Mohon tunggu...
Lyna Nurhayati
Lyna Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hobi saya menulis, menonton film, mendengarkan musik dan memotret kucing.

Selanjutnya

Tutup

Book

33 Senja di Halmahera: Melepaskanmu yang Tak Mungkin Bersatu

18 Desember 2023   20:00 Diperbarui: 18 Desember 2023   20:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Intan Andaru adalah salah satu sastrawan Indonesia. Namanya terkenal melalui karya-karyanya berupa novel, cerita pendek, dan puisi yang dipublikasikan melalui surat kabar. Salah satu karyanya yang berjudul "33 Senja di Halmahera" terpilih menjadi peserta Program Residen ASEAN-Jepang serta diundang dalam acara ASEAN Literaty Festival tahun 2017.

Dalam novel "33 Senja di Halmahera" diceritakan ada seorang tentara bernama Nathan yang dipindah tugaskan dari Sofifi ke Halmahera. Kepindahannya membawa rasa sesal yang mendalam kepada ibunya. Alasan kepindahannya membuat sang ibu tercinta kecewa. Hal-hal yang selalu ditakutkan oleh ibunya justru ia lakukan. Akhirnya, ia diberi sanksi dipindah tugaskan dari Sofifi ke Halmahera. Di Halmahera, ia bertemu seorang gadis berambut ikal, penampilannya penuh dengan kesederhanaan, bermata indah, dan berperilaku anggun. Gadis itu bernama Puan. Rumahnya dekat dengan laut. Namun, gadis itu tidak menyukai laut.

Nathan jatuh hati pada pandangan pertama dengan pesona Puan. Tampilannya yang sederhana, tanpa riasan di wajah, dan akrab dengan murid-muridnya membuat Nathan penasaran dan tertarik. Puan yang menyadari ketertarikan Nathan padanya, perlahan ia pun menaruh hati pada tentara itu. Tubuh Nathan yang tegap, otot-otot di lengannya terlihat berisi, tinggi dan tatanan rambut ala tentara. Ditambah dengan hidungnya yang mancung dan rahangnya yang tegas. Perlahan-lahan mereka saling membuka diri mulai dari obrolan ringan, saling beradu pandang sampai berkunjung ke Kepulauan Widi, sisi selatan Halmahera.

Seiring berjalannya waktu keduanya semakin dekat. Mereka semakin sering mengobrol saat senja, berjalan mengitari bibir pantai, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kabar kedekatan mereka pun sampai kepada orang tua Puan. Tentu kabar tersebut bukanlah kabar baik bagi orang tua Puan, terutama Ayah. Sebenarnya sejak awal Puan sadar bahwa kedekatannya dengan Nathan akan berakhir menyakitkan. Ada sebuah tembok besar yang sangat sulit untuk diruntuhkan, yaitu perbedaan keyakinan. Karena itu, konflik besar pun terjadi di rumah Puan. Ayah Puan yang merupakan seorang terkemuka dan disegani di kampung menolak keras kedekatan Puan dan Nathan. Puan pun sama kerasnya, ia menentang apa yang dititahkan oleh Ayahnya.

Puan diselimuti rasa bimbang. Keadaan yang membuat mereka bertemu hingga tumbuh rasa ingin saling memiliki. Namun, perbedaan keyakinan yang membuat mereka tidak mungkin untuk bersama. Mereka sadar akan hal itu hingga hari demi hari keduanya diselimuti kesedihan dan kegalauan. Sampai pada hari perpisahan karena waktu Nathan mengabdi di Halmahera telah usai. Puan memaksakan diri untuk menemui Nathan sembari memberikan sepucuk surat perpisahan. Tentu dengan bahagia Nathan terima surat itu untuk ia baca saat perjalanan pulang. Ia berharap ada deretan angka yang bisa dihubungi kala dirinya dilanda rindu. Sayangnya bukan deretan angka yang ada dalam surat itu, melainkan kalimat perpisahan yang menyayat hati.

Novel ini akan mengajak kita mengenal lebih dekat tentang Halmahera. Penulis sangat piawai dalam menggambarkan Halmahera dimulai dari keadaan pemukimannya, mata pencaharian, sampai keindahan alam yang ada di Halmahera. Penulis menggambarkan bagaimana pemukiman di Halmahera yang masih bernuansa tradisional. Hal tersebut digambarkan seperti dalam kutipan berikut. "Pemukiman yang jauh dari kata modern. Rumah-rumah beratap anyaman daun sagu. Berlantai tanah yang bercampur pasir pantai. Dindingnya dari papan. Kayu tipis persegi panjang yang ditata berjajar." Dalam kutipan tersebut digambarkan bagaimana pemukiman di Halmahera masih lekat dengan nuansa tradisional. Tidak seperti di kota-kota besar yang hampir keseluruhan pemukiman sudah modern.

Mata pencaharian penduduk Halmahera pun digambarkan dengan baik oleh penulis. "Sebagian masyarakat Gane memang senang berburu rusa. Mereka akan berjalan jauh menuju hutan di perbatasan gunung sana. Jauh dari pesisir. Jauh dari pemukiman. Berjalan kaki. Berangkat pagi. Pulang petang." Penulis menjelaskan bahwa rusa adalah salah satu hewan yang dapat dijadikan hidangan lezat di Halmahera. Berdasarkan kutipan di atas, masyarakat Gane senang berburu rusa. Hasil buruan tersebut akan dimasak menjadi rendang atau dendeng dan dibagikan ke tetangga sekitar. Selain berburu, masyarakat Gane berprofesi sebagai nelayan karena letak geografisnya yang berdekatan dengan laut. Karena hal tersebut, ikan menjadi makanan pokok. Jika di Jawa ada istilah tidak makan nasi artinya tidak makan, maka sama halnya dengan di Halmahera. Jika tidak makan ikan artinya tidak makan.

Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa istilah khas Halmahera, seperti swanggi yang artinya sebutan manusia yang mempunyai ilmu hitam; hantu; setan; atau sejenis makhluk halus. Kata jang yang merupakan singkatan dari kata jangan. Lalu ada istilah khas lain, seperti gula-gula, guraka, cupa, dobu-dobu dan masih banyak lagi. Makanan khas Halmahera pun penulis sebutkan, seperti papeda, sayur garu, ikan mas kiring rampah, gohu, sabeta, dan bia.

Penulis pun menggambarkan keindahan Halmahera, salah satunya Kepulauan Widi, sisi selatan Halmahera.

"Sungguh seperti masuk ke alam lain. Indah sekali. Lautnya jernih berwarna hijau toska. Aduhai sejuk sekali laksana surga. Pulau-pulaunya begitu banyak. Hijau subur nan tumbuh pepohonan menghiasi tiap pulau. Ada seratus pulau di Kepulauan Widi. Semua pulau tak berpenghuni. Hanya ada beberapa nelayan yang membuat rumah sementara disana untuk mencari ikan."

Dalam kutipan tersebut penulis menggambarkan betapa indahnya Kepulauan Widi. Lautnya yang jernih, udara yang sejuk dan tanahnya subur dengan pepohonan hijau menghiasi tiap pulau. Gambaran yang diberikan penulis membuat pembaca ingin melihat dan merasakan langsung keindahan yang dihadirkan Kepulauan Widi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun