Mohon tunggu...
Luthfiyahlenny
Luthfiyahlenny Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Perbedaan Pendapat tentang Pemanfaatan Barang Gadai

17 Maret 2019   17:28 Diperbarui: 17 Maret 2019   18:02 1385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dari ibrahim berkata rasul SAW bersabda : semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Setelah kita lihat lahiriah dari hadist tersebut, maka pemanfaatan barang jaminan tetap tidak boleh walaupun ada izin pemiliknya. Hadis diataslah yang dipegang oleh sebagian besar ulama.

Pemanfaatan barang gadai oleh ar-rahin
Diantara para ulama terdapat beberapa pendapat. Jumhur ulama selain safi'iyah melarang ar rahin (orang yang menggadaikan) untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan, sedangkan ulama syafi'iyah membolehkan sejauh tidak memudzaratkan al murtahin (orang yang menerima gadai). Secara perinci uraianya sebagai berikut :

Menurut ulama hanafi berpendapat bahwa ar rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin al-murtahin begitu pula al murtahin tidak boleh memanfaatkanya tanpa seizin ar rahin. Mereka beralasan bahwa barang gadai harus tetap dikuasai oleh al murtahin selamanya. Pendapat ini saenada dengan pendapat ulama hanabila. Sebab manfaat pada barang gadai pada dasarnya termasuk rahn atau gadai.

Ulama syafi'iyah berpendapat ar rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin kepada al murtahin, seperti mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun ar rahin harus meminta izin ``kepada al murtahin.

umhur ulama selain hanabila berpendapat bahwa al murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, kecuali bila ar rahin tidak mau membiayai barang gadai tersebut. Dalam hal ini al murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar untuk mengambil ongkos pembiayaan. Ulama hanabila berpendapat bahwa al murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, jika berupa kendaraan atau hewan seperti seperti dibolehkan untuk mengendarainya atau mengambil susunya, sekedar pengambil pembiayaan. Lebih jauh pendapat para ulama tentang pemanfaatan barang gadai oleh al murtahin sebagai berikut :
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa al murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai, sebab ia hanya berhak menguasainya tidak boleh memanfaatkanya. Sebagian ulama hanafiyah ada yang membolehkan untuk memanfaatkanya jika diizinkan oleh ar rahin, tetapi sebagian lainya tidak membolehkanya sekalipun ada izin, bahkan mengatagorikanya sebagai riba. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan barang gadai hukumnya haram, sebab termasuk riba.

Ulama malikiyah membolehkan al murtahin memanfaatkan barang gadai, jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan barang gadai tersebut merupakan barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya dengan jelas. Demikian juga pendapat syafi'iyah.
Pendapat ulama hanabilah berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat jika barang gadai berupa hewan atau kendaraan, al murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya pemeliharaan meskipun tidak diizinkan ar rahin. Adapun barang gadai selain kendaraan atau hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin ar rahin.

Artinya : dari ibrahim berkata rasul SAW bersabda : semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Disamping perbedaan pendapat diatas, para ulama figh juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu oleh ar rahn. Ulama Hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan oleh al murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala hasil damn resiko barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkanya. Hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW. Yang diriwayatkan al hakim, albaihaqi, dan ibn hibban dari abu hurairah di atas. Oleh sebab itu kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang jaminan itu, haruslah mendapat izin dari pihak lainya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang memanfaatkanya harus bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Ulama syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama hanafiyah dan hanabila di atas, karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkanya al marhun, tidak perlu ada izin dari si pemegang al marhun. Alasanya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan barang miliknya. Akan tetapi, pemanfataan al marhun tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk hal itu. Hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW. Yang diriwayatkan al-bukhari, at-tirmidzi, dan abu daud dari abu hurairah di atas.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama malikiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al marhun, baik diizibkan oleh al marhun baik diizinkan oleh al murtahin maupun tidak, karena, barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak pemilik secara penuh.

Menurut fatih ad duraini kehati hatian para ulama fiqh dalam menetapkan hukum pemanfaatan al marhun, baik oleh ar rahin maupun oleh al murtahin bertujuan agar kedua belah pihak tidak di kategorikan sebagai pemakaian riba. Karena, hakikat ar rahn dalam islam adalah akadyang dilaksanakan tanpa imbalan jasa dan tujuanya sekedar tolong menolong. Oleh sebab itu, para ulama fiqh menyatakan bahwa apabila ketika berlangsungnya akad kedua belah pihak menatapkan syarat bahwa kedua belah pihak boleh memanfaatkan al marhun, maka akad ar rahn itu dianggap sah, karena hal ini dianggap bertentangan dengan tabiat akad ar rahn itu sendiri.

Ar rahn yang dikemukakan para ulama fiqh klasik hanya bersifat pribadi. Artinya, utang piutang itu hanya terjadi antara seseorang yang memiliki kelebihan harta. Di zaman, sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, ar rahn tidak saja berlaku antar pribadi, melainkan juga antara pribadi dengan lembaga lembaga keuangan, seperti bank. Untuk mendapat kredit dari lembaga keuangan, pihak bank juga menuntut barang jaminan yang boelh dipegang bank sebagai jaminan atas kredit itu. Barang jaminan ini, dalam istilah bank disebut juga personal guarantee. Personal guarantee ini sejalan dengan al marhun yang berlaku dalam akad ar rahn yang di bicarahkan para ulama klasik.

Perbedaanya hanya terletak pada pembayaran utang yang di tentukan oleh bank. Kredit di bank, biasanya dibayar sekaligus dengan bunga uang yang sudah ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu jumlah uang yang harus dibayar orang yang berhutang akan lebih besar dari uang yang dipinjam dari bank. Dengan demikian, menurut mustafa az-zarqa, persoalan utang bunga bank yang berlaku di bank yang mewajibkan adanya personal guarantee, terkait dengan penambahan utang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun