Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Bola

Match Fixing dalam Sepakbola Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana

11 Januari 2016   23:13 Diperbarui: 11 Januari 2016   23:23 2093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepakbola menjadi salah satu olahraga favorit nomor wahid masyarakat global. Sejak jaman dulu hingga saat ini sejarah sepakbola dunia hampir tidak pernah mengalami fase kemunduran meskipun terkadang ada dinamika yang mengiringi perjalanannya. Namun hal tersebut tidak terjadi di sepakbola Indonesia, jika kita memandang sepakbola, maka berbicara mengenai banyak hal, bukan sekedar prestasi, melainkan juga industri, manajemen tim, pembinaan pemain muda, dan suporter atau penonton sebagai konsumen.

Indonesia masih kalah dari negara-negara lain termasuk tetangga serumpun di asean maupun tingkat asia. Jangankan industri, pembinaan pemain muda potensial yang pada akhirnya akan bermuara pada prestasi saja kita masih terseok-seok. Hal tersebut diperparah dengan adanya isu pengaturan skor ( match fixing ) yang semakin tahun naik ke permukaan menjadi sebuah rumor yang patut untuk ditindaklanjuti secara serius oleh seluruh stakeholder yang ada karena suara yang semakin nyaring membicarakan hal tersebut.

            Sebelum membahas lebih jauh topik ini, terlebih dahulu mari kita telaah secara mendalam tentang pengertian match fixing itu sendiri, menurut federasi sepakbola internasional ( FIFA ), adalah sebuah pengaturan suatu pertandingan sepak bola untuk mendapatkan keuntungan secara materiil maupun immateriil karena hasil pertandingan telah memenuhi pesanan dari suatu perseorangan atau kelompok tertentu yang berada dalam lingkup nasional maupun internasional. FIFA menambahkan bahwa pengaturan skor yang terjadi dalam dunia si kulit bundar biasanya telah direncanakan secara kriminal dan berada pada tingkat transnasional yang termasuk dalam kejahatan judi, maupun korupsi secara personal atau bahkan kelembagaan. Biasanya hal semacam ini lebih sering menyerang klub yang bermain di liga suatu negara tertentu ketimbang event-event besar yang diselenggarakan oleh FIFA sendiri dan melibatkan tim nasional.

            Banyak pihak khususnya di Indonesia yang menganggap bahwa keterlibatan negara ( dalam hal ini pemerintah ) untuk menangani kasus pengaturan skor dalam dunia sepak bola merupakan sebuah intervensi yang jelas-jelas dilarang dalam statuta FIFA yang memberikan ketentuan bahwa keberadaan sepak bola dalam suatu negara harus bersifat independen dan bersih dari intervensi pihak manapun termasuk pemerintah. Padahal perkembangan match fixing hingga dewasa ini bukan hanya menjangkau football familly atau dengan kata lain pelaku dalam dunia sepakbola, melainkan juga menggandeng elemen-elemen lain di luar bidang olahraga tersebut.

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan mafia dan bandar judi dalam lingkup sepak bola yang merupakan “orang luar” sudah sangat kental dan harusnya bisa tercium oleh aparat penegak hukum yang mewakili negara, FIFA tentu tidak bisa menjangkau mereka, mungkin induk organisasi sepakbola internasional tersebut bisa saja memberikan sanksi disiplin bagi pelaku bola dalam hal ini pemain, wasit, pelatih, offcial team maupun official pertandingan lainnya, namun bagaimana dengan bandar dan mafia yang terlibat?

FIFA tidak punya cukup bekal dasar hukum untuk menjerat mereka dengan sanksi disiplin apalagi sanksi pidana, disinilah saatnya dibutuhkan kehadiran negara melalui otoritas hukumnya khususnya Indonesia untuk ikut turun tangan menangani dengan melakukan investigasi melalui serangkaian proses penyidikan, penyelidikan dan penuntutan.


            FIFA dengan tegas menyatakan bahwa organisasi tersebut memberikan kewenangan sepenuhnya kepada negara untuk ikut turun tangan menangani kejahatan pidana internasional yang terorganisir ini dengan menggandeng elemen-elemen semacam interpol, negara, dan seluruh pemangku kebijakan yang berada pada tingkat nasional, regional hingga internasional.

FIFA menganggap bahwa pengaturan skor merupakan suatu kejahatan yang membutuhkan respon positif dan cepat dari para pihak yang berkepentingan untuk segera memeranginya karena kejahatan ini sudah hampir memiliki level sama dengan korupsi yang telah ditetapkan oleh PBB ( Perserikatan Bangsa – Bangsa ) sebagai kejahatan pidana luar biasa ( extra ordinary crime ). Dari pernyataan FIFA yang saya kutip di atas dapat bersama-sama kita simpulkan bahwa kehadiran negara melalui aparat penegak hukumnya untuk menangani kasus match fixing bukan merupakan bentuk intervensi negara terhadap sepakbola seperti yang mungkin dikhawatirkan oleh induk sepakbola Indonesia ( PSSI ) selama ini sehingga membuat mereka sedikit ragu-ragu untuk menggandeng pemerintah dalam menuntaskan masalah ini.

            Match fixing bukan hal baru dalam dunia olahraga, khususnya sepakbola di Indonesia, ada banyak kisah tragis dengan bumbu praktik pengaturan skor yang mengiringi perjalanan kelam sepakboloa nasional. Masih segar dalam ingatan ketika pada turnamen piala Tiger ( sekarang AFF Cup ) yang mempertemukan tim nasional di tingkat asia tenggara pada tanggal 31 Agustus 1998,

kala itu timnas garuda kebanggan kita masih diperkuat oleh pemain-pemain legendaris yang mungkin sekarang sudah pensiun atau bahkan mengabdikan diri menjadi pelatih-pelatih klub, nama-nama seperti Mursyid Effendi, Aji Santoso, dan Miro Baldo Bento adalah saksi hidup sejarah memilukan sepakbola nasional saat itu. Kisah berawal ketika timnas Indonesia sudah memastikan diri lolos dari babak penyisihan grup, mereka tinggal memainkan pertandingan terakhir menghadapi Thailand yang juga sudah sama-sama memastikan satu tiket lainnya ke babak selanjutnya.

Posisi di klasemen saat itu Indonesia berada di posisi pemuncak, sementara Thailand menyusul persis di bawahnya. Point klasemen kedua negara ini pun sama kuat, hanya selisih gol yang membedakan. Peraturan turnamen mengharuskan bahwa juara grup A harus berjumpa dengan tuan rumah Vietnam yang saat kejuaraan itu menjadi runner up grup B, sedangkan runner up grup A bertanding menghadapi juara grup B di partai penyisihan selanjutnya. Namun, Indonesia dan Thailand sama-sama menganggap bahwa pertemuan dengan Vietnam merupakan suatu hal yang sangat menakutkan, karena posisi Vietnam saat itu adalah tuan rumah kompetisi, sehingga permainan mereka kala itu cukup sempurna dan ditakuti oleh lawan-lawannya.

Untuk menghindari mimpi buruk itu, Indonesia dan Thailand seperti tidak serius menjalani pertandingan terakhir mereka, karena hanya mengincar posisi runner up grup dengan tujuan agar tidak berjumpa dengan Vietnam. Skor yang masih berjalan imbang 2-2 membuat mayoritas para pemain tim nasional merah putih kesal karena imbang saja tidak cukup untuk membawa mereka pada runner up klasemen, dengan tujuan mengalah, akhirnya bek timnas Mursyid Effendi nekat memasukkan bola ke gawang sendiri dan skor akhir adalah 3-2 untuk kemenangan Thailand.

Di babak semifinal pun ternyata Indonesia harus dipaksa mengakui keunggulan Singapura yang saat itu diprediksi akan menjadi bulan-bulanan Indonesia, hal tersebut seakan menjadi karma bagi pelaku sepakbola yang terlibat saat itu karena di hasil akhir turnamen justru  Singapura menjadi yang terbaik alias juara piala Tiger 1998. Sejak kasus tersebut kemudian publik menjuluki sebagai parodi sepakbola gajah, karena para pemain yang bertanding kala itu bagaikan seekor gajah yang tidak tau mana gawang lawan dan mana gawang kawan.

Aib besar yang cukup menghancurkan harga diri bangsa membuat ketua PSSI kala itu, Azwar Anas mengundurkan diri dari kursi kepemimpinan di induk sepakbola Indonesia. FIFA juga memberikan sanksi disiplin bagi negara kita dengan denda sebesar 40 ribu dollar AS. Sebenarnya berapapun uang denda yang harus dibayarkan bukanlah sebuah masalah, karena yang jauh lebih penting dari sekedar kerugian materi saat itu adalah harga diri dan citra bangsa di mata dunia yang dianggap cukup murah karena rela dipermalukan oleh pemain yang mewakili negara di lapangan.

            Selain di level internasional, Indonesia lagi-lagi juga mendapatkan malu yang sama saat pengaturan skor membelenggu pada liga nasional yakni kompetisi divisi utama tahun 2014 yang lalu. Awal kisah PSS Sleman bertanding menghadapi PSIS Semarang pada babak 8 besar divisi utama 2014 pada tanggal 26 Oktober, dengan tujuan lagi-lagi untuk menghindari tim yang jauh lebih kuat ( saat itu Borneo FC ) di partai selanjutnya, kedua kesebelasan mencetak 5 gol bunuh diri ke gawangnya masing-masing dengan skor akhir 3-2 untuk kemenangan tuan rumah PSS Sleman.

Selanjutnya di internal PSSI mencium aroma keterlibatan mafia sepakbola yang mewarnai kompetisi pada waktu itu, sehingga diputuskan untuk memberikan sanksi berupa pencoretan kesebelasan PSS Sleman dan PSIS Semarang dari Divisi Utama 2014, Padahal langkah tinggal sedikit lagi untuk bisa memenuhi mimpi promosi ke liga tertinggi nasional, ISL.

Tragedi tersebut kemudian membuat pemerintah nekat melakukan investigasi besar-besaran yang menurut saya salah langkah, karena melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, surat pembekuan untuk PSSI terbit dan menyatakan bahwa ada mosi tidak percaya terhadap kepengurusan PSSI kala itu yang dinilai sarat akan keberadaan mafia. Menpora Imam Nachrawi memberikan komentar bahwa langkahnya membekukan PSSI adalah untuk kepentingan investigasi kasus pengaturan skor yang disinyalir tidak hanya melibatkan football familly, tapi juga pihak lain di luar pelaku sepakbola dan ada potensi tindak pidana di dalamnya.

Nah, disini saya berani menilai bahwa tindakan Menpora merupakan hal yang salah kaprah, karena pada point yang sudah saya jelaskan di atas tentang FIFA, bahwa negara boleh hadir untuk membantu PSSI melakukan penyidikan, penyelidikan kasus pengaturan skor dan itu semua tidak dianggap sebagai intervensi karena FIFA sendiri menggandeng interpol dan elemen-elemen lain untuk mengusut tuntas kasus yang sama dalam sepakbola tingkat internasional. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika Menpora memutuskan membekukan PSSI dan mengambil alih organisasi dengan tim transisi bentukan pemerintah, ini merupakan sebuah intervensi dan pada akhirnya melahirkan sanksi dari FIFA kepada Indonesia dan melarang seluruh aktivitas sepakbola Indonesia di level internasional sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

            Hingga tulisan ini saya buat, kinerja tim transisi yang digadang-gadang akan memberikan revolusi bagi sepakbola merah putih masih abu-abu, bahkan seakan-akan hanya berjalan di tempat tanpa program serta visi misi yang jelas. Karena penyelesaian kasus sepakbola gajah, baik yang menimpa timnas pada 1998, maupun kompetisi nasional 2014 yang lalu lagi-lagi hanya menelurkan sanksi disiplin bagi para pesepakbola dan official tim.

Sanksi semacam pelarangan berkecimpung di sepakbola dalam kurun waktu yang telah ditentukan, denda, hingga degradasi merupakan hal basi bagi publik tanah air, karena bukan itu yang kita cari, melainkan pengungkapan kasus secara besar-besaran yang kemudian bermuara pada tuntutan pidana beserta sanksinya oleh negara kepada pelaku pengaturan skor yang telah memenuhi 2 alat bukti atau lebih setelah melalui proses investigasi yang mendalam. Karena harus kita akui bahwa satu-satunya efek jera yang cukup ampuh bagi pelaku tindak pidana adalah pemberian sanksi pidana sesuai dengan hukum perundang-undangan di Indonesia.

Aparat penegak hukum Indonesia masih terkesan setengah hati dalam menerapkan tindakan tegas yang sesuai dengan hukum positif terhadap para pelaku pengaturan skor baik kepada mereka yang berada dalam lingkaran football familly ( pelaku sepakbola ) maupun para mafia di luar lingkup olahragawan. Seperti di Italia pada saat terjadi kasus yang sama dan dikenal dengan istilah calciopoli pada negara tersebut, FIGC sebagai induk sepakbola Italia tidak berhenti dengan hanya memberikan hukuman berupa sanksi skorsing, denda atau degradasi semata, namun mereka juga mempersilahkan aparat penegak hukum setempat untuk melakukan investigasi seluas-luasnya dengan serangkaian proseses penyidikan, penyelidikan, hingga penuntutan bagi para pelaku yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.

Jika ada yang terbukti melakukan dan memenuhi unsur pidananya, serta ditemukan alat bukti yang sah dan meyakinkan, otoritas hukum setempat tidak segan-segan menjerat dengan hukuman kurungan sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negeri pizza. Beberapa nama besar sukses menjadi tangkapan kelas kakap aparat untuk investigasi kasus calciopoli saat itu, diantaranya adalah Paolo Dondarini dan Tullio Lanese, keduanya merupakan mantan wasit di kancah persepakbolaan Italia yang mendapatkan sanksi pidana penjara masing-masing 3 tahun dan 2 tahun untuk nama terakhir yang penulis sebutkan.

Tidak akan ada hal yang sulit dalam mengungkap kasus ini jika memang pemerintah dan PSSI bersungguh-sungguh untuk melakukannya. Beberapa petunjuk dilihat dari banyaknya saksi yang siap buka-bukaan menjadi angin segar bagi pihak – pihak yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengusutnya. Baru-baru ini, muncul beberapa nama tenar dari cabang sepakbola yang sudah memberikan keterangannya di stasiun televisi swasta dan membenarkan adanya praktik haram tersebut. Bahkan, mereka menceritakan secara lengkap kronologis yang diketahui tentang bagaimana setiap pertandingan diatur oleh oknum-oknum mafia. Ada inisial BS, mantan pemain, dan pelatih sepakbola, kini terjun menjadi “runner” ( pengatur ) pertandingan sepakbola.

Ia secara terang-terangan muncul di depan wartawan dan menyatakan bersedia menjadi whistle blower untuk menguak pengaturan skor. Menurut pengakuannya, dari kurun waktu 2000 – 2015 kompetisi sepakbola dalam negeri sudah diatur pertandingannya, hal itu yang kemudian menjadi bahan laporannya ke Bareskrikm Mabes Polri. Masih berdasarkan keterangan BS, setiap musim pertandingan sepakbola di Indonesia, perputaran uang dari hasil pengaturan skor mencapai 10 triliun dengan estimasi rata-rata setiap pertandingan adalah 50 juta rupiah, jumlah yang sangat fantastis tentunya. BS sendiri merupakan pengatur pertandingan yang mempunyai jangkauan hingga ke negara lain di Asia seperti Malaysia, Singapura, dan Tiongkok.

Keterangan yang dilontarkan oleh BS maupun saksi lainnya dari lingkungan football familly tentu tidak bisa dianggap remeh oleh Kepolisian Republik Indonesia, meskipun pernyataan mereka masih membutuhkan langkah pembuktian yang cukup untuk mengetahui benar atau tidaknya, karena keterangan saksi bisa menjadi pelengkap alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 Ayat ( 1 ) KUHAP.

Dengan demikian, keberadaan saksi bagi kepentingan penyidikan harus sejalan dengan perlindungan yang diberikan oleh aparat baik secara hukum maupun hak asasinya. Bukan tidak mungkin setelah berani buka-bukaan di media dan penyidik, mereka mendapatkan teror yang sangat membahayakan dari orang-orang yang merasa terancam. Belum lagi para saksi yang masih berkarir dalam sepakbola, sebagai pelatih maupun pemain, ada potensi beberapa klub tidak mau lagi menggunakan jasanya jika merasa terganggu dengan kejujurannya tentang kondisi sepakbola nasional di depan publik.

Padahal mereka semua masih mempunyai keluarga yang kehidupannya juga bergantung dari profesinya di lapangan hijau. Langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada saksi dapat ditempuh dengan mendaftarkan ke LPSK ( Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ) dan hal itu sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006. Jangan sampai ada kesan hanya mengambil keuntungan berupa keterangan dari saksi tetapi kemudian melupakan keberadaannya di tengah-tengah ancaman bagi keselamatan mereka.

Jika faktanya sudah demikian, maka bukan tidak mungkin bahwa Indonesia juga bisa menerapkan hal yang sama pada kasus ini seperti halnya negara lain. Dalam pengamatan saya, bukannya tidak atau belum ada hukum yang mengaturnya, melainkan sudah ada hukum yang mengatur, namun aparat masih enggan untuk melakukan investigasi secara mendalam. Kita sama-sama tahu jika hukum pidana mengenal prinsip “bukan termasuk tindak pidana, kecuali telah diatur sebagai suatu tindak pidana sebelumnya” yang berarti bahwa suatu perbuatan belum bisa dikatakan tindak pidana jika belum atau tidak ada aturan dalam perundang-undangan yang mengaturnya. Disini penegak hukum dituntut sedemikian rupa untuk bisa menjadi penemu hukum / rechtsvinding agar bisa menjadi referensi di kemudian hari jika ditemukan kasus yang sama demi menyelamatkan nasib sepak bola Indonesia.

Pengaturan skor dengan melibatkan keuntungan berupa materi maupun immateriil erat kaitannya dengan UU No 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap. Pasal 2 UU tersebut berbunyi “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)”,

dilanjutkan dengan pasal 3 “Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”.

Kedua pasal uu no 11 tahun 1980 diatas menurut hemat saya seharusnya bisa digunakan oleh penegak hukum Indonesia untuk menjerat para pelaku pengaturan skor jika memang ditemukan adanya indikasi suap menyuap di dalamnya. Karena dalam penjelasannya ditegaskan pada pasal 1, kalimat “kewenangan dan kewajibannya” termasuk dengan yang melekat pada ketentuan kode etik dan profesi atau organisasinya masing-masing pelaku yang terlibat dalam tindak pidana ini.

Jika dalam sepakbola, maka kode etik profesi berhubungan erat dengan posisinya sebagai pemain atau pelatih sepakbola jika tersangka merupakan seseorang yang termasuk dalam lingkungan football familly. Sedangkan kata “organisasi” dalam pasal itu juga bisa dimaknai oleh hakim sebagai penemu hukum yang berarti pemain dan pelatih dalam kasus pengaturan skor terikat dengan organisasi yang memiliki ketentuan kode etik baik itu klub tempat mereka bermain ataupun melatih, dan induk organisasi sepakbola nasional seperti PSSI, dan internasional ( FIFA ) yang juga memiliki statuta sebagai pedoman hukum dan didalamnya berlaku pula kode etik yang harus ditaati oleh pelaku sepakbola. Maka dapat disimpulkan bahwa mereka yang terlibat suap dalam pengaturan skor dapat dikatakan melanggar kode etik dan profesinya sebagai pemain sepakbola serta melanggar ketentuan etik yang telah ditetapkan oleh organisasi yang dalam hal ini klub, PSSI, dan FIFA.

Kemudian pada pasal 3 undang-undang di atas juga diberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan sesuatu atau janji tidak selalu berupa uang atau barang, diluar itupun yang ikut dijanjikan dalam tindak pidana suap pengaturan skor bisa tetap dianggap melanggar pasal 3 uu no 11 tahun 1980. Maka disini dapat digarisbawahi, sebenarnya ada undang-undang yang bisa menjadi pegangan bagi aparat dalam negara untuk menjerat pelaku pengaturan skor dalam sepakbola.

Memang keberadaan atau usia undang-undang tersebut sudah bisa dikatakan sangat tua karena terbis sejak 1980 dan besaran nominal denda yang hanya berkisar belasan juta serta maksimal kurungan 15 tahun dirasa terlalu murah di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini, tapi yang utama pelaku dalam match fixing bisa dikenai sanksi pidana terlebih dahulu, sedangkan untuk masalah pembaharuan pasal dalam undang-undang tersebut tentang jumlah denda dan lama hukuman di dalam bui kita sama-sama mendorong kepada DPR sebagai badan legislasi nasional agar bersedia untuk segera memberlakukan revisi demi memenuhi tuntutan zaman di tengah keadaan darurat pidana dalam olahraga khususnya sepakbola yang semakin mewabah.     

            Ironisnya, meskipun sudah jelas ada undang-undang yang bisa digunakan untuk menghukum pelaku match fixing baik yang di dalam maupun di luar football familly, sampai sekarang negara masih saja menganggap jika belum ada dasar hukum secara khusus yang mengaturnya. Mungkin pemikiran itu muncul karena mereka beranggapan bahwa tindak pidana suap dalam dunia sepakbola tidak bisa dijerat dengan undang-undang tentang suap karena tidak sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi yang jelas-jelas delik dalam kedua produk hukum tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Otoritas hukum Indonesia menilai tindak pidana suap dalam sepakbola belum bisa dibawa ke ranah pidana karena tidak memenuhi unsur merugikan keuangan negara seperti dituliskan dalam undang-undang tentang tindak pidana korupsi, padahal sudah jelas di pasal 1 uu nomor 11 tahun 1980 “yang dimaksud dengan tindak pidana suap dalam undang-undang ini adalah tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada”, dan penjelasan pasal 1 adalah Tindak pidana suap yang diatur dalam undang-undang ini di luar ketentuan yang sudah diatur dalam:

  1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor2958);
  2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Maka sudah secara gamblang dipaparkan uu no 11 tahun 1980 bukan termasuk dalam tindak pidana suap untuk kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara, melainkan di luar semua itu. Ketentuan tersebut sekaligus menjelaskan bahwa KPK tidak punya kewenangan untuk menangani kasus ini jika tidak memenuhi subyek hukum penyelenggara negara dan unsur kerugian negara seperti dituliskan dalam pasal 11 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. ini sekaligus menanggapi desakan publik agar KPK ikut dilibatkan untuk menyelesaikan pengaturan skor. Selanjutnya, karena tindak pidana suap dalam match fixing merupakan pidana umum, maka yang punya kewenangan penuh adalah Kepolisian Republik Indonesia.

            Jika sudah demikian, seharusnya tidak ada alasan lain bagi siapapun yang berwenang menangani kasus ini untuk bisa sesegera mungkin menghidupkan kembali undang-undang tersebut dengan cara menggunakannya untuk memberikan jerat hukum bagi semua pihak yang berbuat untuk mempertanggungjawabkannya di depan hukum karena negara Indonesia sendiri juga menganut sistem negara hukum. Membiarkan pengaturan skor terlalu lama ada di sepakbola nasional maka sama saja mematikan potensi dan prestasi generasi penerus bangsa di cabang olahraga ini.

Dalam hukum, pencegahan tanpa penindakan, maka sama saja sebuah omong kosong yang pada akhirnya tidak akan menyelesaikan apa-apa, karena sanksi disiplin saja dari induk organisasi sepakbola itu hanya langkah pencegahan, diperlukan kehadiran hukum negara untuk melengkapi langkah penindakan suatu tindak pidana yang sedang terjadi. Semoga tulisan saya ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca khususnya pihak-pihak yang saat ini ikut terlibat secara aktif dan mempunyai kewenangan secara penuh untuk menuntaskan pengaturan skor demi sepakbola Indonesia yang lebih baik, karena kita semua termasuk saya, sebagai warga dan penikmat bola sudah sangat rindu dengan kemesraan dalam sebuah pertandingan bola yang mengkolaborasikan fair play, fanatisme, serta gol-gol kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun