Sebelum RKUHP ini disahkan saja, korban pemerkosaan sudah sering dikriminalisasi. Laporannya tidak kunjung diproses dengan dalih kurang bukti, korban mendapat pertanyaan yang menyudutkan dan parahnya lagi disuruh menikah dengan pelaku.
Lalu, bagaimana jika persetubuhan yang dimaksud adalah secara konsensual, seperti perselingkuhan dan kohabitasi? Yang dimaksud dengan tinggal bersama layaknya suami istri itu yang bagaimana?
Meski berlaku delik aduan seperti pasal 411, pasal 412 tentang kohabitasi juga berpotensi menjadi pasal karet yang mengkriminalisasi pasangan yang pernikahannya tidak tercatat secara hukum.Â
Pernikahan masyarakat penghayat kepercayaan termasuk di dalamnya. Pencataatn pernikahan mereka kerap terkendala urusan administrasi hanya karena kolom agama di KTP berisi tanda setrip (-).Â
Memang sih, sudah ada PP Nomor 40 Tahun 2019 tentang Administrasi Kependudukan yang didalamnya juga mengakui dan mengatur tata cara pernikahan antar penghayat kepercayaan .Entah bagaimana implementasinya di lapangan.Â
Implementasi Pasal Perzinaan dan Kohabitasi
Saya tidak bilang bahwa zina dan kohabitasi itu halal atau semacamnya. Yang saya ingin katakan adalah zina dan kohabitasi adalah urusan privat masing-masing.
Soal perselingkuhan, misalnya, yang sanksinya juga diatur dalam Pasal 284 ayat 1 KUHP lama. Namun, bagaimana implementasinya?
Entah benar atau salah, alih-alih melaporkan perselingkuhan pasangan, kalau tidak langsung mengurus perceraian ya memaksakan diri bertahan dalam pernikahan.Â
Nah, yang tetap bertahan dalam pernikahan inilah yang-kalau suatu saat lapor ke aparat-laporannya bukan lagi soal perselingkuhan, melainkan KDRT.
Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskan bahwa hukum pidana adalah jalan paling akhir (ultimum remedium).
Alih-alih terlalu dalam mengurusi urusan privat warga, mengapa soal perzinaan dan kohabitasi tidak dikembalikan saja pada norma agama, kesusilaan dan kesopanan?