Akhir-akhir ini, publik dihebohkan oleh sederet pernyataan kontroversial pejabat yang bukannya menenangkan hati rakyat di saat banyak penderitaan yang dialami, malah menimbulkan luka. Kata-kata yang seharusnya menjadi penguat, justru terasa seperti tamparan bagi mereka yang sedang berjuang menghadapi beratnya hidup.
Bahasa adalah jembatan. Ia bisa menjadi penghubung antara rakyat dan pemimpin, tapi bisa pula berubah menjadi jurang ketika kata-kata dilontarkan tanpa empati. Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan betapa rapuhnya situasi sosial ketika pejabat negara gagal mengelola komunikasi.
Salah satu contoh mencolok datang dari Wakil Ketua DPR RI, Ahmad Sahroni, yang melontarkan kata "tolol" dalam forum publik. Ucapan itu bukan hanya memicu kemarahan, tetapi juga berujung pada demonstrasi besar hingga penjarahan. Kita kembali diingatkan, betapa rapuhnya situasi sosial ketika pejabat abai dalam memilih kata.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik juga ramai membicarakan ucapan Menteri Agama Nasaruddin Umar terkait guru. Alih-alih menumbuhkan penghargaan pada profesi pendidik, pernyataan itu justru dipersepsi sebagian masyarakat sebagai merendahkan. Ya walaupun mungkin ada benarnya yang diucapkan, tapi saya rasa tidak cocok untuk diucapkan oleh seorang Menteri.
Tak kalah menyedot perhatian, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menuai kritik setelah menyebut suara rakyat yang mengkritisi kebijakan pemerintah sebagai "ngawur". Kata itu viral di media sosial, dipotret sebagai bentuk arogansi, dan semakin mempertebal jarak antara pejabat dengan masyarakat yang membuat kondisi sosial-politik menjadi semakin keruh.
Masih teringat juga, Wakil Menteri ATR/BPN Nusron Wahid harus meminta maaf setelah candaan "semua tanah milik negara" menimbulkan kegaduhan. Di tengah maraknya konflik agraria dan isu kepemilikan lahan, ucapan itu dianggap tidak sensitif, bahkan berpotensi memperburuk ketegangan.
Di Mana Letak Masalahnya?
Jika ditarik benang merah, masalah utamanya bukan sekadar salah ucap. Melainkan kurangnya empati. Dalam upaya terlihat tegas, santai, atau bahkan bercanda, para pejabat sering lupa bahwa setiap kata yang mereka ucapkan punya bobot sosial yang luar biasa.
Public speaking sejatinya bukan hanya soal berbicara keras dan percaya diri, tetapi juga seni memilih kata dengan bijaksana agar pesan sampai pada publik tanpa melukai hati siapapun.
Seringkali public speaking disalahartikan sebagai seni berbicara lantang dan percaya diri di depan publik. Padahal, esensi yang lebih dalam adalah membangun empati. Kata harus dipilih dengan hati-hati, bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk memastikan pesan itu sampai tanpa melukai.