Mohon tunggu...
M Khoirul Anwar KH
M Khoirul Anwar KH Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial -

Pencatat Fenomena

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Memulihkan Kreativitas Menulis dengan Kayu Putih Aroma

13 Januari 2018   02:26 Diperbarui: 13 Januari 2018   12:01 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pemulih Kreativitas/Dok. Pribadi)

"Bagaimana cara mengawali tradisi menulis?"

"Seperti apa cara memelihara kreativitas menulis?"

"Apa yang musti dilakukan untuk mengatasi kemacetan menulis (writer's block)?"

Itulah beberapa pertanyaan yang tak pernah absen diajukan tiap kali saya diberi kesempatan mengisi pelatihan menulis.  Dari mulai siswa menengah pertama hingga mahasiswa pasca-sarjana, pertanyaan yang diajukan takkan pernah beranjak jauh dari itu. Ke manapun kaki melangkah dan lembaga apapun yang tengah disinggahi, pertanyaan itu akan senantiasa menjadi menu wajib. Mengapa demikian?

Harus diakui, menulis adalah laku yang demikian dekat dengan masalah psikologis ketimbang kognitif. Remaja yang tengah tersandung asmara akan tiba-tiba menjadi pujangga yang bisa membuat berlarik-larik puisi untuk pujaan hatinya. Pun juga ketika ia patah hati. Mendadak ia akan menjadi penyair gelap yang bersajak tentang perih dan pengkhianatan.

Inilah mengapa seperempat masalah menulis berkaitan dengan psikologis penulis. Seperempat lainnya masalah teknik menulis, seperempat berikutnya adalah wawasan, dan seperempat terakhir adalah gagasan (Putu Wijaya, 252: 1999). Dari sini kita mafhum, kondisi psikologis menempati tempat yang cukup penting dalam menulis --kendati bukan segalanya.

Sebab itu, mereka yang situasi psikologisnya sedang baik, lazimnya akan memacu penuh daya pikirnya untuk menuangkan gagasan melalui sederet narasi yang jernih. Sebaliknya, jika kondisinya tengah semrawut, output tulisan yang dihasilkan juga tak jauh beda. Bahkan dalam beberapa kasus tak sedikit yang mengkambing-hitamkan kondisi psikologis untuk tak menulis sama sekali. Golongan terakhir ini lazimnya bersembunyi di bawah ketiak moody.  

"Moodku sedang encok". "Moodku sedang tak bisa berdamai dengan tuts keyboard." Dan banyak pembenaran lain untuk tak menulis dengan cara mengkambing-hitamkan mood. Padahal mood sebenarnya perkara pikiran. Sama sekali tak berkaitan dengan situasi pedalaman. Sayangnya, waham pikiran sedemikian kerap dijadikan terdakwa yang menjegal kreativitas menulis seseorang.

Walau pun itu gejala manusiawi yang wajar, tapi jika terus dibiarkan tentu tak baik untuk perkembangan kreativitas menulis ke depan. Karena penulis sejati takkan pernah dikuasai mood, waham, dan racun negatif pikiran lainnya. Oleh sebab itu, ini beberapa kiat yang kerap saya sampaikan di banyak kesempatan ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu.

(Mengisi Materi Menulis di IAIN Cirebon/Dok. Pribadi)
(Mengisi Materi Menulis di IAIN Cirebon/Dok. Pribadi)
Pertama, tentu saja membaca. Menulis tanpa diiringi tradisi membaca hanya akan menghasilkan tulisan yang hampa ide dan kosong isi. Paling jauh, tulisan seperti itu hanya sekadar menjadi luapan ekspresi yang datangnya semata dari rasa dan emosi. Dan sejujurnya, tulisan yang seperti ini akan sulit menarik perhatian pembaca. Karena fitrah manusia memang selalu menginginkan ide segar dan inovasi yang mendobrak.

Kedua, menjadikan diri sebagai seorang pembaca fenomena yang peka. Kepekaan adalah hal mutlak yang niscaya musti dimiliki oleh setiap penulis. Dari kepekaan itu akan lahir sebuah gagasan subjektif untuk meneropong fenomena objektif yang berseliweran di kanan-kiri sang penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun