Mohon tunggu...
luthfi hafizh rizqullah
luthfi hafizh rizqullah Mohon Tunggu... pemuda

Perkenalkan, aku adalah penyair yang terbuang — tumbuh dari luka-luka yang lebih dalam dari parut nadi. Tulisanku bukanlah bait cinta yang lembut bersahaja, ia berdetak dalam irama yang keras menggemakan sumpah. Ini bukan sekadar puisi, bukan narasi romansa, namun mantra yang lahir dari kumpulan derita. Dalam tinta hitam, aku melakar saksi kesakitan, namun berhati-hatilah pada mereka yang berdusta, sebab puisiku akan berubah menjadi celaka. Perkenalkan, aku adalah penyair yang tak dirindu. Dari duka aku menempa cinta yang pilu. Dalam tiap baitku, tersimpan dendam, doa, dan arah — di sanalah letak magis tulisanku yang liar dan megah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dendam Si Ijang Kecil

12 Agustus 2025   02:32 Diperbarui: 12 Agustus 2025   02:32 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Ijang, dan usiaku sembilan tahun.

Rumahku berada di ujung jalan Sukahaji, dekat warung kopi Mang Darsa yang selalu ramai ketika sore hari. Dari jendela kamar, aku bisa melihat lapangan kosong tempat aku dan kawan-kawanku bermain kelereng, layangan, atau sekadar berlari-lari sampai matahari berpulang ke peraduannya.

Kemarin saat kami pulang dari sekolah, terdengar suara besar seperti guntur yang menghantam bumi. "Anying! Suara naon eta?!" Tanyaku. Sebab langit siang itu sangat cerah. "Asa moal mungkin bagoy ari suara guludug mah!" sambungku. Seraya mempercepat langkah kaki disusul kawan-kawanku.

Mataku melihat sebuah alat besar berwarna kuning tepat di depan rumahku berkawalkan polisi dan preman disaksikan warga yang entah harus berbuat apa saat mesin itu mencabik tanah, merobohkan rumahku dan menggusur setiap bangunan yang berada di depannya seperti raksasa yang lapar. Batu, debu, dan besi berterbangan. Warung kopi Mang Darsa roboh, dan lapangan bermain kami juga sudah rata lebih dulu di bawah tumpukan puing.

Aku mencari toples kelerengku---salah satu hal paling berharga buatku---tapi sudah tak ada. Aku hanya menemukan  satu kelereng warna biru tergeletak di tanah. Aku menggenggamnya erat-erat seakan kelereng itu satu-satunya cara agar aku tak lupa rumahku.

Malam itu, kami semua terjaga di pengungsian bersama banyak keluarga lain. Suara isak tangis dan ragam sumpah serapah bercampur menciptakan musik paling sumbang. Emak bilang, besok kita harus pindah jauh. Katanya, tanah ini sudah bukan milik kita lagi. Aku tidak mengerti sebab bagaimana mungkin tanah yang sejak aku lahir jadi tempatku bermain tiba-tiba bukan milikku?

Abah terdiam dan matanya memerah. Mereka pikir aku sudah tidur, tapi aku mendengar segalanya. "Nya entos teu aya pilihan," kata abah. "Maranehna jalmi kuat, arurang mah teu tiasa ngalawan." Aku menggenggam kelereng biru itu erat-erat. Aku tidak setuju! Mungkin aku tidak tahu caranya sekarang, tapi aku berjanji---sampai kapanpun, aku akan membuat mereka membayar semua ini. Mesin-mesin itu, orang-orang yang mengirimnya, dan semua yang merampas rumah kita. Kelereng ini akan jadi pengingat. Jika aku sudah besar nanti, aku akan kembali. Namun bukan untuk bermain, tapi untuk merebut semuanya kembali dan mengirim mereka ke neraka!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun