Di antara malam-malam panjang yang saya habiskan untuk membaca buku, merenung, atau sekadar menatap dinding kamar, perenungan soal "pergaulan bebas" kerap datang tanpa diundang. Ini bukan isu baru. Tapi entah kenapa, ia seperti debu yang terus beterbangan di udara yang tak terlihat, tapi terasa.
Saya tidak hendak menghakimi siapa pun. Saya menulis ini bukan dari menara gading moralitas, melainkan dari jalan setapak yang pernah saya lewati sendiri sebagai anak muda yang tumbuh di tengah dunia yang gaduh, gamang, dan penuh distraksi.
Kebebasan yang Terlalu Bebas
Istilah pergaulan bebas seringkali muncul dalam nada waspada, penuh kecemasan, bahkan kutukan. Padahal, yang bebas belum tentu salah dan yang salah belum tentu sadar bahwa dirinya salah.
Namun yang saya amati, banyak di antara kita yang hidup di bawah ilusi bahwa kebebasan berarti bisa melakukan apa saja tanpa pertimbangan. Bahwa tubuh ini adalah milik sendiri seutuhnya, tanpa tanggung jawab sosial, moral, atau spiritual.
Saya tidak menyangkal bahwa manusia memang punya hak atas tubuhnya, pikirannya, pilihannya. Tapi sejak kapan kebebasan kehilangan akal sehatnya?
Kita hidup dalam dunia yang menormalisasi keterbukaan, namun di saat bersamaan kehilangan makna tentang batas. Seks bebas dianggap hal biasa, pacaran trial-error dianggap bentuk eksplorasi diri, dan anak-anak SMA pun kini tidak asing dengan aborsi diam-diam.
Saya tahu ini bukan hanya soal moral. Ini juga soal sistem, pendidikan, media, dan cara kita memaknai cinta serta keintiman.
Cinta yang Salah Tempat