Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kumpulan Kolom Humor Politik Sang Maestro Esai Mahbub Djunaidi

23 Oktober 2023   07:02 Diperbarui: 23 Oktober 2023   09:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun membahas persoalan pelik, namun kolom-kolom Mahbub tidak dibebani analisis rumit. Mahbub cenderung mendeskripsikan persoalan dengan gaya bercerita ringan. Jakoeb Oetama dalam buku Mahbub Djunaidi Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern: Sebuah Biografi (2001) menuliskan kesannya tentang Mahbub, koleganya sesama wartawan itu, sebagai orang yang mempunyai keunikan dan melampaui zamannya. "Tidak seperti kebanyakan penulis yang cenderung analisis dalam menjabarkan gagasan, Mahbub menyajikan peristiwa, sosok orang, dan kejadian untuk menuangkan gagasan, sehingga lebih mudah dicerna pembaca." demikian tulisnya.

Kolom-kolom Mahbub juga dinilai tidak berjarak dari bahasa keseharian. Tidak jarang dalam kolom-kolomnya di buku ini, Mahbub yang orang Betawi itu, dengan ringan saja menyelipkan frase kata "tanpa banyak cingcong, habis perkara, bisa berabe" yang lekat sekali dengan gaya bicaranya orang Betawi yang gemar berterus terang. Mengutip Goenawan Mohamad dalam pengantar buku Mahbub Djunaidi, Kolom Demi Kolom, (1986) menuliskan bahwa Mahbub melalui artikulasi dan spontanitasnya tak jarang menerabas formalisme kaidah bahasa Indonesia karena ia dengan berani dan kocak menggunakan bahasa ucapan sehari-hari ke dalam bahasa tulisan, seperti dalam kolomnya, berikut ini;

"Bagaimana jantungku tidak terganggu dan kepalaku nyut-nyutan? Ditudingnya aku ini seorang parvenu alias kere munggah bale, mendadak naik tahta padahal dari comberan. Apa tidak kurang ajar begitu itu? Aku yang birokrat tinggi menjadi cemoohan di atas mimbar. Yang benar aja dong. Begitulah yang terjadi. Badanku rasanya bengkak-bengkak karena sengatan bertubi-tubi. Birokrat sih birokrat, tapi apa enaknya disudut-sudutkan seperti seekor kecoak? Mengertikah kamu sekarang apa sebab gigiku tanggal satu demi satu, rambutku tidak seikal dulu lagi, dan badanku sedikit demi sedikit doyong tak ubahnya daun bawang." (Bukan Sembarang Layu, halaman. 324)

Sementara itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai bahwa gaya Mahbub yang kocak dan lincah memainkan kata setidaknya berasal dari 'jurusan tanah abang' dalam tradisi berhikayat model almarhum Pak Zahid, tukang cerita Betawi yang kuat menceritakan dongeng-dongeng kocak semalam suntuk (Mahbub dan Bani Sadr, Tempo, 25/7/1981). Lain halnya dengan Gus Dur, Ridwan Saidi, tokoh budayawan Betawi sekaligus karib Mahbub, menilai bahwa sketsa-sketsa kocak ala Mahbub sedikit banyak terinspirasi oleh Kwee Kek Beng, penulis sketsa-sketsa kocak yang terkenal pada masa Perang Dunia II dari harian Sin Po.

Kolom-Kolom Humor Politik yang Bernilai Sastra

Berbagai persoalan kompleks nyaris absurd dalam realitas keseharian di masa itu tidak cukup dijelaskan dengan analisis data faktual semata. Di buku ini, Mahbub yang juga penulis fiksi, mencoba mengurai berbagai persoalan kompleks dengan bergerak di antara fakta dan fiksi bahkan meleburkan batas keduanya. Tidak jarang ia mencoba memasuki realitas imajiner dengan membikin rekaan fiksi dalam menarasikan realitas yang makin kompleks. Seperti dalam karya-karya sastra pada umumnya, kolom-kolom Mahbub di buku ini tidak sedikit memungut kembali cerita-cerita kecil yang tercecer dan luput dari narasi besar yang mendominasi.


Melalui gaya prosaik dalam memotret berbagai persoalan kemanusiaan serta keberpihakannya akan nilai kebenaran maka tak berlebihan jika Mahbub dianggap menyajikan kolom-kolom yang bernilai sastra. Terlebih gaya satire dalam kolom-kolom Mahbub besar kemungkinan dipengaruhi karya sastra klasik dari Rusia, setidaknya dalam memandang persoalan kemanusiaan. Mahbub khususnya terkesan dengan cerpen-cerpen kocak Anton Chekov yang sarat satire-humor yang menyindir kehidupan sosial yang penuh cedera dan kekonyolan. Maka tidak mengherankan jika kolom-kolom Mahbub di buku ini, yang ia tulis seabad kemudian, bersentuhan erat dengan persoalan sosial yang menyertai perubahan nilai dan moralitas masyarakat Indonesia dalam konteks modernisasi dan pembangunan semasa Orde Baru.

Satire politik dalam kolom-kolom Mahbub yang kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, besar kemungkinan juga diilhami oleh karya-karya George Orwell, penulis fiksi satire politik dan sastrawan terkemuka dari Inggris. Dalam salah satu kolomnya di buku ini, Mahbub menulis dengan satire tentang buku berjudul 1984, salah satu karya monumental Orwell yang meramalkan kondisi negara-negara totaliter pada tahun 1984.

Membaca kolom-kolom Mahbub di buku ini bagi saya masih terasa relevan dengan persoalan kita kini yang semakin kehilangan rasa humor dan empati dalam berkomunikasi. Betapa kini begitu mudahnya orang bersikap reaksioner karena semakin tidak mengerti proporsi dan nilai dalam berkomunikasi. Barangkali kita perlu belajar kepada sosok Mahbub Djunaidi melalui sketsa-sketsanya yang penuh humor dan kenakalan tetapi tetap tidak kehilangan kesantunan. Barangkali benar apa yang dikatakan Arswendo Atmowiloto bahwa Mahbub Djunaidi memang dibutuhkan dulu, apalagi kini dan nanti. Kolom-kolom Mahbub yang membahas berbagai persoalan ternyata masih relevan hingga saat ini. Taruhlah persoalan korupsi, sikap reaksioner di ruang publik hingga ketimpangan sosial yang terbukti menjadi pengulangan sejarah di masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun