Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Picisan

12 November 2023   08:10 Diperbarui: 12 November 2023   08:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demokrasi di Era Digital. Sumber Ilustrasi: stock.adobe.com

Seringkali keterbukaan dan melimpahnya informasi di era demokratisasi digital saat ini telah menimbulkan ironi berupa miskomunikasi juga prasangka-prasangka yang bergaung di ruang publik. Akibatnya proses diskursus yang terbuka di ruang publik kurang memantik kesadaran akan nilai-nilai publik. Tidak jarang diskursus di ruang publik menjadi penuh ujaran kebencian dan hoax yang merebak sedemikian cepat sehingga begitu banyak disinformasi dan distraksi terhadap berbagai persoalan publik. Dr. A. Setyo Wibowo dalam esainya, Anarki dalam Demokrasi, Basis, (2012), mengungkapkan bahwa sebenarnya diskursus yang lebih komunikatif akan meminimalisir prasangka dan perebutan persepsi kebenaran sepihak di ruang publik.

Senada dengan itu, Jurgen Habermas dalam bukunya The Theory of Communicative Action (1981) mengungkapkan bahwa tindakan komunikatif di ruang publik akan melahirkan emansipasi yang bebas dari dominasi dan distorsi. Ruang publik yang emansipatif mengharuskan kondisi dialog yang terbuka dan setara sehingga terbangun ruang diskursus inter-subyektif berdasarkan rasionalitas komunikasi, demikian kata Habermas.   

Saling klaim kebenaran dan prasangka sepihak cenderung memperlihatkan adanya anomi sosial di ruang publik. Kini ruang publik kita cenderung tanpa rasionalitas komunikasi sehingga berubah menjadi ruang yang minus nilai-nilai publik. Bila kebanyakan orang mulai memaklumi pelanggar dan penyabot hukum, maka sebenarnya mereka sedang mengurai prinsip ikatan sosialnya sendiri. Kondisi tersebut mengindikasikan munculnya demokrasi anarkis alias demokrasi suka-suka. Demokrasi anarkis juga akan melahirkan paradoks dan ironi dimana ruang publik diprivatkan sementara ruang privat dipublikasikan. Kepentingan segmentatif dan privat dari golongan tertentu justru seringkali diberitakan tanpa proporsi dengan berbagai kontroversi yang melelahkan.

Apalagi saat ini kita masih dan sedang menghadapi berbagai persoalan picisan di ruang publik terkait politik identitas, konflik pseudo-ideologis hingga banalnya politik praktis akibat rendahnya pemahaman akan nilai-nilai dan filosofi bernegara di ruang publik. Seringkali filosofi dan simbol-simbol negara hanya menjadi slogan dan jargon-jargon untuk menghantam lawan politik dalam kontestasi politik praktis. 

Persoalan ini berimbas pada polarisasi, perpecahan hingga hilangnya keakraban dalam kehidupan antar warga negara di ruang publik. Perdebatan di ruang publik pun hanya berkutat pada perdebatan konyol dan sempit mengenai siapa yang akan berkuasa dan bukan menumbuhkan pertanyaan substansial mengenai apa, kemana dan bagaimana bangsa ini seharusnya mengatasi kompleksitas persoalannya di masa depan.

Ruang publik kita cenderung masih menjadi belantara yang gaduh dan bising. Sebab pola komunikasi di ruang publik, terutama di media sosial masih dipenuhi sikap anti-intelektual, insinuasi, ad-hominem bahkan guilty by association (mendakwa kesalahan dengan mengaitkan masalah personal). Bahkan sebagian di antara kita semakin kehilangan akurasi dan kebijaksanaan dalam menyikapi berbagai pemberitaan sehingga begitu mudahnya memposting informasi tanpa menyaring dan memverifikasi tingkat kebenaran dan urgensinya. Juga begitu banyaknya klaim postulat kebenaran, saling berebut benar dan cenderung kurang terbuka menerima kebaikan bersama. Realitasnya memang kita belum mampu membangun ruang publik yang setara dan rasional.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun