Mohon tunggu...
Lusia Peilouw
Lusia Peilouw Mohon Tunggu... -

bukan siapa-siapa namun slalu ingin menjadi yang berarti bagi sesama walau dalam bentuk yang paling sederhana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Umum di Maluku dan Urgensi Kehadiran Pengawas Pemilu

8 Mei 2013   13:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:54 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Umum, apapun itu termasuk Pemilihan Umum Kepala Daerah tidak ubahnya sebuah event kompetisi. Sebagai sebuah event, ada yang menyelenggarakan, ada peserta, ada penonton. Sebagai sebuah kompetisi, pasti ada kompetitor (peserta tadi), ada pula aturan (rules of game) yang mesti ditaati para kompetitor.Tidak hanya kompetitor, ada juga yang membuat aturan yang dikenai pada penyelenggara dan penonton. Karena ada aturan, mesti ada pula hakim atau wasit atau refree yang mengamati dan menilai sejauhmana semua pihak memegang aturan, memastikan bahwa kompetisi berjalan secara fair dimana tidak ada satu pihak yang mencurangi atau malah sebaliknya dicurangi pihak lainnya. Demikian urgent-nya lembaga pengawasan dalam event-event pemilihan umum.

Sedikit melirik sejarah dan menakar komitmen negara terhadap legitimasi pengawasan

Tugas dan fungsi pengawas pemilu baru mulai dilembagakan pada Pemilu 1982. Sebelumnya, sejak pemilu pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, tidak ada lembaga pengawas. Pada masa itu Pemilu diselenggarakan oleh pemerintah, termasuk juga mengawasinya. Yah, pengawasan internal lah, intinya. Pertama kali dilahirkan di tahun 1982, lembaga pengawasan dinamai Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) itu pun merupakan buah dari desakan masyarakat yang kecewa dengan pemilu tahun 1977 karena dinilai sarat dengan manipulasi dan pelanggaran. Berlanjut dari situ, di setiap pelaksanaan pemilu lembaga pengawas selalu mengalami metamoforsis. Tak usahlah kita lihat detail struktur, fungsi dan wewenangnya. Nomenklatur saja sudah beberapa kali berganti. Panwaslak diganti namanya menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum atau disingkat Panwaslu atau Panwas di tahun 1999 dan kemudian sejak pemilu 2009 berganti lagi menjadi Bawaslu. Legitimasi pun menanjak dari waktu ke waktu. Titik tertinggi legitimasi pada era ini dicapai ketika disahkannya UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dimana Bawaslu dihitung sebagai salah satu penyelenggara pemilu di samping KPU dan DKPP. Lebih dari pada itu, jajaran Bawaslu di tingkat propinsi yang selama ini sifatnya adhoc, kemudian dijadikan lembaga permanen dengan periodisasi yang sama dengan tingkat pusat. Eksistensinya kini hampir serupa dengan KPU.

Setidaknya nampak dan termanifestasi pengakuan negara akan pentingnya pengawasan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Dari sisi sumber daya manusia pun regulasi telah membuka ruang bagi optimalisasi peran dan fungsi pengawasan. Sebut saja salah satunya, dalam hal penambahan jumlah Petugas Pengawas Lapangan (PPL) yang berada pada level desa atau sebutan lain dan kelurahan.

Bila kita mengilustrasikan arena penyelenggaraan pesta demokrasi di negara kita dalam bentuk sebuah denah, maka desa (dan nama lainnya atau kelurahan) adalah ruang utama dari denah arena tersebut. Di sinilah puncak perhelatan demokrasi terselenggara, dimana tempat-tempat pemungutan suata atau TPS dengan bilik-bilik suaranya dibangun. Di dalam satu desa pasti ditempatkan paling sedikit satu TPS, tergantung populasi pemilih. Di kota Ambon sendiri, desa yang paling kecil, Hukurila namanya, memiliki hanya 1 TPS sedangkan desa Batu Merah, desa terbesar secara demografis dan terluas secara geografis, memiliki 112 TPS.

UU 15 tahun 2011 telah menghadiahkan 4 orang tambahan PPL pada tiap desa (dulunya 1 desa : 1 PPL). Jadi sekarang tiap desa boleh memiliki 1 – 5 PPL, ditata oleh Bawaslu Propinsi berdasarkan sebaran TPS dan kondisi geografis desa. Walau pun penghadiahan ini belum menjawab sebuah kondisi ideal yaitu tiap TPS mesti diawasi 1 PPL, minimal pada hari pelaksanaan pungut hitung, setidaknya ini sudah jauh lebih baik. Apalagi dengan dilegitimasinya juga peran masyarakat dalam pengawasan, sistim pengawasan semakin kuat. Walaupun pada tataran praksis, pengakuan itu belum disertai dengan pelimpahan wewenang yang paripurna kepada lembaga pengawasan bentukannya dimana regulasi terbaru itu pun ternyata masih membiarkan samar eksistensi fungsi pengawasan pada ranah tertentu. Atau untuk sedikit lebih memperjelas, dapat dikatakan bahwa, banyak titik rawan dalam teknis penyelenggaraan yang dikerjakan KPU yang justru oleh regulasi dibiarkan steril, tanpa pengawasan.

Apa yang harus dilakukan sekarang

Bagaimana pun juga, kita patut memberikan acungan jempol bagi upaya-upaya pengawalan demokrasi di tanah air kita. Tinggal bagaimana sekarang, kewenangan-kewenangan yang telah diberikan dimanfaatkan secara tertanggung jawab, jangan balik melemah atau malah memunculkan abuse of power. Untuk itulah diperlukan sosok pengawas yang memiliki kepekaan terhadap berbagai bentuk kemungkinan pelanggaran hukum, kecermatan dalam melakukan observasi, kemampuan untuk kritis dalam analisa, independensi dan keberanian yang kuat dalam pengambilan keputusan dan konsistensi dalam bertindak.

Di Maluku, nuansa perpolitikan kini sungguh semarak dengan hadirnya beberapa Pemilihan Umum yang tahapannya datang berbarengan yaitu Pemilihan Gubernur (dan wakilnya), Pemilihan Legislatif dan (nantinya) Pemilihan Presiden. Di dua daerah tingkat II pun berlangsung pemilihan kepala daerahnya yang jadwalnya persis bersamaan dengan pemilihan Gubernur Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual.

Kembali ke ilustrasi kompetisi yang saya kemukakan di awal tulisan ini, tentu bisa dibayangkan bagaimana semaraknya kompetisi politik yang sementara berlangsung di Maluku, Propinsi Seribu Pulau ini. Calon-calon sebagai kompetitor dengan tim-tim pemenangnya yang kian seru memacu strategi pemenangan, yang bukan tidak mungkin juga saling sikut, saling lintas, saling menjatuhkan dan aturan mungkin saja diabaikan; KPU sebagai penyelenggara yang dibebani dengan beruntunnya agenda sambil harus tetap memegang norma dan etika penyelenggaraan; Mesin birokrasi yang tentu harus dijaga berjalan pada tracknya; dan masih banyak lagi wujud dinamika kompetisi yang sudah barang tentu akan memberikan pendidikan demokrasi yang bermanfaat bagi rakyat namun juga kemungkinan akan memicu kekisruhan sosial sehingga memberikan citra buruk bagi potret demokrasi di daerah ini. Hal terakhir ini yang mesti menjadi concern utama tetapi juga kegelisahan pemerintah dan masyarakat Maluku.

Pada domain inilah, kehadiran pengawas pemilu mutlak diperlukan, urgent adanya! Andaikan demokrasi di daerah ini adalah sebuah bangunan yang perlu ditopang berdirinya, maka pengawas pemilu adalah salah satu pilar penopang itu. Olehnya itu seluruh entitasnya yaitu Bawaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan para guardian terdepan yaitu PPL di semua negeri/desa/ kelurahan di Propinsi Maluku mestinya tanggap dan tangguh dalam kiprahnya. Hanya dengan begitu mereka akan sanggup berkontribusi menciptakan proses maupun hasil kompetisi yang bermartabat dan tentunya membanggakan. Semoga demikian adanya insan-insan pengawas di daerah ini. Salam Awas!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun