Perang Dagang bukanlah fenomena mengejutkan dalam sejarah ekonomi dunia, fenomena ini wajar terjadi di lingkup perdagangan internasional. Namun, di era globalisasi modern yang saling terhubung, konsekuensi perang dagang jauh lebih kompleks dan meluas. Fenomena perang dagang yang cukup membuat guncang dunia adalah perang dagang antar dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Tiongkok. Kala itu, Amerika Serikat memulai kebijakan proteksionis terhadap Tiongkok pada 2018 dengan menaikkan tarif terhadap barang impor Tiongkok senilai ratusan miliar dolar. Akibatnya, dunia pun menyaksikan eskalasi konflik perdagangan yang memicu ketidakpastian pasar global. Sebagai balasan, Tiongkok pun mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk dari AS.Meskipun perang dagang tersebut hanya terlihat seperti kedua negara adidaya tersebut yang terkena dampaknya, dalam perdagangan global sistemnya tidak bekerja seperti itu. Perang dagang tidak hanya berdampak pada kedua negara yang terlibat, tetapi juga pada negara-negara lain yang terhubung dalam rantai pasok global. Salah satu indikator penting yang mencerminkan dinamika ini adalah neraca perdagangan, yaitu selisih antara nilai ekspor dan impor suatu negara. Memang, perang dagang terjadi dengan adanya tujuan untuk melindungi kepentingan nasional, yakni melindungi produk dalam negerinya dari persaingan luar. Tetapi dampak lainnya adalah perang dagang juga akan memengaruhi neraca perdagangan di berbagai negara.
Secara umum, perang dagang terjadi ketika suatu negara menerapkan hambatan perdagangan seperti tarif tinggi, kuota, atau larangan ekspor/impor. Hal ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan luar. Kebijakan ini sering disebutkan sebagai kebijakan proteksionisme yang memiliki tujuan untuk memperbaiki defisit perdagangan, menciptakan lapangan kerja domestik, serta melindungi sektor strategis dari dominasi asing.
Namun, kebijakan tersebut seringkali bersifat reaktif dan sementara. Ketika AS menyerang Tiongkok dengan tarif impor, tujuan utamanya adalah menekan defisit perdagangan yang telah membengkak selama bertahun-tahun lamanya. Jika dilihat dari permukaannya saja, kebijakan ini memang logis, barang impor yang masuk ke luar negeri akan jadi lebih mahal, sehingga warga negara akan lebih mengonsumsi produk lokal yang lebih murah. Akan tetapi, dibalik kelogisan tersebut, kenyataannya perusahaan dalam negeri ada beberapa yang bergantung dengan bahan baku impor, sehingga mereka harus terkena dampaknya. Dampaknya antara lain, biaya produksi yang meningkat karena bahan baku impor yang lebih murah terkena kebijakan proteksionisme, sehingga harga barang menjadi naik, dan daya saing produk lokal menjadi terganggu.
Lalu bagaimana dampak dari perang dagang ini terhadap neraca perdagangan global? Neraca perdagangan itu sendiri merupakan cermin penting dari kesehatan ekonomi suatu negara di lingkup internasional. Perang dagang dianggap sebagai sebuah intervensi besar dalam mekanisme pasar global, sehingga keberadaannya cukup mengganggu keseimbangan pasar global secara signifikan. Beberapa dampak yang ditimbulkan dari perang dagang ini yaitu:
1. Perubahan Arah Perdagangan
Ketika AS dan Tiongkok saling menaikkan tarif, mereka mencari mitra dagang alternatif. Misalnya, Tiongkok berusaha untuk mendekatkan arah perdagangan mereka dengan ASEAN, Afrika, dan negara-negara Amerika Latin. Demikian pula dengan AS yang mulai mendekati negara seperti Vietnam dan India sebagai substitusi manufaktur Tiongkok. Perubahan arah perdagangan ini memang menciptakan peluang ekonomi bagi beberapa negara berkembang. Mereka jadi mempunyai mitra dagang dari negara adidaya. Namun, hal ini hanya menciptakan ketidakpastian dalam jangka panjang karena arah perdagangan menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi. Mitra dagang yang diperoleh menjadi tidak pasti dn barangkali hanya dalam jangka pendek.
2. Distorsi Harga dan Gangguan Rantai Pasok
Kebijakan proteksionisme seperti tarif tinggi dapat menyebabkan distorsi harga di pasar global. Produk yang sebelumnya murah menjadi mahal, menyebabkan penurunan permintaan dan perlambatan ekspor-impor. Selain itu, rantai pasok global yang bergantung pada keterkaitan produksi lintas negara menjadi terganggu. Negara-negara yang mengimpor bahan baku dari Tiongkok atau AS mengalami kenaikan biaya produksi dan kesulitan memperoleh bahan baku penting.
3. Ketidakpastian Pasar
Tarif yang berubah-ubah dan kebijakan dagang yang tak terduga menimbulkan ketidakpastian di kalangan eksportir dan importir. Banyak perusahaan menahan investasi dan mengurangi ekspor karena ketidakpastian ini. Ketika ekspor menurun, surplus perdagangan pun bisa berubah menjadi defisit, atau sebaliknya tergantung posisi negara dalam rantai pasok global.
4. Keseimbangan Baru yang Rentan
Beberapa negara memang diuntungkan secara jangka pendek. Misalnya, Vietnam mengalami peningkatan ekspor ke AS karena menjadi alternatif sumber barang-barang yang sebelumnya diproduksi di Tiongkok. Namun, ketergantungan baru ini bisa menjadi masalah ketika perang dagang berakhir atau ketika negara tujuan menerapkan proteksionisme baru. Neraca perdagangan mereka bisa berubah drastis dalam waktu singkat, menciptakan ketidakstabilan makroekonomi.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi politik internasional, perang dagang tidak hanya menjadi instrumen ekonomi, melainkan bisa sebagai alat geopolitik. Kebijakan tarif tinggi dan pembatasan perdagangan yang dinilai sebagai aksi proteksionisme, kerap dibalut narasi nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi tersebut seperti untuk melindungi pekerja lokal, industri dalam negeri, serta sebagai kedaulatan ekonomi. Namun pada kenyataannya, kebijakan semacam ini justru memperkuat dominasi negara kuat dan menciptakan ketimpangan baru. Negara-negara besar seperti AS dan Tiongkok memiliki kapasitas fiskal, teknologi, dan diplomasi ekonomi yang memungkinkan mereka bertahan dalam perang dagang. Sementara negara-negara berkembang, terutama yang bergantung pada ekspor bahan baku atau produk manufaktur murah, justru menjadi korban dari ketidakpastian pasar global.
Perang dagang dalam praktiknya, seringkali digunakan sebagai alat politik untuk memperkuat posisi tawar di kancah internasional. Alih-alih murni soal ekonomi, ia menjadi instrumen geopolitik. Ketika AS menekan Tiongkok dengan tarif, hal itu juga mencerminkan kekhawatiran terhadap dominasi Tiongkok di bidang teknologi, manufaktur, dan pengaruh global secara keseluruhan.
Namun, akibat yang timbul adalah ketidakpastian sistem perdagangan dunia. WTO sebagai lembaga multilateral justru dilemahkan, dan negara-negara berkembang terjebak dalam ketidakpastian kebijakan dagang. Perang dagang membentuk sistem dunia yang lebih tertutup dan transaksional, di mana kekuatan ekonomi besar dapat mengubah aturan sesuai kepentingannya.