Mohon tunggu...
Riski Situmorang
Riski Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa | Ilmu Komunikasi | Universitas Sumatera Utara

Mahasiwa S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara dengan Keterampilan Desain Grafis dan Copywriting. Memiliki Hoby membaca, Membuat desain, Traveling. dan Sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Skip Kopi Bukan Hanya Soal Uang, Tapi Soal Merancang Masa Depan yang Lebih Manis

4 Oktober 2025   23:28 Diperbarui: 4 Oktober 2025   23:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Mahasiswa melewati Caffe (Sumber: DreaminaAI/Riski)

Bagian dari kehidupan mahasiswa yang tak terpisahkan adalah segelas kopi. Minuman ini menemani kita saat begadang mengerjakan tugas, menjadi teman diskusi di kafe, atau sekadar pelepas penat di sela jadwal kuliah yang padat. Tren "Skip Kopi"  seringkali hanya dilihat dari sudut pandang penghematan uang belaka. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, kebiasaan ini memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Mengurangi kopi bukan sekadar menyelamatkan kantong, melainkan sebuah langkah strategis untuk merancang masa depan yang lebih manis dan seimbang.

Makna Sebenarnya di Balik Tren "Skip Kopi"

Bagi banyak mahasiswa, kopi telah berubah dari sekadar minuman menjadi sebuah budaya sosial yang hampir tak terelakkan. Kita sering berkumpul di kafe untuk mengerjakan tugas kelompok, berdiskusi, atau sekadar bersosialisasi. Dalam konteks ini, kopi menjadi simbol interaksi dan gaya hidup. Namun, di balik romantisme "ngopi" ini, tersembunyi sederet konsekuensi yang sering kita abaikan. Konsumsi kopi berlebihan, terutama yang dicampur gula dan krimer, dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan tidur, jantung berdebar, gangguan pencernaan, hingga peningkatan kecemasan 

"Skip Kopi" seharusnya tidak dipahami sebagai tindakan deprivasi atau pelit. Sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran diri yang tinggi. Ini adalah pengakuan bahwa kita peduli pada tubuh dan masa depan kita sendiri. Ketika kita memilih untuk tidak serta-merta mengikuti ajakan nongkrong di kafe, kita sebenarnya sedang melatih kemampuan untuk mengatur prioritas. Kita belajar membedakan antara keinginan sesaat dan kebutuhan jangka panjang. Kebiasaan sederhana ini melatih kita untuk tidak menjadi budak dari tren atau gaya hidup yang sebenarnya tidak sejalan dengan tujuan utama kita sebagai pelajar.

Investasi Kesehatan untuk Produktivitas Jangka Panjang

Mahasiswa kerap mengandalkan kopi sebagai solusi cepat untuk mengusir kantuk dan meningkatkan konsentrasi saat menempuh tekanan akademik . Namun, ini adalah strategi yang keliru. Efek energi yang diberikan kafein hanyalah sementara dan seringkali diikuti oleh "crash" atau rasa lelah yang lebih parah setelahnya. Siklus ketergantungan ini justru dapat mengganggu kualitas tidur dan berdampak negatif pada kesehatan mental kita dalam jangka panjang.

Dana yang dihemat dari mengurangi kebiasaan "ngopi" bisa dialihkan untuk kebutuhan yang lebih substantif. Namun, manfaat terbesar sebenarnya bukan terletak pada uang yang ditabung, melainkan pada investasi kesehatan yang kita lakukan. Dengan tidur yang cukup, pola makan bergizi, dan olahraga teratur-yang semuanya merupakan bentuk self-care kita justru akan mendapatkan energi yang lebih stabil dan alami.

Tubuh yang sehat menjadi fondasi bagi pikiran yang jernih, dan pikiran yang jernih mutlak diperlukan untuk mencerna pelajaran dengan optimal, berkonsentrasi di kelas, dan menghasilkan karya akademik yang berkualitas. Pada akhirnya, kesehatanlah yang menjadi modal utama kita untuk produktif dalam jangka panjang, bukan secangkir kopi.

Melompati Gaya Hidup Instan, Melangkah ke Perencanaan yang Matang

Ada sebuah ironi dalam budaya kopi modern. Di balik citranya yang sering diasosiasikan dengan produktivitas dan kecanggihan, tersembunyi pola konsumsi yang justru instan dan impulsif. Kebiasaan "Skip Kopi" melatih kita untuk melompati pola pikir instan ini. Setiap kali kita menahan diri untuk tidak membeli kopi, kita sedang menguatkan "otak perencanaan" kita. Kita belajar untuk mengelola keinginan dan tidak terjebak pada kepuasan sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun