Dari keempat aspek tersebut, aspek dimensi akses dan dimensi budaya yang banyak memengaruhi rendahnya literasi membaca penduduk. Dimensi akses dapat kita lihat bersama dimana akses terhadap buku belum sepenuhnya merata. Di kota sudah terbantu dengan adanya toko buku, taman bacaan, perpustakaan sekolah, dan perpustakaan umum. Sementara itu, di desa atau di pelosok masih minim akses untuk membaca.
Dari uraian di atas kita dapat membandingkan dan menyimpulkan bahwa penyebaran virus corona dan virus membaca. Virus corona dalam waktu dua bulan lebih telah menjadi ancaman serius berbagai negara termasuk Indonesia. Terus bertambahnya jumlah korban telah membuat panik dan takut hingga penduduk Indonesia jauh-jauh hari telah memborong masker dan handsanitaizer. Dampaknya pun cukup meluas ke berbagai sektor, seperti pendidikan, ekonomi, bisnis, wisata dan lain-lain.
Virus membaca yang telah lama disebarkan -- mulai dari pemerintahan presiden pertama sampai sekarang - masih menemui tantangan besar. Pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat masih perlu menjawab pernyataan UNESCO dan hasil survey PISA. Pernyataan UNESCO yang menunjukkan dari seribu penduduk Indonesia hanya satu yang rajin membaca dan survey PISA tahun 2018 tentang kemampuan membaca yang menunjukkan Indonesia berada pada urutan ke tujuh dari bawah dari tujuh puluh delapan negara tidaklah membuat panik atau takut banyak kalangan.Â
Kita tidak buru-buru pergi ke toko, perpustakaan, dan taman bacaan untuk membeli masker yang berupa buku, majalah, koran dan sumber bacaan lainnya untuk menanggulangi kejadian ini. Seolah hal menjadi jamak di masyarakat Indonesia. Padahal virus corona dapat kita tanggulangi dengan literasi, mulai dari membaca, kemudian menganalisis, menyintesis, mengevaluasi sampai pada tahap pengambilan keputusan untuk menanggulangi virus corona.