Sebetulnya ada banyak pilihan yang bisa diambil Mansu dan dua kandidat lainnya. Entah bekerja di toko sepatu atau membuka kafe musik atau yang lainnya. Namun ketiganya lebih tertarik pada satu peluang yang tersisa, dan memujanya sebagai satu-satunya pilihan. No Other Choice.Â
Anggapan inilah yang akhirnya mengubah Mansu. Anggapan yang mendorong Mansu mengesampingkan kemanusiaannya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Meski ia melakukannya atas nama anak dan istrinya.Â
Di akhir, kita melihat Mansu yang banyak berubah. Ia nggak lagi Mansu yang diperkenalkan pada kita di menit-menit awal. Yang hangat, canggung, kurang pede, dan suka menebar senyum. Â
Ia berubah menjadi Mansu yang dingin dan tegas dalam ambil keputusan maupun bicara. Juga tentunya nggak ragu buat mengorbankan orang lain. Bahkan kini ia lebih cocok bekerja dengan mesin ketimbang dengan orang dalam dark factory.Â
No Other Choice = Absolute CinemaÂ
Ada dua kata yang cocok untuk menggambarkan "No Other Choice": Absolute Cinema. Bahkan mungkin, jika ingin lebih terkesan wah: Calon Oscar.Â
Dari segi visual, editing, hingga transisinya, bahkan sound design-nya; Park Chan-wook jelas memolesnya dengan skill dewa. Siapa memang yang meragukan garapan orang yang berada di balik kesuksesan "Oldboy" dan "Handmaiden"?Â
Kegemilangan ini berlanjut ke alur dan plot ceritanya yang solid. Buat yang satu ini, entah kita harus berterima kasih kepada siapa? Entah Park Chan-wook atau novelisnya atau bahkan keduanya?Â
Script-nya mampu menemukan adegan-adegan yang saling berkaitan dan menjalin sebuah benang merah. Sehingga meskipun banyak isu yang coba diangkat, nggak bikin ceritanya melebar ke mana-mana. Semuanya justru membuat masing-masing isu terasa lebih deep dan relate.Â
Uniknya, segala isu tersebut diwartakan oleh setiap karakter. Utamanya lewat sosok Mansu yang berhasil dibawakan dengan sangat apik oleh Lee Byung-hun alias Front Man Squid Game. Aksi kejahatannya yang cenderung komikal dan sembrono, mengingatkan kita pada kejahatan lucu ala Tarantino.Â