Mohon tunggu...
Luqman Rico Khashogi
Luqman Rico Khashogi Mohon Tunggu... Penulis - Pengembara Ilmu

Pembelajar, Peneliti, Penulis, dan Pemerhati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ekologi, Agama, dan Civil Society (1)

31 Juli 2022   05:15 Diperbarui: 31 Juli 2022   05:31 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari tahun ke tahun, konflik agraria di negeri ini rupanya terus meningkat. Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), paling tidak ada 241 kasus sepanjang tahun 2020 dan terjadi di 359 daerah di Indonesia. Urutan kasus tertinggi ada pada sektor perkebunan (122 kasus), lalu kehutanan (41 kasus), kemudian infrastruktur (30 kasus). (26/4/2021) Adapun sepanjang 2021, paling tidak ada 207 konflik, 3 orang tewas dan 150 warga menjadi korban kriminalisasi. Terbanyak di Jawa Timur. (7/1/2022)

Dalam catatan akhir tahun 2020 lalu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merekam ada 45 konflik khusus pertambangan. Naik nyaris 5 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019 yang tercatat hanya 11 konflik pertambangan. Tapi, bila ditotal sejak 2014, maka terdapat 116 konflik. Mayoritas disebabkan oleh (1) pencemaran lingkungan, (2) perampasan lahan, dan (3) kriminalisasi warga penolak tambang.

Menurutnya, pemicu dan pintu gerbang yang sekaligus menjadi karpet merahnya adalah (1) UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, (2) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan (3) momentum Pandemi. Menurut Komnas HAM, pada tataran lapangan, konflik agraria secara umum disebabkan oleh mafia tanah yang tak tersentuh hukum. (28/12/2021) Ini bukti sederhana bahwa kita sedang tidak baik-baik saja.

Lingkungan dan Demokrasi

Persoalan ekologis akhir-akhir ini menjadi makin rumit, selain karena nyaris tak tersentuh oleh berbagai ceramah religi dan tidak banyak menjadi perhatian utama akademisi, kompleksitas kebijakan publik yang berpihak pada keadilan ekologi tidak tampak menjadi bagian urgen bagi sebagian besar civil society. Padahal, persoalan pandemi yang pelik ini seharusnya dapat mendorong empati terhadap alam ini.

Meski jumlah penduduk dengan berbagai penunjang potensinya merupakan sumber daya manusia yang paling megah, (Brundtland 1987) masyarakat industri yang ada di tengah-tengah kita saat ini, kata Baele, adalah masyarakat yang menghancurkan dunia. Perusak lingkungan. Dengan kemajuan teknologinya mereka tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam tapi juga memperluas lingkungan hidup buatan manusia yang tidak berpihak pada lingkungan. (Beale 1980)

Meskipun juga gerak demokratisasi mendorong transparansi kontrol kebijakan semakin meningkat, hal itu tidak berarti masalah pengelolaan lingkungan tanpa cacat. Dalam kajian Thomas Power tahun 2021 kemarin, masalahnya demokrasi bukan hanya masuk fase stagnasi belakangan ini, tapi juga mengalami regresi. The Economic Intelligent Unit (EIU) dan Democracy Report juga menggambarkan ketidakmatangan demokrasi di Indonesia sebagai flawed democracy. Dalam catatan KontraS tahun 2018, penyelenggaraan negara yang terlalu eksesif dan cenderung arbitrary dalam mengelola dinamika dissent, kritik dan politisasi identitas justru dapat berakibat pada menyusutnya (shrinking) gerak demokrasi. Hal itupun berdampak kembali pada persoalan ekologi.

Laporan WALHI tahun 2020 mencatat bahwa rendahnya kualitas demokrasi, meningkatnya konflik agraria, lemahnya kinerja penegakan hukum, dan laju bencana ekologis yang makin tinggi merupakan potret situasi krisis multidimensi yang kesemuanya itu bermula dari hubungan gelap gurita investasi dan cengkraman oligarki. Dampaknya, gerak check and balances yang digerakkan oleh rakyat (karena tumpulnya oposisi kuasa) diredam dengan represi, jatuhnya korban jiwa, dan cedera.

Bahkan menurut KontraS, maraknya tindakan represif aparat penegak hukum adalah karena tersedia dan terbukanya akses impunitas terhadap penyiksaan sebagai opportunity crime, yang itu adalah akibat dari lemahnya norma dalam peraturan perundang-undangan dan sistem kelembagaan. Komnas HAM dalam Paparan Catatan Akhir Tahun HAM di Indonesia 2021 juga menegaskan terhadap seringkalinya aparat menggunakan "kekuatan berlebih" terhadap penanganan konflik agraria di berbagai daerah. (28/12/2021)

Kajian Herdiansyah dalam "Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam Terbarukan Di Perbatasan Dalam Pendekatan Ekologi Politik" mencatat, konflik ekologi faktanya tidak hanya muncul dari antar-individu, tetapi juga dengan korporasi, bahkan dengan negara. Muara konflik pribadi ini kemudian menggelinding seperti bola salju dan berkembang menjadi konflik intrastate dan berkembang lagi pada skala global. Ke depan, manajemen sumber daya alam mutlak perlu melibatkan hak distribusi dan tanggung jawab pengelolaan. Katanya, relasi negara, civil socity, dan korporasi dalam manajemen sumber daya alam terbarukan merupakan keterkaitan yang harus dijaga kontinuitasnya.

Lanjutkan Artikel; Ekologi, Agama, dan Civil Society (2)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun