.” ucap Mehnaz.

Jin wanita itu tetap berdiri tegap ditempatnya. Tak bergeser sedikitpun. Aairah memandanginya dengan penuh kebingungan. Lalu ia menatap kedua kantung air ditangannya. Terasa dingin dan sedikit berat. Penjelasan wanita tua itu membuatnya semakin tak mengerti.

Disaat kekalutan pikirannya, ia kembali mengangkat kepalanya dan ingin menanyakan jawaban atas kebingungan yang ia alami. Namun ia tak menemukan wanita tua itu lagi. Tak ada seorangpun disana. Wanita tua itu telah menghilang.

Tiba – tiba…

“Kalau dirimu ingin membuktikan kebenaran ucapanku, kembalilah ke sumber air Mehnaz. Kau akan menemui padang gersang tak berair.”

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun