Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Diammu Bernilai Kebaikan, Mengapa Harus Banyak Bicara?

27 Juli 2022   13:08 Diperbarui: 27 Juli 2022   13:13 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menyuruh untuk diam-photo by sound on from pexels

Parahnya, semua itu terjadi akibat lisan kita.

3. Diam itu baik jika kita tidak punya cukup ilmu atau kompetensi untuk menjelaskan suatu hal

Salah satu sisi negatif dari era media sosial adalah banyak orang mendadak pakar padahal tidak paham apa-apa. Kita bisa lihat contohnya saat pandemi Covid-19 melanda. 

Berapa banyak orang mendadak pakar yang menyebarkan informasi sesat tentang Covid-19 dan vaksinasi? Berapa banyak orang yang kemudian menjadi korban atau panik berlebihan akibat percaya pada informasi menyesatkan itu?

Segala kekacauan itu tidak lain dan tidak bukan terjadi karena orang yang tidak punya ilmu atau kompetensi di bidang kesehatan ikut-ikutan bersuara. 

Seandainya mereka bisa menahan lisan dan jarinya sehingga yang berhak bicara adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, saya yakin kekacauan seperti itu bisa diminimalkan, jumlah kasus positif dan kematian lebih bisa dikendalikan.

Soal ini saya ingin kita belajar dari akhlak para ulama klasik yang tidak malu mengatakan "tidak tahu" apabila tidak memiliki dasar ilmu yang mumpuni untuk menjelaskan suatu hal. 

Lagipula, mengatakan "tidak tahu" dan diam atas perkara yang tidak dikuasai dasar ilmunya, tidak akan mengurangi kecerdasan kita.

4. Diam itu baik jika ucapan kita malah semakin memperkeruh suasana

Lisan dan jari (dalam konteks pergaulan di dunia maya) yang tidak dijaga bisa membuat keadaan yang semula kondusif menjadi berantakan, yang sudah berantakan jadi semakin berantakan, yang berteman jadi bermusuhan dan yang bermusuhan jadi saling mendendam.  

Dalam satu tongkrongan, misalnya, ada satu orang melemparkan bahan ghibah (gosip). Kemudian dijawab oleh orang kedua. Dijawab lagi oleh orang ketiga dan seterusnya sampai akhirnya tersebar kemana-mana. Sampai-sampai tidak jelas lagi mana yang benar mana yang salah karena cerita itu sudah ditambah atau dikurangi seenaknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun