Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sila "Persatuan Indonesia" dan Kita yang Gemar Bertengkar karena Perbedaan

2 Juni 2021   18:16 Diperbarui: 2 Juni 2021   18:30 3272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sila ke 3 Pancasila | sumber gambar : gurupandai.com

"Persatuan Indonesia"

Begitulah bunyi sila ketiga Pancasila. Salah satu sila yang menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam demi mencegah terjadinya perpecahan.

Nilai-nilai dalam Pancasila, khususnya sila ke-3 juga memiliki hubungan erat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. 

Adanya Pancasila sebagai dasar negara mengharuskan kita untuk mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar dapat menjadi bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini bermakna bahwa perbedaan yang ada di tengah kehidupan kita, entah itu perbedaan agama, suku, ras, budaya, golongan, kebiasaan, preferensi dan pandangan politik dan lain-lain, bukanlah penghalang bagi kita untuk bersatu. Bahkan adanya perbedaan seharusnya dimaknai sebagai suatu hal yang saling melengkapi demi terwujudnya persatuan, kesatuan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Perumusan dasar negara pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pertama tidak luput dari adanya perbedaan gagasan tentang dasar Indonesia merdeka yang disampaikan oleh tiga tokoh nasional.

Adalah Mohammad Yamin yang mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan gagasannya pada 29 Mei 1945.

Ada lima poin yang dikemukakan oleh Yamin, yaitu perikebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 31 Mei 1945, Soepomo mendapat kesempatan untuk berpidato menyampaikan gagasannya.

Soepomo menyebutkan bahwa membela tanah air menjadi syarat mutlak sebuah negara merdeka. Ia juga menyampaikan gagasannya tentang Indonesia harus berdasar pada negara yang integralistik.

Gagasannya itu kemudian dirumuskan dalam lima poin, yaitu persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah dan keadilan rakyat.

Pada hari terakhir sidang BPUPKI I, Soekarno turut mengemukakan gagasannya.tentang rumusan dasar negara dalam lima poin berikut : kebangsaan Indoneisa, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Lima poin inilah yang kemudian diberi nama Pancasila atas usulan seorang rekan ahli bahasa. Dan tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila.

Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan Saat Ini?

Perbedaan adalah sesuatu yang wajar terjadi. Para tokoh pendiri bangsa saja kerap berbeda pandangan dan beradu gagasan tentang bagaimana mewujudkan Indonesia yang merdeka.

Namun mereka dapat menyelesaikan perbedaan itu melalui adu argumen yang sehat, intelek dan elegan.

Dulu, perang argumen biasa terjadi dalam forum-forum diskusi, kongres-kongres, rapat-rapat bahkan karya-karya tulis.

Sekarang, perang argumen biasa terjadi di sosial media.

Sayangnya perdebatan yang terjadi di sosial media seringkali diwarnai dengan caci maki dan saling sindir.

Pilpres 2014-2019 dan 2019-2024, misalnya. Berapa banyak hoax, ujaran kebencian, hinaan bernuansa SARA yang beredar di jagat maya dan disebarkan dari satu akun sosial media ke akun sosial media lainnya?

Polisi mungkin berhasil menangkap para produsen hoax dan pelakunya bisa saja telah dipenjara. Namun siapa yang dapat menyembuhkan "penyakit" yang datang setelahnya?

Sejak keributan itu terjadi hingga saat ini, kehidupan beragama jadi kurang asyik. Begitu pula dengan persoalan sosial-politik.

Menguatnya politik identitas membuat beberapa orang atau kelompok merasa lebih mayoritas, lebih religius, lebih superior sehingga dapat berlaku diskriminatif bahkan melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan.

Rasanya siapa pun berhak menjadi hakim atas tindakan atau kehidupan orang lain. Sampai-sampai muncul tudingan yang mana "ahli neraka" dan mana yang "ahli surga".

Anehnya, hal tersebut juga bisa terjadi pada yang masih seagama. Bayangkan, kalau dengan saudara seiman dan seagama saja berani menyerang dan memusuhi, apalagi dengan saudara yang berbeda agama dan keyakinan.

Makanya saya jadi berpikir, apa gerangan yang membuat mereka dengan mudahnya melabeli seseorang itu sesat, kafir, ahli neraka dan sebagainya? Dari mana mereka tahu bahwa seseorang itu bakal jadi penghuni surga atau neraka? Apakah mereka telah diangkat menjadi sekretaris pribadi Tuhan?

Kita ini sekarang lebih mudah baper terhadap perbedaan sampai alergi terhadap kritik.

Perbedaan dalam pandangan dan preferensi politik itu sah-sah saja. Yang menyebalkan adalah ketika ada simpatisan partai atau tokoh tertentu yang mendukung idolanya secara membabi buta. Bahkan tidak segan menyerang dan memusuhi siapa saja yang berbeda sikap dan pandangan dengan kelompoknya. 

Kalau ada pendukung tokoh B, misalnya, berani mengkritik tokoh A bakal dianggap Barisan Sakit Hati. Padahal kritik yang disampaikan itu realistis.

Sementara kalau yang mengkritik itu merupakan pendukung tokoh A, bisa dianggap musuh dalam selimut. 

Masa sih pendukung tidak boleh mengkritik? Lha kalau jelas-jelas ia salah jalan apa ya mau kita biarkan saja biar tersesat bersama? 

Satu lagi yang tidak kalah menyebalkan dengan kelompok pertama adalah yang mengaku-ngaku sebagai oposan (tanpa 'l' ya) tapi cuma asal beda. Harusnya sebagai oposan, ia punya gagasan yang berbobot sehingga bisa ikut memberi warna berbeda pada dinamika politik tanah air.

Misalnya, seseorang merupakan pendukung tokoh B, maka orang itu dan pendukung lainnya akan ramai-ramai menghujat bahwa semua yang tokoh A lakukan itu salah, buruk dan cuma cari muka. Walapun gagasan atau program yang dilakukan itu sebenarnya baik dan bermanfaat.

Jangankan perbedaan di ranah sosial-politik yang punya dampak luas, di ranah yang sifatnya personal saja orang bisa ribut dan saling serang.

Misalnya, keputusan untuk menikah atau melajang selamanya. Ini kan sebetulnya sudah ranah personal. Tapi kenapa hal privat semacam itu bisa membuat orang bertengkar?

Hanya karena kebiasaan yang lazim di masyarakat kita bahwa seseorang yang telah cukup umur dan mapan adalah menikah, lantas ada orang yang memilih sebaliknya, kita ramai-ramai menghakiminya.

Katanya hidup adalah pilihan. Kalau begitu, persoalan menikah atau tidak menikah juga bagian dari pilihan hidup seseorang bukan?

Terlepas dari pilihan hidupnya yang berbeda dengan mayoritas orang, ia pasti punya alasan. Lalu, kenapa kita tidak menghormati saja pilihannya?

Menghormati dan bersikap toleran atas pilihan hidup seseorang bukan berarti kita harus setuju dan mengikuti pilihan hidupnya.

Toleran tapi tetap tegas memegang prinsip dan nilai hidup masing-masing. Tanpa perlu bertengkar. Tanpa perlu saling menyalahkan. Bukankah begitu seharusnya kita menyikapi perbedaan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun