Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengenal Lasem sebagai Ikon Toleransi

29 Desember 2017   19:54 Diperbarui: 30 Desember 2017   20:14 2350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: travel.kompas.id

Hidup berbangsa dan bernegara selama berpuluh-puluh tahun lamanya setelah kemerdekaan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang selalu digaungkan maka sudah seyogianya jika kita wajib untuk menjaga keutuhan tanah air ini minimal dengan cara menghormati dan menghargai perbedaan dan keberagaman antar masyarakat. 

Indonesia adalah negara dengan ciri khas yang cukup unik, didukung oleh luas wilayah yang memadai tidak heran jika masyarakat ibu pertiwi memiliki berbagai macam kebudayaan, etnis, agama, suku, serta adat istiadat yang beraneka ragam. Betapa beruntungnya kita dilahirkan di negeri pelangi ini.

Tetapi, meskipun demikian dewasa ini justru terdapat banyak fakta yang membuktikan bahwa masih ada sebagian dari kita yang sepertinya belum bisa untuk menerima adanya perbedaan yang seharusnya sudah ditakdirkan keberadaannya di Indonesia sejak merdeka dahulu kala. 

Konflik-konflik antar etnis dan mengatasnamakan agama hingga berujung pada tindakan yang merugikan orang lain adalah pekerjaan rumah masa kini yang selalu menjadi bahasan dalam diskusi-diskusi tingkat masyarakat akar rumput hingga tokoh-tokoh elit yang duduk di kursi kekuasaan pemerintahan. Padahal jika kita telisik lebih dalam pada masa penjajahan, para pahlawan-pahlawan pendahulu juga hidup dalam latar belakang berbeda-beda, tetapi buktinya mereka mampu untuk tetap bersatu hingga membawa bangsa ini ke masa kemerdekaan yang setiap tahun kita rayakan pada 17 Agustus.

Ironisnya, generasi zaman sekarang yang hanya diberi tugas untuk meneruskan perjuangan para pendahulu justur terombang-ambing karena konflik saudara yang dipicu oleh isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Apa artinya sama tetapi gagal bersatu seperti yang kita temui di negara-negara yang ditinggali oleh saudara-saudara kita di Timur Tengah. Sedangkan kita di sini sibuk mempersoalkan adanya perbedaan yang justru dapat mempersatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kita semua diberi kenikmatan berupa kemerdekaan yang hakiki seperti sekarang ini.

Berbicara mengenai toleransi terhadap perbedaan, saya merasa sangat beruntung karena lahir di Kabupaten Rembang, daerah ini sejak zaman dahulu sudah akrab dengan akulturasi dalam kehidupan sosial. Dalam sejarahnya, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pernah menjadi pusat perdagangan di masa itu. Pada abad ke-14 hingga 15 daerah ini menjadi tempat terbesar berkembangnya para imigran asal Cina atau yang sekarang bernama Tiongkok. 

Armada besar Laksamana Cheng Ho pun pernah berkunjung ke Lasem sebagai duta politik Kaisar Cina pada masa Dinasti Ming dengan tujuan untuk membina hubungan bilateral dalam bidang kebudayaan dan perdagangan dengan Kerajaan Majapahit. Berawal dari situlah kemudian mereka memperoleh hak istimewa untuk dapat melakukan aktivitas perniagaan dan kemudian hingga sekarang banyak masyarakat dari etnis Tionghoa yang tinggal dan menetap di daerah ini.

Jika berkunjung ke Lasem, sepasang mata kita akan langsung tertuju pada bangunan-bangunan kuno berarsitektur Tiongkok yang menjadi rumah-rumah penduduk setempat. Selain itu juga terdapat percampuran antara etnis Jawa asli dan Cina yang dapat hidup bersama secara rukun dan berdampingan. Oleh sebab itulah mengapa Kecamatan ini mendapatkan sebutan sebagai small Chinatown atau Tiongkok kecil. 

Claudine Salmon, seorang pakar dari Perancis yang menghabiskan 40 tahun untuk meneliti masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Chinese Epigraphic Materials in Indonesiabahwa sebutan Lasem sebagai Tiongkok kecil ini awal mulanya lahir dari para wisatawan yang terpikat menyaksikan bentuk bangunan kuno khas Tiongkok persis seperti yang terdapat di setiap sudut daerah Fujian selatan, Cina. Berawal dari cerita itulah kemudian hingga sekarang banyak para pelancong, ilmuwan, maupun pers yang tetap mempertahankan julukan Lasem Tiongkok kecil.

Gambaran nyata wujud adanya toleransi antar umat beragama di tempat tersebut juga dapat disaksikan dari tulisan Kanji yang ada di pintu Pesantren Kauman, Karangturi, Lasem. Ada dua pesan yang terselip dari tulisan Kanji itu, pertama jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya adalah "Semoga panjang umur setinggi Gunung Himalaya" dan tulisan kedua adalah "Semoga luwes rejekinya sedalam Lautan Hindia". H.M. Zaim Ahmad Ma'shoem atau yang akrab disapa Gus Zaim selaku Pembina Pondok Pesantren Kauman mengatakan bahwa dirinya sengaja untuk tidak menghapus tulisan Kanji tersebut dikarenakan terdapat makna pesan moral dan doa yang mulia.

Guz Zaim menambahkan bahwa sesungguhnya Islam mengajarkan hal baik berupa toleransi, maka dari itu ia bersama para santrinya tidak segan-segan membiasakan diri untuk saling menolong terhadap warga sekitar meskipun berbeda Suku, Agama, maupun Ras. "Ketika ada masyarakat yang membutuhkan bantuan tenaga para santri akan membantu, begitu juga sebaliknya, bahkan jika ada yang meninggal kami juga ikut takziah dan mendoakan jenazahnya tidak masalah, itu namanya persaudaraan."

Apa yang dikatakan oleh Gus Zaim memang benar, bukti bahwa Islam mengajarkan toleransi dapat kita temukan dalam ayat lakum dinukum waliyadinyang artinya agamamu agamamu, agamaku agamaku. Dalam kehidupan bersosial dapat diimplementasikan dengan tidak mendiskriminasi sesama umat manusia karena alasan perbedaan agama sekalipun. Maka alangkah baiknya jika kita sibuk melaksanakan kegiatan agama sesuai dengan keyakinan kita sendiri lalu membebaskan serta menghormati orang lain yang juga sama-sama berniat untuk melakukan ritual keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa saling mengganggu.

Karena Indonesia menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, maka hukum negara juga mengatur tentang ketentuan pemberian hak kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia terdapat pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945: "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Didukung dengan dasar ajaran agama dan ketentuan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya sudah bukan saatnya kita di zaman global seperti saat ini sibuk memperkarakan perbedaan yang lahir antar warga sebangsa dan setanah air.

Apa untungnya kita semua menghabiskan waktu untuk perang saudara demi memaksakan sebuah persamaan yang tidak akan pernah ada di bangsa ini. Hasilnya justru pecah belah yang kita dapati dan pada akhirnya kita serta negara ini sendiri yang menjadi korbannya. Maka tidak ada salahnya kita sejenak meluangkan waktu untuk berkunjung ke Lasem sebagai sebuah daerah kecil yang mempu menjelma menjadi ikon toleransi bagi umat manusia. 

Sesungguhnya belajar ilmu tidak hanya dapat kita lakukan melalui cara berinteraksi dengan makhluk hidup saja, tetapi benda mati seperti contohnya oleh-oleh khas Lasem, batik tulis pun dapat menjadi media yang baik jika kita ingin lebih mendalami pesan toleransi yang tergambar dalam setiap tetesan malam coretan khas pengrajin batik setempat.

Motif-motif yang terlukis di setiap potong batik tulis Lasem didominasi oleh akulturasi antara budaya Jawa dan Cina. Beberapa motif bunga dan hewan bahkan sudah menjadi salah satu ciri khas dari cindera mata yang selalu menjadi buruan wisatawan setiap berkunjung ke Kabupaten Rembang seperti corak burung phoenix, merak, dan binatang mitologi budaya Tiongkok, naga. Pada awalnya, motif khas negeri tirai bambu itu diperkenalkan oleh keturunan Cina yang datang ke Lasem, kemudian digunakan sebagai inspirasi oleh para pengrajin untuk membuat batik tulis secara turun temurun sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang.

Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian), pemilik batik Sekar Kencana, Lasem mengatakan bahwa ciri khas yang membedakan antara batik tulis Lasem dengan produk batik dari daerah lain terdapat pada warnanya. "Ada motif yang bernuansa Cina dan juga ada pengaruh dari daerah penghasil batik lain di Jawa, tetapi yang khas adalah warnanya yaitu merah darah ayam atau abang getih pitik," jelasnya. 

Percampuran kedua budaya antara Cina dengan Jawa sudah terjadi di Lasem sejak dulu  menurut Sigit menjadikan daerah ini sebagai tempat yang sarat dengan nilai toleransi. Bahkan keberagaman itu juga terjadi di keluarganya, karena pengusaha batik ini asli keturunan Cina, nenek moyangnya berasal dari Provinsi Hokkian menikah dengan istrinya yang merupakan warga keturunan Jawa asli. Pasangan ini juga melahirkan anak-anak yang memiliki agama berbeda-beda namun tetap dapat menjalani kehidupan harmonis dalam satu keluarga.

Mengutip dari kata-kata bijak tokoh nasional dari Kabupaten Rembang, KH. A. Mustofa Bisri atau yang biasa disebut Gus Mus yang pernah ngendika "agamamu belum tentu agama Allah. Agama Allah menghargai manusia dan menebar kasih sayang ke alam semesta." Dari pesan Gus Mus tersebut, hendaknya kita semua berkaca pada diri sendiri untuk menjauhkan rasa benci, iri, dengki, dan dendam terhadap sesama hanya karena alasan perbedaan keyakinan karena Islam mengajarkan kasih sayang terhadap sesama umat manusia tanpa memandang latar belakang agama maupun etnisnya.

Jika Lasem sebagai sebuah bagian kecil dari Indonesia saja bisa mengaplikasikan pentingnya nilai toleransi mengapa kita sebagai Indonesia yang cakupannya lebih besar tidak dapat melakukan hal yang sama. Menurut saya menghormati perbedaan dan keberagaman itu adalah sebuah keniscayaan, apalagi jika kita hidup di negeri ini dimana pada sejarahnya memang pernah merubah perbedaan menjadi persatuan dan kesatuan untuk mengusir penjajah hingga meraih kemerdekaan. 

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, lahir dan besar di Indonesia sudah menjadi tugas kita semua untuk menjadi Indonesia seutuhnya dengan tetap memegang teguh Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan bermasyarakat. Karena perbedaan itu bisa disatukan tanpa harus disamakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun