Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jika Diammu Bernilai Kebaikan, Mengapa Harus Banyak Bicara?

27 Juli 2022   13:08 Diperbarui: 27 Juli 2022   13:13 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menyuruh untuk diam-photo by sound on from pexels

1. Diam itu baik jika kita tidak mengetahui akar masalah dari suatu hal

Disadari atau tidak, kita ini suka sekali mengomentari sesuatu. Bahkan, kita juga hobi komentar di postingan seseorang di media sosial yang tidak kita kenal dan tidak pernah bertatap muka. 

Kalau komentarnya baik, tentu tidak masalah. Nah, seringkali komentar kita bernada sok tahu, menghakimi dan menghujat tanpa tahu masalah atau konteks postingannya tentang apa. Oleh karena itu, wajar kalau ada yang mengatakan, "menghakimi itu lebih mudah dibandingkan memahami".

Diam untuk memahami sesuatu sebelum berbicara akan membuat kita melihat suatu persoalan dengan lebih jernih. Diamlah dan jangan sok tahu. Itu intinya. 

2. Diam itu baik jika ucapan kita berpotensi melukai perasaan orang lain

"Kamu kok gendutan sih? Jaga badan, dong!"

"Kamu kok kurus banget? Gak pernah makan ya?"

Mungkin Anda pikir kalimat-kalimat di atas sekadar untuk basa-basi. Namun, tidak semua orang punya penerimaan dan persepsi yang sama. Ada lho, orang yang disinggung sedikit tentang bentuk badannya (meski hanya untuk basa-basi atau bercanda) lalu merasa insecure dan overthinking.

Padahal bisa jadi orang yang bentuk badannya kita komentari, sebagaimana contoh di atas, sudah berusaha menjaga pola makan, aktivitas dan istirahat agar berat badannya tetap ideal. 

Jika tubuhnya terlihat berisi atau kurus, padahal sudah menjalankan pola hidup sehat, kemungkinan tipe tubuhnya (baca: secara genetik) memang demikian.

Sekarang coba pikirkan, bagaimana kalau orang tersebut jadi punya pandangan negatif terhadap tubuhnya sendiri? Bagaimana kalau orang tersebut melakukan diet ekstrem hanya untuk memenuhi standar tubuh ideal menurut pandangan masyarakat? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun