Mohon tunggu...
Luthfi Zaennuri
Luthfi Zaennuri Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Karyawan Swasta , Freelancer, Wirausahawan. Hobi nulis / ngetik cerita disela waktu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Merah Putih One for All: Sebuah Simfoni Cinta Negeri Penuh Anomali

8 Agustus 2025   10:14 Diperbarui: 10 Agustus 2025   08:36 13974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film, Dok. Pribadi

Oleh: Warga Negara yang Sabar Luar Binasa

Disclaimer: Mohon maaf, tidak bermaksud mendiskreditkan pihak kreator (kreator profesional yang tidak terpakai). Hanya saja, tercium bau amis kelakuan pejabat tua bangka di balik layar, dengan sepak terjangnya yang absurd dan memuakkan.

Di tengah keterpurukan moral, krisis kepercayaan publik, dan inflasi yang lebih konsisten daripada janji kampanye, pemerintah kita kembali menghadirkan sebuah karya agung bertajuk "Merah Putih: One for All". Film animasi ini, konon katanya, adalah persembahan monumental dalam rangka memperingati 80 tahun kemerdekaan. Sebuah simfoni cinta negeri... yang sayangnya penuh anomali dari ujung kepala sampai font poster.

Mari kita tepuk tangan dulu. Bukan karena bangga, tapi karena heran, betapa gigihnya para birokrat seni kita dalam memaksakan narasi kebangsaan melalui media anak-anak, dibalut grafis setara tugas akhir jurusan desain tahun 2003 dan dialog sekelas sinetron stripping dini hari.

Tapi mari kita adil. Kami tidak pernah membenci tanah air Indonesia. Kami hidup rukun, bertetangga dengan senyum meski harga sembako naik tiap minggu. Kami menjunjung tinggi Pancasila, bahkan hafal urutan sila lebih baik dari pejabat yang cuma hafal pas momen upacara. Kami antre bayar pajak, mengisi e-formulir penuh CAPTCHA, dan menunggu giliran pelayanan publik sambil menggenggam tiket antrian seperti menggenggam nasib. Kami, rakyat, yang sabar luar binasa.

Namun entah kenapa, semakin kami tunduk pada peraturan, semakin kami diinjak dengan elegansi baru: lewat "mahakarya" penuh propaganda ini.

Skripnya? Oh, seperti ceramah wajib upacara yang diringkas pakai AI lalu ditambah emot patriotisme setengah matang.
Karakter? Rupa mereka seperti hasil kawin silang game anak-anak dan boneka berkarakter generik. Ada unsur “keberagaman” tentu, karena apa artinya film nasional jika tidak ada satu tokoh dari Papua dan satu lagi dari etnis random yang dipilih berdasarkan lempar dadu.
Dialog? Penuh slogan-slogan semu: "Kami kecil, tapi cinta kami besar" ya, betul, besar seperti markup anggaran produksi film ini.

Dan yang paling mengesankan: Dubbing. Setiap kalimat terdengar seperti hasil audisi mendadak di kantin kementerian. Dengan intonasi kaku dan artikulasi meragukan, anak-anak kita diajak untuk percaya bahwa cinta tanah air bisa tumbuh lewat kalimat tempelan dan gaya bicara seperti sedang menyanyikan mars koperasi.

Desain poster filmnya sendiri adalah penghinaan bagi mata. Desain visual yang seolah menjerit minta dimaafkan, kombinasi font dan komposisi warna yang bahkan Photoshop versi bajakan pun akan menolak menyimpannya. Tapi tenang, ini semua demi “cinta negeri”.

Indonesia pernah membanggakan dunia lewat karya animasi yang lahir dari cinta seni dan profesionalisme: Battle of Surabaya yang emosional dan menyayat hati, atau Jumbo yang hangat dan memikat. Keduanya lahir dari darah, keringat, dan air mata sineas yang mengerti bagaimana mengolah cerita menjadi kebanggaan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun