Mohon tunggu...
Lutfillah Ulin Nuha
Lutfillah Ulin Nuha Mohon Tunggu... Wahabi Lingkungan

Tumbuh sehebat do'a ibu | Menjadi ruang bagi ide-ide yang dianggap terlalu idealis untuk dunia yang sibuk menghitung untung-rugi |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maulid Nabi, Menyalakan Cahaya Kenabian di Tengah Gelapnya Politik Indonesia

4 September 2025   19:25 Diperbarui: 4 September 2025   19:25 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Malang H. Sanusi saat mengikuti kegiatan sholawat bersama Majelis Maulid Riyadlul Jannah (Foto : Pemkab Malang / Cah/Yon)

Bagi Rasulullah SAW, politik adalah bagian dari ibadah. Beliau tidak membedakan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Shalat, zakat, dan puasa harus berbuah pada keadilan sosial dan kepedulian terhadap sesama. Itulah sebabnya beliau sering lapar bersama umatnya, menolak hidup bermewah-mewahan, dan selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan umat.

Bandingkan dengan sebagian pemimpin kita yang hidup bergelimang fasilitas, sementara rakyat di pelosok masih kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan. Ironisnya, banyak di antara mereka yang juga hadir dalam perayaan Maulid, bahkan duduk di panggung kehormatan yang memperlihatkan sekat antara rakyat jelata dengan elit birokrat. Padahal, jika benar-benar meneladani Nabi, seharusnya mereka menghadirkan kebijakan yang menyentuh rakyat, bukan sekadar ikut bershalawat lalu melupakan makna dari sholawat itu sendiri.

Politik Umat: Dari Penonton ke Pelaku

Salah satu masalah besar politik Indonesia adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam arti yang sesungguhnya. Rakyat sering hanya diposisikan sebagai penonton, atau bahkan "komoditas suara" yang dibutuhkan hanya saat pesta demokrasi saja. Setelah pemilu usai, mereka kehilangan daya tawar.

Dalam sejarah Nabi, umat justru dilibatkan secara aktif. Ketika ada peperangan, musyawarah dilakukan bersama sahabat. Bahkan usulan Salman al-Farisi tentang strategi parit dalam Perang Khandaq diterima Nabi dengan penuh kebesaran hati. Artinya, politik yang dicontohkan Nabi adalah politik partisipatif, bukan politik elitis.

Jika semangat ini dihidupkan, rakyat Indonesia tidak lagi menjadi korban politik, melainkan aktor perubahan.

Krisis Moral Politik dan Relevansi Maulid Nabi

Banyak pengamat mengatakan bahwa politik Indonesia hari ini sedang mengalami krisis moral. Korupsi merajalela, penyalahgunaan wewenang terjadi, dan konflik kepentingan terus mengakar. Padahal, akar dari krisis ini bukanlah semata-mata sistem, melainkan akhlak.

Di sinilah relevansi Maulid Nabi. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Politik yang kehilangan akhlak akan menjadi sumber malapetaka. Sebaliknya, politik yang berlandaskan akhlak bisa menjadi sumber rahmat bagi seluruh rakyat dan bisa menjadi arti dari makna Rahmatan Lil 'Alamin.

Maulid sebagai Gerakan Kebudayaan Politik

Maulid Nabi juga bisa dibaca sebagai gerakan kebudayaan. Ia tidak hanya soal ritual ibadah semata, tetapi juga membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya meneladani Nabi dalam segala aspek, termasuk politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun