Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Monolog Tanpa Jawaban

22 Oktober 2019   14:40 Diperbarui: 22 Oktober 2019   19:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ini orangnya senang berpikir, apa saja aku pikirkan, mulai dari kehidupanku sehari-hari, gosip terbaru, sampai penciptaan langit dan bumi. Terdengar aneh memang, tapi bila dicoba, ternyata berpikir adalah sebuah kegiatan yang mengasyikkan dan pastinya bermanfaat. Biasanya aku berpikir saat aku sedang bosan, kupikir daripada aku tidak produktif lebih baik aku memikirkan sesuatu. Namun belakangan ini pikiranku sedang terganggu, jadinya aku tidak dapat berpikir dengan jernih saat sedang bosan. Ada apa gerangan? Ini semua adalah akibat dari perbincangan antara aku dengan temanku pada suatu malam yang sepi di Kota Yogya. Ia bilang kepadaku kalau ia sedang tidak bahagia, lalu kutanya mengapa. Dia kemudian mulai berpidato tentang bagaimana ia menyukai seorang perempuan, mendekatinya, berteman dengannya, sampai akhirnya ia membuat sebuah kesalahan.

Kurang lebih begini rekaan pidato dan perbicangannya, "Aku sedang suka dengan seorang perempuan. Zahra namanya, ia adalah perempuan yang sempurna bagiku. Mulai dari senyumnya, tatapan matanya, sikapnya, semuanya sempurna. Aku menyukainya sejak pertama melihatnya, namun awalnya aku takut-takut untuk berkenalan karena wajahnya nampak tidak bersahabat. Tetapi aku berhasil memantapkan hatiku dan tetap maju untuk berkenalan. Kau tahu? Ternyata sikapnya berbanding terbalik dengan wajahnya! 

Wajahnya yang tidak bersahabat itu menyembunyikan sikap yang hangat dan bersahabat. Setelah beberapa waktu berteman dengannya aku mulai memberanikan diri untuk bertukar pesan dengannya. Untungnya dia membalas pesanku, padahal aku sudah takut kalau pesanku tidak akan dibalasnya. Akhirnya kami bertukar pesan dan cerita selama beberapa waktu, selama bertukar pesan Zahra tampak antusias dan aku mulai memberanikan diri untuk mendekatinya lebih jauh. Namun...."

Temanku tampak terhenti di tengah pidatonya, kemudian kusambar saja, "Namun apa?"

Setelah aku sambar begitu, temanku agak tersentak. Kemudian melanjutkan pidatonya dengan nada bicara yang sedih, "Namun rupanya aku melakukan kesalahan, awalnya aku tidak menyadari kesalahan ini. Sampai suatu hari Zahra memintaku untuk bertemu di sebuah kedai kopi, kupikir Zahra meminta bertemu untuk membalas perasaanku, sehingga aku mengiyakan saja. Disinilah aku membuat kesalahan, ternyata tujuan Zahra meminta untuk bertemu denganku bukan untuk membalas perasaanku, tetapi untuk menceramahi diriku. 

Dia bilang bahwa aku terlalu kelewatan dan berterus terang mengejarnya. Hal ini menyebabkan teman-teman kelasku mulai menyindir-nyindir kami berdua, Zahra jelas ternganggu dengan hal tersebut. Kemudian dia melanjutkan bahwa ada perkataanku kepadanya - baik secara langsung maupun melaui pesan - yang menyakiti dirinya, dia bilang bahwa perkataanku ini sudah berhasil menghancurkan harga diri dan kepercayaan dirinya."

Temanku kembali terdiam di tengah pidatonya, namun kali ini matanya tampak berkaca-kaca. Baru aku membuka mulut, temanku kembali melanjutkan pidatonya dengan terbata-bata, "Aku jelas kaget, kukira selama ini aku dan Zahra baik-baik saja. Karena selama aku berteman dan bertukar pesan, tidak ada tanda-tanda Zahra tidak menyukaiku. Namun setelah Zahra menyampaikan perasaannya, aku jadi sadar betapa salah dan bodohnya aku. Mulai dari pendekatan ku yang kelewatan dan kata-kataku yang menyakitinya, sayangnya aku tidak menyadari aku melakukan hal itu. Tapi kini aku sudah sadar mengapa aku melakukan hal bodoh seperti itu, karena aku sudah merasa putus asa. 

Selama dua puluh tahun aku hidup aku belum pernah merasakan apa itu perhatian dan kasih sayang, aku juga ingin bahagia seperti orang lain...." Temanku tidak mampu untuk melanjutkan, dia sudah menangis tersedan-sedan. Melihat dia menangis seperti itu, aku langsung menepuk pundaknya dan berkata, "Aku paham kok, memang sudah alamiahnya manusia untuk mencari kebahagiaan." Mendengar perkataanku ini, temanku mengangguk dan tersenyum pahit. Setelah dia agak tenang, aku kemudian menyuruhnya untuk berwudhu dan beristirahat. "Paling tidak itu bisa menenangkan pikiranmu," begitu kataku.

Setelah menambahkan beberapa kata yang bersifat menenangkan,  aku pamit untuk pulang. Nah, disinilah pikiranku mulai terganggu, di sepanjang perjalanan aku terus memikirkan tentang pembicaraan yang baru saja terjadi. Tidak biasanya aku memikirkan sesuatu secara terus-menerus. Masalahnya aku sudah lama mengenal temanku ini - semenjak SMP. Jadi aku bisa paham bagaimana keadaan temanku ini masa lalunya, temanku ini termasuk orang-orang yang kurang begitu diperhatikan oleh orang tuanya yang egois. 

Akibatnya, temanku tidak mendapatkan kasih sayang dan kehangatan dari orang tuanya. Akhirnya temanku ini mencari kehangatan dari orang lain, namun dalam proses mendekati orang lain tersebut dia malah menyakiti orang yang ingin didekatinya. Karena aku orangnya intelek, aku melihat bahwa ini adalah sebuah siklus, dimana kita (manusia) berusaha mencari kehangatan, namun dalam usaha mencari kehangatan tersebut, kita malah menyakiti satu sama lain.

Selama di perjalanan, sebuah pertanyaan terus berputar di kepalaku, apakah manusia akan tetap terus menyakiti dan tersakiti selama mereka hidup? Saking penasarannya, sesampainya di rumah aku langsung berlari kamar -- tanpa melepas kaus kakiku - kemudian membuka semua buku-buku tentang psikologi dan sosiologi di perpustakaan kecilku. 

Berjam-jam aku habiskan membaca secara sekilas, semua buku dari penulis terkenal, mulai dari Charles H. Cooley, Karl Marx, Max Weber, dan lain-lain. Namun buku-buku mereka - menurutku - tidak memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaanku ini. Hingga akhirnya saat aku akan menyerah, aku menemukan buku karangan Scopenhauer, judulnya adalah, "Parerga and Paralipomena Vol.2" aku ingat pernah membaca buku ini dan mendiskusikannya dengan guruku - walau aku lupa apa isinya.  

Setelah membaca selama beberapa waktu, akhirnya aku sampai pada halaman 659. Disitu tertulis begini, "Alkisah di suatu musim dingin, ada sekelompok landak yang saling berdekatan untuk mencari kehangatan. Namun karena terlalu dekat, duri mereka yang tajam menusuk dan menyakiti satu sama lain. Sebagai reaksi dari rasa sakit ini, landak-landak ini menjauhi satu sama lainnya. Tetapi setelah menjauh landak-landak ini malah merasa kedinginan, akhirnya landak-landak ini mendekat kembali untuk mencari kehangatan. Namun saat mereka kembali mendekat, landak-landak ini malah kembali tersakiti dan menyakiti satu sama lain. Proses mendekat dan menjauh ini terjadi terus-menerus sampai mereka menemukan jarak yang tepat."

Setelah membaca bagian ini, aku terdiam selama beberapa saat dan tanpa sadar berteriak, "Ah! Itu dia!" Karena aku sudah ingat kembali apa yang aku diskusikan dengan guru SMA-ku. Beliau bilang kalau landak-landak ini dapat dipahami sebagai interaksi manusia dan kehangatan dapat dipahami sebagai afeksi yang diberikan manusia. Menurutnya, manusia tidak bisa terlalu dekat dengan manusia lainnya. 

Karena duri-duri yang kita miliki akan menyakiti orang lain dan pada gilirannya duri-duri orang lain akan berbalik menyakiti kita. Biasanya manusia sadar bahwa dirinya telah menyakiti dan disakiti, tetapi disaat yang sama manusia juga membutuhkan kehangatan dari orang lain. Padahal kita paham betul bahwa jika kita mendekat maka kita akan kembali menyakiti dan tersakiti. Proses mendekat dan menjauh yang berulang-ulang ini pada akhirnya akan menemukan titik ekuilibrium, yaitu jarak yang tepat di antara individu-individu.

Kemudian guruku menambahkan, jika sebenarnya afeksi ini bagaikan pedang bermata dua. Ia adalah suatu kebutuhan hidup - layaknya kebutuhan untuk makan dan minum - tetapi di sisi lain malah menusuk diri kita sendiri. Hal ini menyebabkan beberapa orang merasa bahwa lebih baik untuk menjauhkan dirinya dari orang lain dan menolak orang lain. Ini merupakan sebuah mekanisme pertahanan instingtual manusia untuk mencegah dirinya agar tidak tersakiti. Padahal - lanjut guruku - tidak perlu menutup diri, itulah kenyataannya. Seharusnya jika kita merasa tersakiti, kita mesti sadar diri dan instropeksi. Kalau kita tidak bisa instropeksi, untuk apa Tuhan memberikan akal?

Tanpa kusadari aku sudah terlelap di antara buku-buku di kamarku. Aku terbangun keesokan harinya dengan perasaan campur-aduk, antara senang, sedih, dan marah. Aku senang karena rasa penasaranku bisa terjawab, sedih karena aku bisa memahami rasa sakit yang dirasakan oleh temanku, dan marah karena aku merasa tidak terima manusia akan menyakiti dirinya dan manusia lain di sepanjang hidupnya. Perasaan campur-aduk ini terus terbawa hingga hari ini dan mengganggu pikiranku, mungkin karena pertanyaan seperti ini tidak akan bisa ditemukan jawabannya terkecuali oleh temanku sendiri dan Tuhan.

Dikarang oleh, Luthfi Ferdi S.

Pada, 21 Oktober 2019.

Pukul, 20.30

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun