Mohon tunggu...
Riski Situmorang
Riski Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa | Ilmu Komunikasi | Universitas Sumatera Utara

Mahasiwa S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara dengan Keterampilan Desain Grafis dan Copywriting. Memiliki Hoby membaca, Membuat desain, Traveling. dan Sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mendengarkan Bisikan Alam: Bagimana Pengetahuan Adat dan Sains Modern Bersinergi Menjaga Satwa Liar

1 Oktober 2025   17:21 Diperbarui: 1 Oktober 2025   17:21 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Utan sedang Memakan Buah Pisang (Sumber:DreaminaAI/Riski)


Di tengah derasnya arus modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, Indonesia masih menyimpan warisan kearifan lokal yang tak ternilai-pengetahuan adat yang selama berabad-abad telah menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Di sisi lain, kemajuan sains modern menawarkan alat dan metode canggih untuk memahami, memantau, dan melindungi keanekaragaman hayati. Ketika dua kekuatan ini bersatu, tercipta pendekatan konservasi yang tidak hanya efektif secara ekologis, tetapi juga berakar pada keadilan sosial dan penghormatan terhadap budaya lokal. Sinergi ini menjadi harapan nyata bagi kelangsungan hidup satwa liar karismatik Indonesia, seperti orangutan, gajah sumatra, dan harimau sumatra, yang populasinya terus terancam oleh tekanan lingkungan dan aktivitas manusia.

Pengetahuan Adat sebagai Fondasi Konservasi yang Hidup

Masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam sekitar. Bagi suku Dayak di Kalimantan, hutan bukan sekadar lahan, melainkan bagian dari identitas spiritual dan sosial. Orangutan, yang dalam bahasa Dayak sering disebut mawas, dipandang sebagai saudara dekat manusia. Keyakinan ini melahirkan norma sosial yang melarang perburuan atau gangguan terhadap satwa tersebut. Tradisi seperti tembawang-hutan warisan yang dikelola secara turun-temurun menjadi benteng alami yang melindungi habitat orangutan dari ekspansi perkebunan dan pembalakan liar. Di Sumatra, masyarakat Gayo dan suku-suku pedalaman lainnya memegang teguh konsep peunawa atau larangan sakral terhadap area hutan tertentu. Tempat-tempat ini, yang sering kali menjadi jalur jelajah harimau sumatra, dijaga dengan ketat karena dianggap sebagai tempat tinggal roh leluhur atau makhluk gaib penjaga alam. Praktik semacam ini, meski tidak berbasis data ilmiah, secara empiris telah membuktikan kemampuannya dalam mempertahankan keutuhan ekosistem.

Penelitian yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 2020 mengungkap fakta penting: tingkat deforestasi di wilayah hutan adat di Kalimantan 30 persen lebih rendah dibandingkan kawasan non-adat. Temuan ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan berbasis kearifan lokal bukan hanya relevan secara budaya, tetapi juga efektif dalam menjaga fungsi ekologis hutan-tempat satwa liar bergantung untuk hidup dan berkembang biak. Dengan demikian, pengetahuan adat bukanlah peninggalan masa lalu yang usang, melainkan sistem hidup yang adaptif dan berkelanjutan.

Sains Modern sebagai Pelengkap yang Menguatkan

Jika pengetahuan adat memberikan akar budaya dan moral bagi konservasi, maka sains modern menyediakan kerangka analitis dan teknologi untuk memperkuat upaya tersebut. Di era digital, pemantauan satwa liar tidak lagi mengandalkan observasi langsung semata, melainkan didukung oleh kamera jebak, drone, pemetaan satelit, dan analisis genetik. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan para konservasionis memahami dinamika populasi, pola migrasi, dan ancaman spesifik yang dihadapi setiap spesies.

Ambil contoh gajah sumatra, yang menurut data IUCN Red List tahun 2023 hanya tersisa sekitar 2.400 hingga 2.800 individu di alam liar. Populasi yang terus menyusut ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya habitat akibat perluasan perkebunan kelapa sawit dan konflik dengan manusia. Untuk mengatasi hal ini, Forum Konservasi Leuser (FKL) bekerja sama dengan komunitas lokal menggunakan GPS collar untuk melacak pergerakan kawanan gajah. Data yang dikumpulkan kemudian dikombinasikan dengan peta penggunaan lahan untuk merancang koridor migrasi yang aman dan memasang pagar peringatan non-mematikan di sepanjang batas perkebunan. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi konflik, tetapi juga memastikan gajah dapat bergerak bebas sesuai kebutuhan ekologisnya.

Untuk harimau sumatra, yang kini hanya tersisa sekitar 600 individu menurut laporan WWF Indonesia tahun 2022, teknologi kamera jebak menjadi alat vital dalam pemantauan populasi. Setiap harimau memiliki pola belang yang unik, sehingga para peneliti dapat mengidentifikasi individu dan memantau reproduksi serta pergerakan mereka. Di Taman Nasional Kerinci Seblat, data dari kamera jebak bahkan digunakan untuk mendeteksi keberadaan jaringan perburuan liar, memungkinkan penegakan hukum yang lebih cepat dan tepat sasaran. Sementara itu, di Kalimantan, program rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan oleh Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) tidak hanya fokus pada penyelamatan individu, tetapi juga restorasi habitat melalui penanaman kembali pohon buah endemik berdasarkan studi preferensi makanan dan kebutuhan ruang hidup orangutan.

Kolaborasi yang Menghidupkan Kembali Keseimbangan Alam

Kunci keberhasilan konservasi satwa liar di Indonesia terletak pada integrasi antara dua dunia: kearifan lokal yang berakar pada nilai-nilai luhur dan sains modern yang berbasis bukti. Di Taman Nasional Gunung Leuser, kolaborasi antara masyarakat adat Karo, LSM, dan ilmuwan telah menghasilkan perlindungan lebih efektif bagi harimau sumatra. Masyarakat adat memberikan informasi tradisional tentang lokasi sarang dan rute jelajah harimau, yang kemudian diverifikasi dan diperluas dengan data kamera jebak. Hasilnya, pada tahun 2021, area perlindungan diperluas berdasarkan masukan gabungan ini, dan insiden perburuan liar turun hingga 40 persen dalam dua tahun.

Di Kalimantan Tengah, program Hutan Desa yang melibatkan masyarakat Dayak dalam pengelolaan hutan tidak hanya mengurangi deforestasi, tetapi juga memberdayakan komunitas lokal sebagai garda terdepan konservasi. Mereka dilatih menggunakan metode survei sederhana untuk memantau keberadaan orangutan, dan data yang mereka kumpulkan menjadi bagian dari sistem pemantauan nasional. Di Riau, solusi inovatif seperti "pagar bunyi"-sistem peringatan dini berbasis sensor gerak yang memicu suara saat gajah mendekat-dikembangkan setelah berkonsultasi dengan tetua adat yang memahami tanda-tanda alam sebelum kedatangan gajah. Pendekatan ini menggabungkan intuisi ekologis tradisional dengan teknologi modern, menciptakan solusi yang diterima masyarakat sekaligus efektif secara ilmiah.

Data terkini memperkuat urgensi kolaborasi ini. Populasi orangutan Kalimantan diperkirakan hanya tersisa sekitar 57.000 individu menurut IUCN tahun 2023, sementara gajah sumatra mengalami penurunan populasi lebih dari 80 persen dalam 75 tahun terakhir. Harimau sumatra, dengan populasi sekitar 600 individu, berada di ambang kepunahan. Di tengah ancaman ini, wilayah hutan adat terbukti 30 persen lebih tahan terhadap deforestasi dibanding kawasan lain. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan panggilan untuk bertindak-dengan menggabungkan kebijaksanaan masa lalu dan inovasi masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun