Ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, beliau tidak serta-merta memimpin dengan kekuatan fisik atau kekuasaan politik. Justru beliau membangun fondasi kepemimpinan dengan kepercayaan moral. Gelar Al-Amin (yang terpercaya) sudah disematkan kepadanya bahkan sebelum kenabian. Artinya, kepemimpinan beliau lahir dari akhlak, bukan dari kekuatan senjata atau strategi politik semata apalagi hanya bermodalkan propaganda tertentu.
Dalam perjalanannya, Nabi memimpin umat dengan prinsip yang jelas. Menegakkan keadilan, melindungi yang lemah, dan mengutamakan musyawarah. Piagam Madinah menjadi contoh nyata bagaimana beliau membangun tatanan politik yang inklusif, di mana Muslim, Yahudi, Nasrani, dan kelompok lain diakui hak-haknya, baik sebagai manusia pada umumnya ataupun warga negaraÂ
Bandingkan dengan politik Indonesia hari ini. Musyawarah sering hanya menjadi formalitas, sementara keputusan sudah ditentukan oleh segelintir elite. Keadilan hukum pun terasa timpang dan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika Nabi menempatkan kepemimpinan sebagai amanah, sebagian politisi di negeri ini justru menjadikannya sebagai ladang keuntungan untuk memperkaya pribadi maupun kelompoknya.
Politik Indonesia: Antara Idealisme dan Pragmatisme
Mari kita tengok realitas politik Indonesia. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi rakyat justru sering berubah menjadi sebuah arena transaksional. Pemilu menjadi ajang bagi mereka yang punya modal besar untuk membeli suara. Partai politik, yang mestinya menjadi sekolah kepemimpinan, kadang lebih mirip perusahaan keluarga atau kendaraan untuk kepentingan segelintir orang.
Dalam situasi seperti ini rakyat kecil terpinggirkan, kemaslahatan umat terabaikan. Mereka hanya diingat ketika musim kampanye datang, lalu dilupakan setelah kekuasaan diraih. Tidak sedikit masyarakat yang akhirnya apatis, menganggap politik hanya penuh tipu daya dan janji palsu.
Bukankah ini jauh dari teladan Nabi? Rasulullah menunjukkan bahwa politik sejati bukan hanya soal perebutan kursi, melainkan perebutan hati umat. Beliau membangun kepercayaan dengan kejujuran dan keteladanan, bukan dengan janji kosong.
Maulid sebagai Momentum Tajdid Politik
Maulid Nabi dapat menjadi ruang tajdid atau pembaruan dalam cara kita memandang politik. Umat Islam Indonesia yang jumlahnya mayoritas, semestinya menjadikan akhlak Nabi sebagai standar menilai dan memilih pemimpin. Pertanyaannya sederhana, apakah seorang calon pemimpin menunjukkan sifat amanah, siddiq, tabligh, dan fathanah? Ataukah ia hanya lihai memainkan kata-kata, sementara rekam jejaknya penuh manipulasi?
Jika Maulid Nabi dimaknai secara mendalam, maka ia bisa menjadi "bulan evaluasi politik". Kita tidak hanya bershalawat, tetapi juga menimbang ulang arah bangsa. Apakah politik kita semakin dekat dengan nilai-nilai kenabian, atau semakin jauh terjerumus dalam pragmatisme?
Politik sebagai Jalan Ibadah