Tulisan ke 3, membangun pinggiran
Wilayah perbatasan, sebagai garda terdepan kedaulatan negara, memiliki peran strategis yang tidak dapat diabaikan dalam narasi pembangunan nasional Indonesia. Selama bertahun-tahun, pembangunan di wilayah perbatasan seringkali didominasi oleh paradigma keamanan dan pertahanan, dengan fokus pada penegakan kedaulatan fisik dan minimnya perhatian terhadap dimensi sosial-ekonomi masyarakat yang mendiaminya. Pendekatan ini, meskipun penting, seringkali mengabaikan potensi besar yang dimiliki wilayah perbatasan sebagai episentrum interaksi ekonomi, budaya, dan sosial dengan negara tetangga. Kajian teoritik pembangunan wilayah perbatasan di berbagai negara, seperti yang dilakukan oleh Prescott (1987) dan Rumley (2002), menunjukkan bahwa wilayah perbatasan yang terabaikan rentan terhadap berbagai ancaman, mulai dari penyelundupan, peredaran narkoba, hingga migrasi ilegal, yang pada akhirnya dapat mengikis kedaulatan negara. Sebaliknya, wilayah perbatasan yang dikembangkan secara terintegrasi dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dapat bertransformasi menjadi simpul pertumbuhan ekonomi yang kuat, mempererat hubungan bilateral, dan menjadi representasi wajah Indonesia yang modern dan berdaya saing di mata dunia.
Perkembangan pembangunan perbatasan di Indonesia, meskipun telah menunjukkan perbaikan signifikan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui pembangunan infrastruktur dasar dan revitalisasi Pos Lintas Batas Negara (PLBN), masih menghadapi tantangan fundamental dalam hal reorientasi. Banyak wilayah perbatasan masih terjebak dalam narasi pembangunan yang parsial dan reaktif, lebih fokus pada penanganan masalah daripada pencegahan dan pengembangan potensi. Secara praktis, fakta menunjukkan bahwa meskipun PLBN telah dibangun megah, aktivitas ekonomi di sekitarnya belum sepenuhnya terintegrasi dengan potensi lokal. Keterbatasan akses terhadap pasar yang lebih luas, rendahnya kualitas sumber daya manusia lokal, serta minimnya dukungan terhadap produk-produk unggulan daerah perbatasan menjadi kendala utama. Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian di wilayah perbatasan negara-negara lain yang menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya berfokus pada infrastruktur fisik tanpa disertai pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kapasitas masyarakat akan menghasilkan pembangunan yang rapuh dan rentan terhadap pengaruh luar (Dijkstra & Van der Veen, 2012).
Reorientasi pembangunan wilayah perbatasan menuntut pergeseran paradigma dari pendekatan keamanan semata menjadi pendekatan pembangunan yang holistik, terintegrasi, dan berpusat pada masyarakat. Ini berarti bahwa selain memperkuat pertahanan dan keamanan, negara juga harus secara serius berinvestasi pada pengembangan ekonomi lokal, peningkatan kualitas layanan publik (pendidikan, kesehatan), serta penguatan identitas budaya masyarakat perbatasan. Negara-negara yang berhasil dalam mengelola wilayah perbatasannya, seperti Singapura yang memanfaatkan lokasinya sebagai pusat logistik dan perdagangan, atau beberapa wilayah perbatasan di Eropa yang menjadi pusat pariwisata dan ekonomi kreatif, menunjukkan bahwa wilayah perbatasan dapat menjadi aset strategis yang mendatangkan keuntungan ekonomi dan sosial yang signifikan (Ederer & Leitinger, 2014). Indonesia perlu belajar dari best practices ini dan mengadaptasinya dengan konteks lokal yang unik, memanfaatkan potensi geografis dan sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap wilayah perbatasan.
Mengintegrasikan program prioritas pembangunan nasional dengan kebutuhan spesifik wilayah perbatasan adalah kunci utama dalam reorientasi ini. Jika kepemimpinan nasional yang baru, di bawah Presiden Prabowo Subianto, memiliki visi untuk memperkuat kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, maka wilayah perbatasan harus menjadi salah satu prioritas utama dalam implementasi visi tersebut. Program-program seperti penguatan ketahanan pangan, peningkatan kualitas kesehatan, serta penciptaan lapangan kerja harus dirancang dengan fokus yang tajam pada wilayah perbatasan. Misalnya, program ketahanan pangan dapat diarahkan untuk mengembangkan pertanian dan peternakan yang berorientasi ekspor ke negara tetangga, dengan dukungan teknologi pertanian modern dan akses pasar yang difasilitasi oleh pemerintah. Peningkatan kualitas kesehatan di perbatasan dapat diwujudkan melalui pembangunan fasilitas kesehatan yang memadai, penyediaan tenaga medis yang profesional, serta program-program kesehatan preventif yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, wilayah perbatasan harus diberdayakan sebagai pusat perdagangan dan jasa, bukan hanya sebagai titik transit, dengan mendorong pengembangan UMKM lokal dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Untuk mewujudkan reorientasi ini, penguatan kembali perangkat kebijakan pembangunan wilayah perbatasan menjadi krusial. Pemerintah perlu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi, yang mencakup aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan lingkungan. Ini berarti perlunya penguatan koordinasi antarlembaga pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, serta pelibatan aktif masyarakat lokal dan sektor swasta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembentukan badan koordinasi khusus untuk pembangunan perbatasan dengan mandat yang jelas dan sumber daya yang memadai, atau revitalisasi peran Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dengan kewenangan yang lebih luas, dapat menjadi solusi. Kebijakan yang dirancang harus bersifat jangka panjang, berkelanjutan, dan adaptif terhadap dinamika regional serta global. Selain itu, perlu ada penegasan kembali komitmen politik untuk mengalokasikan anggaran yang memadai bagi pembangunan perbatasan, serta memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap program yang dijalankan. Dengan demikian, wilayah perbatasan tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai aset strategis yang mampu memperkuat kedaulatan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, sejalan dengan prinsip border integration yang banyak dikaji dalam studi pembangunan perbatasan internasional (Poliakoff & Stavenhagen, 2007).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI