Sampai saat ini Partai Gerindra sepertinya masih merasa was-was menjelang waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang baru akan dimulai pada Agustus 2018. Ketakutan yang dirasakan oleh partai ini bukan lantaran Ketua Umum Prabowo Subianto enggan untuk kembali mencalonkan diri menjadi presiden, melainkan belum adanya tiket dalam bentuk presedential threshold sebagai syarat untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum.
Hingga sekarang, kita semua tahu bahwa partai politik yang masih setia dengan Gerindra adalah Partai Keadilan Sejahtera, hal tersebut terjadi sudah sejak Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 lalu. Seiring berjalannya waktu, Gerindra dan PKS yang ketika itu menamakan diri sebagai Koalisi Merah Putih (KMP) ditinggalkan oleh banyak partai politik lain yang sebelumnya sudah sama-sama berjuang memenangkan Prabowo-Hatta walau pada akhirnya gagal.
Partai-partai yang akhirnya memilih untuk mencari peruntungan di koalisi pendukung pemerintahan adalah PAN, PPP, dan Golkar. Meski demikian, Anis Matta mampu meyakinkan kadernya untuk tetap bersama dengan barisan Gerindra di KMP sampai sekarang, ini salah satu bukti betapa solidnya kedua sekutu tersebut dalam bekerja sama untuk merebut tonggak kekuasaan.
Tetapi harus dicatat, bahwa politik tidak cukup hanya dengan bermodalkan soliditas antar kader atau partai saja. Persis dengan yang terjadi sekarang ini, saat peraturan Pemilu mengharuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen dari total kursi DPR RI atau 25 persen perolehan suara nasional pada Pemilu sebelumnya, maka tidak bisa ditawar lagi.Â
Kenyataannya, Gerindra setidaknya membutuhkan dukungan dari satu partai politik lagi untuk bisa mencalonkan presiden sendiri. Ironisnya, sampai sekarang antara Gerindra dengan PKS sama-sama belum menyatakan sikap secara resmi untuk berkoalisi. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Pencapresan DPP PKS, Suhud Alynudin. Ia menegaskan politik masih sangat cair, sehingga belum tentu PKS tetap bersama dengan Gerindra saat 2019 nanti.
Hal tersebut dikatakan ketika mengklarifikasi pertanyaan media mengenai kehadiran Presiden PKS di Rakornas Gerindra beberapa waktu yang lalu. "Kemarin kita hanya menghadiri undangan. Undangan Rakornas Gerindra yang isinya tentang pemberian mandat dari Gerindra ke pak Prabowo. Proses politik masih terus berjalan dan harus diingat bahwa dalam politik tidak ada yang pasti," ungkapnya.
Dinamika menjadi lebih menarik ketika muncul kabar yang menyebutkan adanya perjanjian tertulis antara Gerindra dengan PKS terkait kursi calon wakil presiden. Dalam surat kesepakatan itu, PKS memberikan syarat harus mendapatkan kursi calon wakil presiden jika berkoalisi dengan Gerindra. Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon tidak menampik adanya surat tersebut meskipun dirinya sendiri belum mengetahui secara detail poin-poin yang termuat di dalamnya.
"Saya sendiri belum lihat suratnya, tetapi saya dengar memang ada, nggak masalah isinya kesepakatan cawapres dari kader PKS atau yang di luar kader tetapi diajukan oleh PKS. Nanti duduk bersama lagi," kata Fadli.
Keadaan ini menarik karena dikabarkan bahwa Partai Amanat Nasional juga akan merapat ke kubu Prabowo Subianto meskipun belum memberikan statement secara resmi. Seperti yang kita tahu, walaupun PAN saat ini mendukung pemerintahan, tetapi manuver yang dilakukan oleh politikus seniornya, Amien Rais dalam mengkritik pemerintahan Joko Widodo dianggap sebagai pertanda bahwa partai tersebut lebih condong untuk kembali ke pangkuan koalisi Gerindra atau membentuk poros baru.
Seperti dalam acara di salah satu stasiun televisi swasta, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan terlihat memiliki ambisi yang sama dengan PKS untuk menjadi calon wakil presiden jika bergabung dengan koalisi Gerindra. "Kata teman-teman kita bisa memenangi kontestasi politik jika ada nama Zulkifli Hasan," ungkap Zulkifli.
Pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini tentu bisa menimbulkan gesekan baru di tubuh koalisi yang dimotori oleh Gerindra, mengingat pada pemilihan presiden 2014 lalu, Prabowo Subianto sudah berpasangan dengan kader PAN, Hatta Rajasa. Oleh karena itu, rasanya menjadi tidak adil bagi PKS jika pada pilpres yang akan datang kader PAN kembali ditunjuk untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto maupun nama lain yang diusung oleh Gerindra.
Bisa jadi, atas dasar ini pihak PKS berusaha mengantisipasi dengan membuat kesepakatan tertulis dengan Gerindra mengenai jatah kursi calon wakil presiden. Jika saja Gerindra sampai mengkhianati perjanjian tersebut, bisa jadi PKS justru yang akan membuat poros koalisi baru dengan partai lainnya yang juga sama-sama belum menentukan sikap mengenai kontestasi politik 2019.
Dari pengamatan saya, ada beberapa partai selain PAN yang belum mengambil keputusan apapun untuk mendukung salah satu nama tertentu di pilpres nanti. Partai Demokrat masih mencari peluang terbaik untuk bisa mempromosikan nama putera sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono.
Sementara itu Partai Kebangkitan Bangsa yang dikomandoi oleh Muhaimin Iskandar juga rentan meninggalkan koalisi yang dipimpin PDIP jika Joko Widodo enggan memilih Cak Imin sebagai calon wakil presidennya. Berdasarkan fakta ini maka terbentuknya poros ke 3 seperti yang pernah dikatakan oleh Zulkifli Hasan sebagai koalisi nasional masih memungkinkan.
Saya berpendapat gesekan-gesekan antar partai politik saat ini demi memenuhi ambisi merebut kekuasaan justru semakin memperkuat banyaknya kemungkinan yang akan terjadi. Kalau partai yang ada di koalisi PDIP dan Gerindra tidak sepakat terkait nama capres maupun cawapres, mereka berpeluang memisahkan diri dan membentuk koalisi baru. Kemungkinan lainnya, adanya partai politik yang akan menyeberang ke kubu koalisi lawan, seperti PAN bergabung dengan Gerindra.
Terbentuknya poros ke 3 nanti bisa sangat menyulitkan Prabowo Subianto, karena sekarang hanya PKS yang sudah menunjukkan tanda-tanda akan mendukung. Tetapi yang perlu diingat bahwa sikap Partai Keadilan Sejahtera itu belum menjadi sebuah keputusan resmi.
Apalagi jika PKS pada akhirnya memilih untuk tidak bekerja sama dengan Gerindra ketika masanya datang di pilpres 2019, maka tiket Prabowo Subianto untuk kembali rematch dengan Joko Widodo dipastikan hilang karena gagal memenuhi syarat ambang batas pencalonan. Kalau sampai terjadi hal seperti ini, maka Prabowo Subianto berpotensi memilih mundur dari kontestasi kemudian menunjuk nama lain untuk menjadi calon presiden demi menarik dukungan dari partai politik lainnya atau justru bergabung dengan koalisi PDIP dan menjadi calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo.
Beberapa hari yang lalu dunia politik tanah air dihebohkan dengan munculnya sebuah artikel dengan judul "Indonesia Moving Toward a One-Horse Race" yang diterbitkan oleh media asing, Asia Times. Dalam artikel tersebut mengatakan jika Prabowo Subianto melamar sebagai Menteri kabinet Joko Widodo sebagai syarat koalisi Gerindra dengan PDIP seandainya sang petahana kembali terpilih di Pilpres 2019.
Meskipun belum diketahui dasar apa yang menjadi referensi artikel tersebut, tetap saja kabar seperti itu sangat mengagetkan publik. Analisa saya, seorang Prabowo Subianto yang berlatar belakang militer selama ini terkenal gigih dalam memperjuangkan keinginannya. Terhitung sejak terjun ke dunia politik, mantan menantu Soeharto itu bahkan sudah 3 kali maju dalam Pemilihan Presiden.Â
Seperti ingin mengobati rasa penasaran, di pemilu yang akan datang pun ia tetap bertekad maju walaupun diwarnai oleh keraguan oleh berbagai pihak termasuk dirinya sendiri karena belum berhasil memenuhi persyaratan ambang batas pencalonan. Maka dari itu, rasanya tidak mungkin jika Prabowo pada akhirnya hanya akan mengincar kursi menteri di kabinet pemerintahan yang akan datang jika ia gagal mencalonkan diri menjadi Kepala Negara.
Peluang yang paling memungkinkan bagi Prabowo Subianto kalau gagal menemukan kawan koalisi atau tidak mampu memenuhi presedential threshold adalah berkoalisi bersama partai pendukung Joko Widodo, lalu mencalonkan diri sebagai wakil presiden Jokowi untuk Pilpres 2019. Dengan demikian, jika Jokowi kembali dipercaya rakyat untuk periode selanjutnya, hal tersebut bisa menjadi promosi gratis bagi Prabowo, paling tidak selama 5 tahun ke depan mendampingi Joko Widodo.
Mengingat esok adalah periode terakhir incumbent bisa mencalonkan diri lagi, maka pada pemilu 2024 Prabowo Subianto bisa kembali mencalonkan diri menjadi presiden dengan modal kuat berupa kinerja selama 5 tahun mendampingi Joko Widodo. Selain itu, pastinya pada Pemilihan Presiden 2024 nanti lawan-lawan yang akan dihadapi kemungkinan besar merupakan orang-orang baru dari kalangan generasi muda, sehingga peluang mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut untuk menang jauh lebih besar.
Saya sangat berharap tulisan dari Asia Times tersebut tidak benar, karena sangat disayangkan sekali apabila Prabowo hanya buang-buang waktu untuk melamar sebagai Menteri di kabinet pemerintahan yang akan datang. Kalau belum bisa presiden ya minimal wakil presiden, begitulah kira-kira.
Apalagi berdasarkan survei yang dihimpun dari Saiful Munjani Reasearch and Consulting (SMRC), 66,9 persen masyarakat Indonesia berharap agar Joko Widodo dan Prabowo Subianto bisa bersanding pada pilpres nanti. Bersatunya kedua negarawan itu diyakini akan membuat suhu politik tanah air yang dewasa ini semakin memanas lebih harmonis. Â Segala kemungkinan masih bisa terjadi sebelum batas akhir pendaftaran capres dan cawapres pada 4 Agustus 2018.
Oleh karenannya jika sekarang ada pertanyaan mungkinkah Joko Widodo berpasangan dengan Prabowo Subianto? Sesuai dengan analisa di atas jawabannya sangat mungkin, tergantung dari sikap para tokoh tersebut apakah bisa mengelola ego dan mengutamakan kepentingan bangsa. Jika mereka mampu melakukannya, maka jalan untuk islah pasti akan terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI