Mang Udin hanya diam dan menunduk. Mulutnya seperti terkunci rapat. Ia tak kuasa untuk menyampaikan kabar yang sesungguhnya. Sesaat kemudian, ia memberi isyarat kepada Hasna untuk masuk ke dalam dan melihat sendiri apa yang sedang terjadi.
Sejurus kemudian, ia menerobos kerumuman orang dan masuk ke dalam rumah. Matanya terbelalak kaget ketika mendapati kedua orang tuanya telah tewas dengan banyak luka memar di tubuhnya.
Ia terduduk lemas. Ingin rasanya ia menjerit sekeras-kerasnya, tapi ia masih sadar sedang banyak orang. Ia terisak lirih. Tubuhnya terguncang hebat. Beberapa tetangga dekatnya menghampiri, memapahnya ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, ia mencoba berbaring untuk menghilangkan lelah perjalanan dan menenangkan diri. Tiba-tiba saja, matanya terasa berkunang-kunang, kepala pusing, kamarnya seakan-akan berputar cepat seperti gasing. Ia kehilangan kesadaran. Pingsan.
***
Si Ustadzah telah selesai berceramah. Terdengar obrolan dua orang yang sedang duduk tak jauh dari mimbar.
"Tahukah antum[1], siapakah sebenarnya Ustadzah itu?" tanya seorang yang lebih tua berjenggot panjang kepada yang lebih muda.
"Memangnya siapa dia, Pak Kiai?" balasnya penasaran.
"Dia aku temukan di jalanan kota. Tubuhnya sangat kotor dan hampir telanjang. Rambut acak-acakan. Terkadang ia tertawa sendiri, berteriak histeris. Mulutnya terus menceracau tidak keruan", terang Pak Kiai dengan bola mata berkaca-kaca.
"Benarkah?" seru yang muda semakin heran.
"Alhamdulillah, atas izin Allah. Setelah saya terapi sekitar satu tahun, akhirnya dia bisa sembuh dan menjadi seperti yang antum lihat sekarang ini".
Boyolali, 27 April 2020 Â
(sumber gambar: id.pinterest.com)