Parahnya, semua itu terjadi akibat lisan kita.
3. Diam itu baik jika kita tidak punya cukup ilmu atau kompetensi untuk menjelaskan suatu hal
Salah satu sisi negatif dari era media sosial adalah banyak orang mendadak pakar padahal tidak paham apa-apa. Kita bisa lihat contohnya saat pandemi Covid-19 melanda.Â
Berapa banyak orang mendadak pakar yang menyebarkan informasi sesat tentang Covid-19 dan vaksinasi? Berapa banyak orang yang kemudian menjadi korban atau panik berlebihan akibat percaya pada informasi menyesatkan itu?
Segala kekacauan itu tidak lain dan tidak bukan terjadi karena orang yang tidak punya ilmu atau kompetensi di bidang kesehatan ikut-ikutan bersuara.Â
Seandainya mereka bisa menahan lisan dan jarinya sehingga yang berhak bicara adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, saya yakin kekacauan seperti itu bisa diminimalkan, jumlah kasus positif dan kematian lebih bisa dikendalikan.
Soal ini saya ingin kita belajar dari akhlak para ulama klasik yang tidak malu mengatakan "tidak tahu" apabila tidak memiliki dasar ilmu yang mumpuni untuk menjelaskan suatu hal.Â
Lagipula, mengatakan "tidak tahu" dan diam atas perkara yang tidak dikuasai dasar ilmunya, tidak akan mengurangi kecerdasan kita.
4. Diam itu baik jika ucapan kita malah semakin memperkeruh suasana
Lisan dan jari (dalam konteks pergaulan di dunia maya) yang tidak dijaga bisa membuat keadaan yang semula kondusif menjadi berantakan, yang sudah berantakan jadi semakin berantakan, yang berteman jadi bermusuhan dan yang bermusuhan jadi saling mendendam. Â
Dalam satu tongkrongan, misalnya, ada satu orang melemparkan bahan ghibah (gosip). Kemudian dijawab oleh orang kedua. Dijawab lagi oleh orang ketiga dan seterusnya sampai akhirnya tersebar kemana-mana. Sampai-sampai tidak jelas lagi mana yang benar mana yang salah karena cerita itu sudah ditambah atau dikurangi seenaknya.Â