Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PENDEKATAN BENTUK LAHAN VOLKANIK dalam PERENCANAAN WILAYAH MEGA REGION YOGYAKARTA

22 Juni 2025   22:28 Diperbarui: 22 Juni 2025   22:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/ytVz8AU5PQEUS14i6

Tulisan ini disusun untuk pengembangan penjelasan bentang Merapi dalam Pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 1, Fakultas Geografi UGM Thun 2025 yang berlangsung 22-26 Juni 2025. Aplikasi bentang lahan (lansdcape) Merapi sangat menarik untuk dijadikan dasar dalam pembentukan fondasi dan menegakkan pilar pengembangan wilayah. Berikut ulasan kedua.

 Wilayah Yogyakarta, Sleman, dan Bantul (saya sebut sebagai MEGA REGION Yogyakarta) merupakan bentang alam yang unik, didominasi oleh kerangka geomorfologis yang dibentuk oleh aktivitas vulkanik Gunung Merapi. Sebagai seorang perencana wilayah dengan dukungan pemahaman geomorfologi, saya melihat bagaimana pemahaman mendalam tentang bentuk lahan vulkanik, sebagaimana ciri khasnya dalam kajian H. Th. Verstappen, menjadi kunci fundamental dalam merumuskan strategi pengembangan wilayah yang berkelanjutan dan adaptif terhadap dinamika alamnya. Gunung Merapi, sebagai episentrum geomorfologis regional, tidak hanya membentuk topografi, tetapi juga memengaruhi pola hidrologi, jenis tanah, sebaran vegetasi, serta kerentanan terhadap bencana alam. Oleh karena itu, mengintegrasikan prinsip-prinsip analisis bentuk lahan vulkanik dalam setiap aspek perencanaan pengembangan wilayah ini adalah sebuah keniscayaan demi mewujudkan pembangunan yang harmonis dengan lingkungan dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat jangka panjang.

Konsep bentuk lahan vulkanik, yang dikaji secara mendalam oleh para geomorfolog termasuk Verstappen, merujuk pada fitur-fitur topografi yang terbentuk dari aktivitas magmatik dan erupsi gunung api. Dalam konteks Yogyakarta, Mega-Region Jogja raya ini dibentuk oleh keberadaan Gunung Merapi, sebuah stratovulcano aktif yang kompleks. Verstappen, dalam berbagai kajiannya mengenai geomorfologi tropis Indonesia, mengklasifikasikan lanskap vulkanik sebagai unit geomorfik yang dibedakan oleh kerucut vulkanik (misalnya Gunung Merapi itu sendiri), lereng-lereng vulkanik yang curam hingga landai, kaki gunung (foot slopes), dataran vulkanik atau kipas aluvial (alluvial fans) yang terbentuk dari akumulasi material hasil erupsi (lahar), serta lembah-lembah yang terkikis oleh aliran sungai yang berasal dari puncak gunung (Verstappen, 1975). Karakteristik utama lanskap vulkanik mencakup kontur yang bergelombang, kemiringan lereng yang bervariasi dari landai di kaki gunung hingga sangat curam di sekitar kawah, keberadaan material vulkanik seperti abu, lapili, dan batuan beku (andesit, basalt) yang memengaruhi jenis tanah, serta sistem drainase radial yang mengalir dari pusat vulkanik. Pemahaman akan proses-proses seperti aliran lahar, awan panas, jatuhan piroklastik, dan erosi yang membentuk kipas aluvial ini sangat krusial dalam perencanaan wilayah.

Mega-Region Yogyakarta yang berada di sekitar Gunung Merapi memiliki potensi pembangunan yang luar biasa, namun juga dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan inheren dengan sifat vulkanik wilayahnya. Potensi utamanya meliputi kesuburan tanah vulkanik yang sangat mendukung sektor pertanian, khususnya hortikultura (misalnya, tanaman sayur-mayur dan buah-buahan di lereng Merapi utara), serta potensi pariwisata alam dan petualangan yang berbasiskan keunikan lanskap vulkanik, termasuk aktivitas pendakian, wisata alam, dan edukasi geologi. Keberadaan sumber air bersih yang berasal dari mata air di lereng gunung juga menjadi potensi penting bagi pasokan air. Namun, permasalahan utamanya adalah tingginya kerentanan terhadap bencana alam terkait aktivitas vulkanik. Gunung Merapi, yang dikenal sebagai salah satu gunung api paling aktif dan berbahaya di Indonesia, secara rutin memuntahkan awan panas (wedhus gembel), aliran lahar dingin, dan abu vulkanik yang dapat memporak-porandakan permukiman, lahan pertanian, infrastruktur, serta mengganggu aktivitas ekonomi dan kesehatan masyarakat. Kabupaten Sleman dan sebagian Kabupaten Bantul, yang berada di zona aliran lahar Merapi, seringkali menjadi garda terdepan terdampak bencana ini, seperti yang terjadi pada erupsi besar tahun 2010 (Surono, 2010). Perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol di zona rawan bencana, serta kepadatan permukiman di kaki gunung, semakin memperparah risiko dan kerugian saat erupsi terjadi.

Peran dan kontribusi pendekatan analisis bentuk lahan vulkanik, yang berakar pada kajian Verstappen, menjadi sangat vital dalam menemukan potensi dan mengidentifikasi permasalahan di Mega-Region Yogyakarta. Dengan memetakan unit-unit geomorfik berdasarkan karakteristik vulkaniknya, kita dapat mengidentifikasi zona-zona yang memiliki tingkat kesuburan tanah tinggi untuk pengembangan pertanian terpadu atau agrowisata, seperti di lereng utara Merapi yang kaya material vulkanik segar. Sebaliknya, analisis bentuk lahan, termasuk kemiringan lereng, jenis material vulkanik, dan pola aliran, memungkinkan pemetaan zona-zona rawan terdampak aliran lahar dan awan panas secara lebih rinci. Verstappen menekankan identifikasi zona-zona yang rentan terhadap proses geomorfologis tertentu (Verstappen, 1975), yang dalam konteks Merapi berarti pemetaan zona bahaya lahar dingin dan awan panas. Hal ini dapat dilakukan dengan analisis SIG yang mendalam terhadap DEM, mengidentifikasi lembah-lembah yang berfungsi sebagai jalur lahar, serta area akumulasi sedimen. Selain itu, pemahaman terhadap bentuk lahan juga membantu dalam identifikasi potensi sumber daya air bersih yang berasal dari mata air di lereng gunung, serta potensi pariwisata berbasis edukasi geologi dan geomorfologi. Dengan demikian, analisis bentuk lahan vulkanik berfungsi sebagai alat diagnostik yang kuat, membedakan antara area yang aman dan berisiko, serta area yang memiliki potensi ekonomi dan ekologi yang spesifik.

Implementasi teori dan konsep bentuk lahan vulkanik dalam penentuan perencanaan pengembangan wilayah di Mega-Region Yogyakarta memerlukan strategi yang terintegrasi dan adaptif. Pertama, dalam zonasi penggunaan lahan, area dengan kerentanan tinggi terhadap bencana vulkanik (misalnya, zona jalur lahar dan daerah dengan kemiringan curam yang rentan longsor) harus ditetapkan sebagai zona lindung atau zona terbatas pembangunan, dengan fokus pada konservasi, reboisasi, dan pengembangan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai mitigasi bencana. Pembangunan permukiman dan infrastruktur vital sebaiknya diarahkan ke zona yang lebih aman di kaki gunung atau dataran yang lebih stabil, sebagaimana prinsip kehati-hatian dalam perencanaan wilayah yang dianjurkan dalam geomorfologi terapan (Verstappen, 1983). Kedua, potensi pertanian di lahan vulkanik yang subur harus dikembangkan secara berkelanjutan dengan menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kemiringan lereng, serta mendorong pertanian organik yang memanfaatkan kesuburan tanah tanpa merusak lingkungan (misalnya, pengembangan kawasan agrowisata di lereng Merapi). Ketiga, potensi pariwisata berbasis geologi dan geomorfologi perlu dikembangkan secara terencana, tidak hanya sebagai atraksi wisata, tetapi juga sebagai media edukasi publik mengenai dinamika Gunung Merapi dan upaya mitigasi bencana. Pembangunan destinasi wisata seperti museum vulkanologi, jalur edukasi alam, atau pusat informasi bencana harus terintegrasi dengan sistem peringatan dini dan jalur evakuasi yang jelas. Keempat, perencanaan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, harus mempertimbangkan dinamika aliran lahar dan potensi erosi, serta memastikan bahwa infrastruktur pendukung mitigasi bencana (seperti sabodam atau check dam) terintegrasi secara efektif dengan sistem drainase alami. 

Kesimpulan kebijakan yang harus diambil adalah perlunya revitalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Mega-Region Yogyakarta dengan basis data geomorfologi yang kuat, yang secara eksplisit memetakan zona bahaya dan zona potensi berdasarkan analisis bentuk lahan vulkanik Merapi yang rinci, serta mengintegrasikan strategi mitigasi bencana dan pengembangan ekonomi hijau yang selaras dengan karakter alamiah wilayah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun