Bagi Rasulullah SAW, politik adalah bagian dari ibadah. Beliau tidak membedakan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Shalat, zakat, dan puasa harus berbuah pada keadilan sosial dan kepedulian terhadap sesama. Itulah sebabnya beliau sering lapar bersama umatnya, menolak hidup bermewah-mewahan, dan selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan umat.
Bandingkan dengan sebagian pemimpin kita yang hidup bergelimang fasilitas, sementara rakyat di pelosok masih kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan. Ironisnya, banyak di antara mereka yang juga hadir dalam perayaan Maulid, bahkan duduk di panggung kehormatan yang memperlihatkan sekat antara rakyat jelata dengan elit birokrat. Padahal, jika benar-benar meneladani Nabi, seharusnya mereka menghadirkan kebijakan yang menyentuh rakyat, bukan sekadar ikut bershalawat lalu melupakan makna dari sholawat itu sendiri.
Politik Umat: Dari Penonton ke Pelaku
Salah satu masalah besar politik Indonesia adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Rakyat sering hanya diposisikan sebagai penonton, atau bahkan "komoditas suara" yang dibutuhkan hanya saat pesta demokrasi saja. Setelah pemilu usai, mereka kehilangan daya tawar.
Dalam sejarah Nabi, umat justru dilibatkan secara aktif. Ketika ada peperangan, musyawarah dilakukan bersama sahabat. Bahkan usulan Salman al-Farisi tentang strategi parit dalam Perang Khandaq diterima Nabi dengan penuh kebesaran hati. Artinya, politik yang dicontohkan Nabi adalah politik partisipatif, bukan politik elitis.
Jika semangat ini dihidupkan, rakyat Indonesia tidak lagi menjadi korban politik, melainkan aktor perubahan.
Krisis Moral Politik dan Relevansi Maulid Nabi
Banyak pengamat mengatakan bahwa politik Indonesia hari ini sedang mengalami krisis moral. Korupsi merajalela, penyalahgunaan wewenang terjadi, dan konflik kepentingan terus mengakar. Padahal, akar dari krisis ini bukanlah semata-mata sistem, melainkan akhlak.
Di sinilah relevansi Maulid Nabi. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Politik yang kehilangan akhlak akan menjadi sumber malapetaka. Sebaliknya, politik yang berlandaskan akhlak bisa menjadi sumber rahmat bagi seluruh rakyat dan bisa menjadi arti dari makna Rahmatan Lil 'Alamin.
Maulid sebagai Gerakan Kebudayaan Politik
Maulid Nabi juga bisa dibaca sebagai gerakan kebudayaan. Ia tidak hanya soal ritual ibadah semata, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya meneladani Nabi dalam segala aspek, termasuk politik.