Isu mengenai potensi terjadinya Perang Dunia Ketiga tidak lagi bisa dianggap sebagai fiksi belaka atau sekadar alur dalam film perang. Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik yang ditandai oleh rivalitas antarnegara besar, konflik teritorial yang terus berlangsung, serta krisis kemanusiaan yang semakin meluas yang memungkinkan pecahnya perang berskala global menjadi perhatian serius, tidak hanya bagi kalangan diplomatik dan militer, tetapi juga bagi para ekonom, peneliti, dan pengambil kebijakan. Kajian terhadap literatur ilmiah terbaru menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari perang global tidak hanya bersifat langsung, tetapi juga sangat luas, mendalam, dan berlangsung dalam jangka panjang. Studi berjudul "Exposure to War and Its Labor Market Consequences" menggambarkan bagaimana Perang Dunia II secara drastis mengubah pasar tenaga kerja, menciptakan ketimpangan yang bertahan lama serta kehilangan modal manusia dalam skala besar. Jika perang dengan skala serupa terjadi di era saat ini, dapat dipastikan pasar kerja global terutama di sektor digital, logistik, dan manufaktur akan mengalami gangguan besar yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat.
Studi "Production Networks and War" menyoroti rapuhnya sistem produksi internasional terhadap guncangan akibat perang. Ketergantungan antarnegara melalui rantai pasok global menyebabkan kerusakan pada satu titik dapat melumpuhkan sistem secara keseluruhan menimbulkan kelangkaan barang, lonjakan inflasi, stagnasi produksi, dan krisis ekonomi bahkan di negara-negara yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Risiko ini semakin diperjelas dalam studi "Quantitative, Data-driven Network Model for Global Systemic Risk", yang memodelkan bagaimana perang terutama yang melibatkan senjata nuklir atau serangan siber dapat memicu keruntuhan sistem keuangan global. Kepanikan investor, hancurnya infrastruktur teknologi, serta runtuhnya kepercayaan terhadap institusi keuangan dapat mendorong dunia ke dalam krisis ekonomi yang jauh lebih dalam daripada resesi global manapun yang pernah terjadi. Ketahanan pangan pun menjadi ancaman serius. Studi "Identification of Socioeconomic Factors Influencing Global Food Security" memperingatkan bahwa konflik bersenjata dapat secara signifikan mengganggu perdagangan pangan internasional, menghancurkan lahan pertanian, serta memicu kelaparan dan migrasi massal, terutama di negara-negara miskin.
Yang lebih mengkhawatirkan, studi "Temporal Analysis of Worldwide War" menunjukkan bahwa perang modern berlangsung dengan lebih cepat dan kompleks, didorong oleh teknologi seperti drone otonom, kecerdasan buatan, dan serangan siber berskala besar. Artinya, dampak ekonominya tidak hanya lebih destruktif, tetapi juga menyebar melintasi batas negara dan sektor dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam dunia yang sangat terhubung dan saling bergantung seperti sekarang, perang bukan lagi sekadar isu lokal atau regional melainkan ancaman sistemik terhadap perekonomian global. Oleh karena itu, inilah saatnya bagi komunitas internasional untuk berinvestasi secara serius dalam perdamaian, diplomasi, dan ketahanan ekonomi. Pencegahan konflik harus diposisikan bukan hanya sebagai bagian dari kebijakan luar negeri, tetapi juga sebagai pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi dunia. Masyarakat global pun perlu menyadari bahwa ancaman ini nyata. Jika tidak ditangani melalui kebijakan yang matang dan solidaritas internasional yang kuat, dunia dapat menyaksikan runtuhnya tatanan ekonomi yang telah dibangun selama puluhan tahun bukan karena kegagalan sistem ekonomi itu sendiri, tetapi karena ketidakmampuan kita dalam mencegah perang yang bisa menghancurkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI