Mohon tunggu...
M Hilmi
M Hilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya masih suka bermain seper anak muda pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akulturasi Budaya dalam Maulid Nabi Muhammad di Nusantara

25 Oktober 2023   20:42 Diperbarui: 25 Oktober 2023   20:47 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama   : M. Hilmi Nafis

NIM      : 201310004437

Konsep beragama yang ideal adalah ketika nilai-nilai agama menghidupkan dan mewarnai nilai-nilai budaya yang ada. Jika terdapat ketidakselarasan, itu menandakan bahwa pemahaman agama belum mencapai tingkat kesempurnaan atau dedikasi yang seharusnya. Oleh karena itu, agama dan budaya seharusnya dianggap sebagai entitas yang tak terpisahkan, meskipun keduanya memiliki makna yang berbeda. Para penyebar agama, terutama seperti yang dilakukan oleh walisongo dalam Islam, diyakini menggunakan berbagai media sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Islam, yang telah menjadi bagian dari budaya lokal dan menjadi inti kehidupan masyarakat setempat. Sunan Kalijaga, sebagai contoh, mengadopsi seni pewayangan sebagai sarana untuk menyampaikan ajaran agama tanpa perlu menghadirkan konflik atau pertentangan dengan tradisi dan adat kebiasaan yang telah ada.

Ketika kita melihat dari sudut pandang ini, maka kita bisa menyadari betapa signifikannya peran tradisi maulid Nabi dalam menyebarkan Islam di wilayah Nusantara, karena ia mampu mengintegrasikan diri dengan budaya lokal tanpa mengorbankan inti ajaran Islam.

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan kelahiran Nabi yang di Indonesia biasanya dirayakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Perayaan Maulid Nabi adalah sebuah tradisi yang berkembang dalam masyarakat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara esensial, peringatan ini adalah ungkapan sukacita dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad. Peringatan Maulid Nabi pertama kali digelar oleh Raja Irbil, yang sekarang merupakan wilayah Irak, pada awal abad ke-7 Hijriyah. Dalam perayaan ini, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh warganya dan ulama dari berbagai bidang ilmu, termasuk fikih, hadis, kalam, usul, tasawuf, dan lainnya. Persiapan dilakukan tiga hari sebelum perayaan Maulid Nabi, dan ribuan kambing dan unta dikurbankan untuk makanan bagi para tamu yang datang merayakan Maulid Nabi. Para ulama waktu itu sepakat dan mendukung sepenuhnya perayaan Maulid Nabi yang pertama kali pada waktu itu.

namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa sultan halahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan aulid nabi. Sultan Hasanuddin membuat perayaan maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat islam yang telah padam unuk kembali berjihad dalam membela islam pada masa perang salib.

Islam sebagai agama yang universal yang melintasi ruang dan zaman, sering kali berinteraksi dengan beragam tradisi lokal.( Akhtar Shabbir, Islam agama semua zaman (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005) Ketika Islam berbaur dengan budaya setempat, wajah Islam berubah sesuai dengan tempatnya. Dalam menghadapi situasi ini, ada dua hal yang perlu diingat. Pertama, Islam pada awalnya muncul sebagai produk lokal, yaitu Islam yang berasal dari Arab, khususnya daerah Hijaz, sebagai respons terhadap masalah yang ada di sana. Namun, Islam ini kemudian diubah menjadi agama universal melalui proses universalisasi dan transcendensi. Di Arab, Islam berkembang saat berinteraksi dengan budaya dan peradaban Persia dan Yunani, mengalami dinamisasi budaya dan peradaban. 

Kedua, meskipun Islam dipahami sebagai wahyu Tuhan yang universal dan gaib, setiap pemeluknya mempersepsikannya berdasarkan pengalaman, masalah yang dihadapi, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan keragaman komunitas mereka. Oleh karena itu, penting untuk menyadari dua dimensi ini: Islam sebagai kritik terhadap budaya lokal dan budaya lokal sebagai cara masing-masing pemeluk memahami dan menerapkan Islam.

Syah Waliyullh al-Dihlawi, seorang pemikir Islam dari India, mengemukakan pemahaman tentang Islam universal dan lokal. Konsep Tauhid (pengesaan Tuhan) adalah universal dan tidak dapat dibatasi oleh batasan geografis atau budaya. Sementara itu, ekspresi budaya dalam bentuk tradisi, pakaian, arsitektur, sastra, dan lainnya memiliki elemen lokal yang bervariasi.

Dengan demikian, tradisi lokal merupakan tambahan berharga bagi warisan Islam. Setiap tradisi lokal memiliki tempat yang sah dalam Islam dan setara dalam maknanya. Salah satu contoh tradisi lokal di masyarakat Nusantara yang masih hidup dan berkembang hingga sekarang adalah tradisi maulidan, yang melibatkan ritual tertentu untuk mengenang Rasul Muhammad Saw.

reference : 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun