Mohon tunggu...
Lutfi Syarqawi
Lutfi Syarqawi Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial-Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cak Imin dan Politik Kebangsaan

7 Mei 2018   16:45 Diperbarui: 7 Mei 2018   16:57 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena politik pada beberapa bulan terakhir ini sudah mulai memanas. Tiap kelompok sudah saling sindir dan saling serang dengan taktik dan strateginya masing-masing. Namun pola yang dilakukan masih merupakan cara-cara lama yang mengabaikan sama sekali etika politik. Chauvinisme masih menggejala dan politik saling tendang dan saling tebang seolah telah menjadi tradisi politik yang membanggakan setidaknya bagi para pelakunya.

Akibatnya, masyarakat yang nota bene buta akan politik menjadi ikut arus kepentingan para elit penguasa atau calon penguasa sehingga mudah diprovokasi dan diadu domba. Bahkan yang lebih menyeramkan adalah ada sebagain kelompok yang membawa-bawa agama, etnis dan ras dalam kampaye politik mereka. Menyeramkan karena perbedaan agama, etnik dan ras ini, jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantakkan bangunan kebangsaan yang sudah dirawat selama ini.

Dalam kondisi itu, kita melihat suatu ironi, negara dengan mayoritas pemeluknya beragama Islam namun prilaku politik yang dipertontonkan sangat nir-etika dan menghalalkan segala cara yang dilarang oleh agama itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari realitas yang ada terutama di medsos di mana fitnah dan kebencian menjadi hidangan sehari-hari. Masyarakat diajak untuk saling membenci dan bermusuhan karena hal yang sifatnya sementara dan tidak pasti yaitu; politik. Padahal kita tahu Islam itu mengajarkan rahmat bukan laknat, menyuruh mencintai bukan membenci.

Semestinya para elit masyarakat/partai, terutama partai yang berasaskan Islam, mengedepankan etika dalam berpolitik sehingga menjadi contoh bagi umat lain. Politik yang disuarakan pun harus politik yang mendinginkan serta berwawasan kebangsaan (politik kebangsaan). 

Negara ini bukan negara agama tapi negara-bangsa (Nation-State). Politik kebangsaan dipahami sebagai upaya sadar hukum dan ikhtiar mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia tanpa melihat latar belakang agama dan etnik-budayanya. Politik kebangsaan, dengan demikian, adalah pengakuan akan keragaman/kemajmukan masyarakat serta upaya untuk memakmurkan setiap lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Kemajmukan ini merupakan keuntungan di satu sisi karena merupakan modal yang kuat untuk membangun bangsa secara bersama-sama tapi juga merupakan ancaman disisi lain jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan maraknya ujaran kebencian yang mengarah pada agama, etnis dan ras seseorang/kelompok saat ini. Kelompok yang tidak sepaham dianggap "kafir" secara agama, politik maupun sosial sehingga layak dibenci dan dimusuhi.

Agama dianggap sama dengan politik dan politik dianggap sama dengan agama. Padahal keduanya berbeda meski tidak dapat dipisahkan. Agama perlu untuk menjaga moral/prilaku seseorang agar tidak terjerumus dalam kesesatan sedangkan politik penting untuk menaungi nilai-nilai atau moralitas agama agar tidak disalahgunakan atau menyimpang dari kemaslahatan umum. Jadi, politik atau lebih tepatnya system politik dalam suatu negara wajib menjadi pelindung bagi semua pemeluk agama. Dan tujuan politik sepenuhnya merupakan bagian dari tujuan agama, bukan sebaliknya agama diselewengkan menjadi tujuan politik pragmatis.

Dalam konteks Indonesia, hubungan agama dan negara ini dianggap sudah selesai dengan diterimanya Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar dari berdirinya NKRI. Artinya, semua orentasi politik seharusnya ditujukan untuk merawat dan menjaga keindonesiaan. Setiap agenda politik yang bertentangan konstitusi yang ada patut dicurigai sebagai "perampok" yang siap menawan dan membunuh mangsanya.

Politik kebangsaan ini sudah sering dilupakan oleh kebanyakan politisi saat ini. Meski tidak semua tapi sedikit di antara mereka yang sering menyuarakan dan mempraktekkannya. Di antara tokoh yang sedikit dan sering menyuarakan politik kebangsaan ini adalah Muhamin Iskandar atau lebih dikenal dengan Cak Imin. Cak Imin dalam berbagai kesempatan baik yang lokal maupun yang nasional mengatakan bahwa bentuk NKRI ini adalah final. 

Tidak boleh ada satupun warga negara yang coba mengusik dan merusak NKRI dalam bentuk apa pun. Seseorang tidak boleh mengganggu budaya dan keyakinan orang lain dengan alasan budaya dan keyakinanya sendiri yang benar. Semua warga negara sama kedudukannya dihadapan hukum.

Menurut Cak Imin dalam bukunya; Intoleransi, diskriminasi, dan politik multikulturalisme, ada tiga pilar untuk menegakkan politik kebangsaan;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun