Pola belanja Lebaran kelas menengah Indonesia selalu menjadi fenomena unik, menggabungkan tradisi, kebutuhan sosial, dan dinamika ekonomi. Sebelum pandemi, survei Bank Indonesia (2020) mencatat 65% keluarga menengah mengalokasikan 30-40% dari anggaran Lebaran untuk mudik, mencerminkan kuatnya budaya pulang kampung. Namun, memasuki 2025, pola ini diprediksi mengalami distorsi signifikan akibat tekanan inflasi dan stagnasi pendapatan. Kenaikan biaya transportasi udara sebesar 25% sejak 2023 (Kemenhub, 2024) memaksa banyak keluarga beralih ke moda darat atau bahkan membatalkan mudik---langkah yang dianggap "tabu" secara kultural. Padahal, tradisi ini tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga menjadi stimulus ekonomi regional, menyumbang Rp120 triliun terhadap PDB sektor logistik dan UMKM selama periode Lebaran (Kadin, 2023).
Di sektor pangan, pola belanja kelas menengah menunjukkan pergeseran dari kemewahan menuju pragmatisme. Jika pada 2019, 45% keluarga menengah membeli daging impor premium untuk hidangan Lebaran (BPS, 2019), survei terbaru Litbang Kompas (April 2024) mengungkap 60% responden kini memilih daging lokal atau ayam sebagai substitusi, menyusutkan anggaran pangan dari Rp8 juta menjadi Rp5 juta per keluarga. Tekanan ini diperburuk oleh kenaikan harga gula pasir sebesar 22% sejak pencabutan subsidi pada 2023 (Kementan, 2024), yang memaksa banyak ibu rumah tangga mengurangi volume kue kering atau beralih ke kemasan lebih kecil. Fenomena "shrinkflation" ini mulai marak di pasar ritel, di mana produk tetap dijual dengan harga sama tetapi ukuran berkurang 10-15% (YCP Indonesia, 2024).
Pakaian baru, sebagai simbol status sosial selama Lebaran, juga tak luput dari penyesuaian. Meski 80% keluarga menengah tetap menganggapnya wajib (Survei Indikator Politik, 2024), mereka kini lebih memilih belanja online dengan memanfaatkan diskon e-commerce atau membeli baju bekas berkualitas (thrift shopping). Platform seperti Shopee melaporkan kenaikan 35% penjualan pakaian muslim kelas menengah bawah (harga Rp100.000--Rp300.000) pada kuartal I-2024, sementara permintaan untuk merek premium seperti Zara atau H&M stagnan (Laporan Tahunan Shopee, 2024). Perilaku ini sejalan dengan temuan McKinsey (2023) bahwa 55% konsumen kelas menengah Asia Tenggara kini mengutamakan "value for money" ketimbang merek dalam keputusan belanja.
Yang patut dicermati adalah lonjakan ketergantungan pada pembiayaan digital. Data OJK (2024) menunjukkan penggunaan pinjaman online (pinjol) untuk kebutuhan Lebaran meningkat 40% sejak 2022, dengan rata-rata tenor 3-6 bulan. Sayangnya, 30% peminjam masuk dalam kategori "berisiko gagal bayar" karena menggadaikan gaji 2-3 bulan ke depan hanya untuk memenuhi tradisi. Di sisi lain, tren belanja cicilan (paylater) untuk peralatan elektronik---biasanya dibeli sebagai hadiah Lebaran---anjlok 15% seiring kenaikan suku bunga (Bank Indonesia, 2024). Ini menunjukkan kelas menengah terjepit antara keinginan mempertahankan gaya hidup dan realita kemampuan finansial.
Pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan pola belanja ini untuk merancang intervensi tepat. Pertama, optimalisasi pasar murah Lebaran berbasis digital. Kemitraan antara platform e-commerce dengan UMKM lokal, misalnya, dapat difasilitasi melalui subsidi ongkos kirim atau pajak transaksi. Kedua, kampanye finansial literasi berbasis budaya, mengedukasi masyarakat tentang prioritas belanja dan manajemen utang selama Ramadan, menggunakan kanal media sosial maupun majelis taklim. Ketiga, insentif fiskal bagi produsen pangan lokal untuk menekan ketergantungan impor. Contohnya, pengurangan PPN bagi peternak sapi lokal atau koperasi gula rakyat, yang bisa menurunkan harga jual 10-15% (LPEM UI, 2023).
Pola belanja Lebaran kelas menengah adalah cermin paradoks pembangunan Indonesia: di satu sisi, mereka menjadi motor konsumsi yang mendorong pertumbuhan 5,1% pada 2024 (BPS, 2024); di sisi lain, mereka adalah korban pertama ketidakstabilan kebijakan dan gejolak global. Jika pemerintah gagal membaca sinyal perubahan pola konsumsi ini, bukan hanya tradisi Lebaran yang terancam, melainkan juga stabilitas ekonomi makro yang bertumpu pada daya beli 52 juta orang ini. Momentum 2025 harus menjadi titik balik: dari kebijakan reaktif menuju transformasi sistemik, agar Lebaran tak sekadar jadi ritual belanja, tetapi bukti keberpihakan pada keadilan ekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI