Pernikahan dianggap sebagai cara yang legal dan halal untuk melanjutkan keturunan. Dalam agama, pernikahan dianggap sebagai ibadah dan oleh karena itu, ia dipandang sebagai sesuatu yang sakral.
Dalam masyarakat yang begitu erat memegang budaya kolektif, pilihan untuk menunda atau tidak menikah bisa menjadi masalah tersendiri bagi yang menjalaninya. Mereka kerap disindir, ditekan dan diolok-olok, baik oleh keluarga maupun masyarakat.
Desakan untuk segera menikah tidak jarang juga disertai dengan kalimat-kalimat yang menakut-nakuti seperti "nanti kalau kamu tua siapa yang ngurus kamu?", "nanti kalau bapak ibu meninggal duluan gimana?" dan sebagainya.
Kekhawatiran ini akhirnya membuat anak seringkali dilihat sebagai investasi orangtua, baik itu investasi duniawi (tempat bergantung soal biaya hidup dan merawat ketika orangtua mulai tua dan sakit-sakitan) maupun akhirat (doa anak yang saleh).
Pergeseran pandangan generasi muda masa kini soal pernikahan juga membuat cara pandang mereka mengenai anak ikut berubah.
Mereka berupaya memutus mata rantai sandwich generation dengan membangun kestabilan dan manajemen finansial yang lebih baik dari sebelum menikah. Selain itu, tidak sedikit pula anak muda yang menunda pernikahan karena merasa belum mapan.
Perbedaan pandangan mengenai pernikahan ini seringkali tidak mudah untuk dipahami dan diterima oleh generasi sebelumnya yang menganut prinsip "rezeki sudah ada yang mengatur" dan "banyak anak banyak rezeki".
Prinsip ini memang tidak sepenuhnya salah, tapi asal menikah tanpa mempertimbangkan kondisi finansial bisa jadi masalah, terlebih menikah "in this economy", dimana kondisi ekonomi, sosial dan politik penuh ketidakpastian.
Urusan Privat yang Jadi Urusan PublikÂ
Pernikahan sejatinya adalah urusan privat, tetapi pada praktiknya ia adalah urusan publik. Perempuan kerap menjadi pihak yang menerima tekanan lebih besar ketika sampai usia tertentu belum juga berpasangan.